Edwin. Nama sutradara film Indonesia yang satu ini memang pendek. Namun, imajinasi Edwin bisa berkembang panjang setiap dia menciptakan karya-karyanya.
Mulai dari Kara, Anak Sebatang Pohon yang masuk Festival Film Cannes 2005, Kebun Binatang yang berkompetisi di Berlin International Film Festival 2012, hingga Posesif yang mengantarnya menang Piala Citra sebagai sutradara terbaik pada Festival Film Indonesia (FFI) 2017.
Dalam proses penciptaan film-filmnya tersebut, pengalaman hidup dan referensi buku bacaan Edwin banyak berikan pengaruh.
Bahkan, sutradara kelahiran Surabaya, 41 tahun silam ini juga mengadaptasi buku jadi film, seperti Aruna dan Lidahnya dari novel karya Laksmi Pamuntjak.
Edwin juga sedang melakukan penulisan skenario film Dendam yang diadaptasi dari novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan.
Lantas, buku-buku apa saja yang dinilai penting dan berpengaruh oleh Edwin. Inilah lima buku di antaranya.
Table of Contents
1. Bumi Manusia – Pramoedya Ananta Toer
Novel pertama dalam Tetralogi Buru ini menjadi karya masyhur Pramoedya Ananta Toer. Semua karakter dalam Bumi Manusia dikisahkan dengan pikiran, pribadi dan latar belakang kehidupan yang utuh.
Edwin membaca Bumi Manusia sewaktu SMA dan mau masuk kuliah.
“Saat itu saya enggak tahu Pramoedya. Mungkin saya tertarik sama sinopsis di belakangnya. Bumi Manusia saya baca sampai habis dan nempel di kepala,” ujarnya, seperti dikutip Jurnal Ruang.
Bagi Edwin, novel ini memberikan banyak pemahaman mengenai sejarah Indonesia secara tidak hitam-putih.
2. Nagabumi – Seno Gumira Ajidarma
Dua buku babon yang tebal ini terdiri dari dua jilid. Buku pertama berjudul Jurus Tanpa Bentuk dan yang kedua adalah Buddha, Pedang, dan Penyamun Terbang.
Edwin langsung jatuh hati pada kisah para pendekar dalam dunia persilatan beserta segala jurus maut, asmara, intrik politiknya dengan latar Pulau Jawa dan kebudayaan dunia abad VIII-IX ini.
Dua buku Nagabumi disikat Edwin cuma dalam seminggu. Kata Edwin, “Lama sih buat sebagian orang, tapi buat saya itu sudah sangat cepat. Seminggu baca hampir 2.000 halaman.”
3. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas – Eka Kurniawan
Ajo Kawir begitu identik dengan kisah novel ini. Nama karakter itu pula yang langsung disebut Edwin ketika mendengar judul novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. “Semua buku Eka Kurniawan saya baca. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibalas Tuntas itu memang pilihan saya untuk difilmkan karena sangat sinematik.
Buat saya, kisahnya sangat dekat dengan masyarakat kita, berasa kontemporernya. Buku ini membicarakan kultur dan patriarki yang sekarang sangat kuat di berbagai lini, seperti keluarga dan agama,” kata Edwin, mengutip Jurnal Ruang.
4. Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi – Yusi Avianto Pareanom
Yusi Avianto Pareanom adalah pendongeng yang ulung. Mantan wartawan Tempo ini begitu lihai menuturkan kisah yang memadukan antara petualangan, percintaan, seks, konflik keluarga, laga persilatan, dendam, perang akbar antar kerajaan, sampai soal kuliner.
“Kece.” Begitu komentar Edwin tentang novel pemenang penghargaan Kusala Sastra Khatulistiwa 2016 kategori prosa ini.
Edwin juga sudah membaca buku-buku sedap yang ditulis Yusi Avianto Pareanom lainnya, seperti Rumah Kopi Singa Tertawa dan Muslihat Musang Emas.
5. Cantik itu Luka – Eka Kurniawan
Menurut Edwin, buku ini adalah bacaan yang bagus tentang poskolonial
Kisah Dewi Ayu dan anak keempatnya yang buruk rupa, Cantik, dalam novel ini dinilai mampu memadukan sejarah, satir, tragedi keluarga, keserakahan kolonialisme, pembunuhan massal, legenda, humor, dan asmara.
Dalam wawancara dengan Jurnal Ruang, Eka menjelaskan, “Dari semua karya Eka Kurniawan, Cantik itu Luka yang paling hebat. Saya belajar banyak dari Cinta itu Luka mengenai sejarah kita. Ini bacaan tentang poskolonial yang bagus. Buku ini ngomongin ide tentang Indonesia yang sudah enggak tahu lagi warnanya apa, tentang identitas kita sebagai Indonesia.”