Kisah kemerdekaan Indonesia beserta upaya panjang untuk mewujudkannya kerap diangkat dalam film layar lebar. Pada setiap era, film-film seperti ini tak pernah luput hadir di bioskop.
Namun, latar sosial-politik-budaya (dan bahkan ekonomi) ketika film-film tersebut diproduksi pada akhirnya turut mengkonstruksi muatan cerita dan sudut pandang yang diambil oleh sang pembuat film.
Ambil contoh pada masa pemerintahan Presiden Soeharto dengan Orde Baru-nya. Lewat sensor dan kontrol yang amat ketat, bisa dibilang kebanyakan film-film tentang kemerdekaan kala itu mengusung isu nasionalisme dan patriotisme untuk mempromosikan ideologi negara.
Itu pun dalam koridor narasi sejarah versi Orde Baru yang mengagung-agungkan peran Soeharto dan militerisme, terutama sejak 1965. Tengok saja film Serangan Fajar (1981) dan Pengkhianatan G-30-S PKI (1982).
Walau begitu, sekalipun tak banyak, tetap muncul film-film tentang kemerdekaan Indonesia yang mengambil perspektif berbeda.
Film-film ini bukan hanya memperlihatkan isu nasionalisme, patriotisme, dan antikolonialisme, tapi juga seakan mendiskusikannya, bahkan mengkritisinya, sekalipun dengan cara berkomedi. Lima film berikut ini adalah contohnya.
Table of Contents
1. Lewat Djam Malam (1954)
Perang kemerdekaan dan revolusi tidak selalu berbuah manis. Dampaknya bukan hanya suka cita dan optimisme tentang masa depan negara.
Pada masa awal pasca kemerdekaan, muncul pula pesimisme, perasaan terbuang, alienasi, kriminalitas, hingga bibit-bibit korupsi. Segala persoalan ini sulit kita temui dalam film-film bertema kemerdekaan semasa Orde Baru berkuasa.
Dengan muatan seperti itu, film Lewat Djam Malam yang digarap sutradara Usmar Ismail dengan skrip yang ditulis Asrul Sani ini dinilai berhasil menyampaikan kritik sosial yang keras dan relevan sampai sekarang.
Kisahnya tentang Iskandar, bekas tentara, yang kembali dari medan perang dan hidup di masyarakat yang menyepelekan dirinya. Iskandar sendiri menyimpan trauma dan perasaan bersalah akibat pembunuhan yang dilakukannya saat perang.
2. Pagar Kawat Berduri (1961)
Disutradarai dan ditulis skenarionya oleh Asrul Sani, maestro perfilman Indonesia, Pagar Kawat Berduri juga mengetengahkan cerita perjuangan kemerdekaan yang berbeda.
Seperti halnya Lewat Djam Malam, narasi Pagar Kawat Berduri juga sarat dengan kritik sosial dan kegelisahan mengenai masa depan negara dan makna nasionalisme itu sendiri.
Alih-alih menampilkan baku tembak ala film perang, film ini menghadirkan rentetan percakapan cerdas dan bernas mengenai kolonialisme antara tentara Indonesia dan perwira Belanda.
Saat beredar pada 1961, publik mengkritiknya lantaran film ini tidak menampilkan karakter orang kulit putih penjajah yang antagonis—gambaran yang mudah kita temui dalam film-film bertema kemerdekaan di era Orde Baru.
Film ini diangkat dari sebuah buku dengan judul yang sama karya Trisnojuwono.
3. Naga Bonar (1986)
Ketika pengaruh Orde Baru sedang kuat-kuatnya, film yang disutradarai MT Risyaf ini muncul dan mengocok perut penonton lewat komedinya.
Dengan amunisi skenario yang ditulis Asrul Sani, penonton disuguhi cerita soal patriotisme yang berbeda dan nyeleneh dengan latar zaman perang kemerdekaan.
Bagaimana tidak. Sebab, Jenderal Naga Bonar (Deddy Mizwar) yang memimpin para tentara pejuang di sini bukanlah seorang perwira asli yang kharismatik, cerdas dan lihai dalam berperang.
Namun, ia adalah bekas pencopet yang tak berpendidikan, nekat, sangat patuh kepada ibunya, dan punya penyakit malaria yang sering kambuhan.
Film ini seperti mengolok-olok patriotisme dan nasionalisme, meskipun sebenarnya Asrul Sani menulis skenario ini lantaran terinspirasi dari kejadian nyata.
4. Laskar Pemimpi (2010)
Film garapan Monty Tiwa yang juga menulis skenarionya bersama Eric Tiwa ini juga menyoal nasionalisme dan patriotisme dengan penuh canda tawa.
Bahkan, ada kesan meledek narasi sejarah Orde Baru dalam beberapa adegannya. Ditambah lagi, para pemerannya adalah para personil Project Pop yang memang kocak.
Berlatar peristiwa Agresi Militer Belanda II pada Desember 1948, film ini mengetengahkan tentang laskar tentara yang tidak sempurna dan minim pengalaman sehingga lebih pas disebut pecundang.
Mereka lalu tidak dilibatkan dalan serangan umum 1 Maret 1949 ke Yogyakarta. Namun, laskar tentara ini melakukan aksi nekat nan konyol, sehingga tanpa terduga malah membantu dalam meraih kemenangan.
5. Pantja-Sila: Cita-cita & Realita (2016)
Dasar negara kita, Pancasila, lahir pada 1 Juni 1945 saat sidang BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia).
Di sinilah Soekarno, yang kelak menjadi proklamator dan Presiden Indonesia pertama, berpidato panjang lebar tanpa teks yang isinya menjelaskan gagasan Pancasila.
Film Pantja-Sila: Cita-cita & Realita merekonstruksi pidato itu sesuai peristiwa aslinya dengan Tyo Pakusadewo sebagai Soekarno.
Selama nyaris 80 menit, film yang disutradarai Tino Saroengallo dan Tyo Pakusadewo ini hanya menampilkan satu shot Soekarno yang sedang berpidato dengan berapi-api dan dramatis.
Namun, film ini juga menyelipkan beberapa gambar dan foto untuk menguatkan isi pidato Soekarno. Hasilnya, film ini jauh dari kesan membosankan.