Tidak banyak orang yang memiliki peluang untuk mengenyam pendidikan tinggi, apalagi di luar negeri. Berdasarkan gender, perempuan lebih sulit mendapatkannya karena berbagai faktor.
Salah satu di antaranya tentang persepsi perempuan yang tidak perlu sekolah tinggi-tinggi. Sebagian orang yang biasanya kolot dan konvensional berpandangan bahwa perempuan ditakdirkan untuk mengurus anak dan melayani suami.
Namun, begitukah semestinya?
Sebuah artikel tentang alasan pentingnya seorang perempuan berpendidikan tinggi karena mereka harus terlihat “mahal†di hadapan laki-laki agar tidak hanya untuk menarik perhatian laki-laki tetapi juga agar mampu menempatkan dirinya di berbagai macam lingkungan.
Sebuah pertanyaan tentang persepsi tersebut pun mencuat di Quora dan salah satu penjawabnya mengatakan bahwa perempuan harus memiliki pendidikan tinggi agar dapat mengurus anaknya dengan cara yang berkualitas. Itu berpedoman pada jargon ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Alasan-alasan yang dijabarkan mungkin sudah memberikan ultimatum kepada mereka yang berpikiran bahwa perempuan tidak harus berpendidikan tinggi.
Hanya saja, bila diamati lebih lanjut alasan-alasan tersebut masih subjektif dan terkesan mansplaining.
Butuh alasan lebih kuat yang diutarakan oleh perempuan-perempuan yang mengalaminya sendiri untuk menjelaskan pentingnya berpendidikan tinggi.
Neng Koala: Kisah-Kisah Mahasiswi Indonesia di Australia
Tahun lalu, buku Neng Koala lahir. Buku yang ditulis 34 orang—33 perempuan dan satu laki-laki—ini bercerita tentang pengalaman mereka kuliah di Australia.
Terbagi menjadi tujuh topik cerita, Neng Koala menjelaskan tantangan-tantangan para perempuan asal Indonesia sehingga mereka dapat berkuliah lagi (yang kebanyakan S2) di negeri orang.
Bagian pertama dari buku ini berjudul “Berburu Beasiswa†dan Ellis Indrawati mengawalinya dengan pengalaman dirinya mendapatkan beasiswa S2 di Australia.
Kendala utamanya malah berasal dari keluarganya sendiri terutama sang ayah yang membenturnya dengan pandangannya soal takdir seorang perempuan.
“Umur kamu sudah waktunya menikah. Sekarang sekolah dua tahun, nanti lulus Master sudah kepala tiga, lalu kembali ke kantor dengan jabatan struktural…. Lalu, kalau kondisinya seperti itu, siapa yang berani mendekati kamu? Jodohmu pasti makin jauh saja! Sudahlah, perempuan itu tidak perlu sekolah tinggi-tinggi, paling jatuh-jatuhnya 3M—(Masak, Manak, Macak yang dalam bahasa Indonesia artinya memasak, memberi keturunan, dan mempercantik diri).†(hlm. 6)
Untungnya, Ellis tetap berangkat yang membuatnya tidak menyesal sama sekali dengan keputusannya saat itu. Selain mendapatkan pendidikan yang diidam-idamkannya, Ellis juga menemukan jodohnya di Negeri Koala itu.
Pada bagian keempat yang berjudul “Keseharian di Australiaâ€, cerita lain datang dari Mumpuni Ardiyani yang khawatir perihal dirinya yang mengenakan hijab dan bagaimana persepsi penduduk setempat soal itu.
Ia mencari tahu soal itu dan bertanya kepada teman-temannya yang sudah lebih dulu tinggal di Australia. Jawabannya tentu saja beragam, ada yang pernah mengalami perlakuan rasis dan ada juga yang tidak.
Sesampainya di Australia, Mumpuni yang sudah mulai berinteraksi dengan penduduk setempat tidak menemukan hal yang dikhawatirkannya. Kebanyakan dari mereka malah antusias menanyakan kenapa ia mengenakan hijab.
“Kalau ada yang bertanya mengenai alasan saya memakai jilbab, paling saya hanya menjawab, ‘Because I want to and I feel comfortable with it.’ Jawaban yang sederhana, tanpa perlu penjelasan panjang lebar mengenai agama (karena terus terang saya juga tidak terlalu ahli dalam soal agama Islam).†(hlm. 164)
Sebetulnya, Siapa itu Neng Koala?
Lebih tepatnya: Apa itu Neng Koala? Kemunculan Neng Koala tidak terlepas dari peran sang pendiri, Melati. Ia adalah lulusan Master of Environmental Management and Development dari Australian National University.
Ide membuat sebuah blog yang berisi pengalaman pribadi para perempuan Indonesia yang bersekolah di Australia datang dari teman Melati yang melepas tawaran beasiswa kuliahnya di negeri kanguru itu.
“Walaupun saya tahu bahwa keputusannya itu tidak akan berubah, saya merasa perlu berbagi tentang kisah perempuan lainnya—banyak yang saya kenal secara pribadi—yang berjuang keras dalam situasi yang berbeda-beda untuk meraih Pendidikan tingginya di luar negeri,†ujar Melati dalam “Sekapur Sirih†buku Neng Koala.
Melati tahu bahwa perempuan memiliki tantangan khusus bila dihadapkan pada menempuh pendidikan yang tinggi.
Selain soal kecukupan finansial yang biasanya diutamakan kepada para saudara laki-laki, para perempuan juga harus menyiapkan mental saat menjumpai tanggapan orang lain terhadap mereka yang ingin melanjutkan pendidikannya—terutama orang tua.
“Padahal kesempatan perempuan untuk studi dan berkarier juga sama. Saya merasa, kita sebagai kaum perempuan, perlu percaya diri untuk menjalani peran kita sebagai mahasiswi maupun pekerja di luar negeri,†tulisnya dalam sebuah halaman opini.
Kehadiran buku Neng Koala adalah angin segar bagi para perempuan yang ingin melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi. Tidak hanya bagi mereka yang ingin meneruskannya di Australia, tetapi juga di negara mana pun.
Kita tidak tahu kapan pandangan tentang perempuan hanya dicap untuk 3M akan berakhir. Kita juga tidak tahu apa alasan-alasan paling tepat agar perempuan dapat menimba ilmu tinggi-tinggi. Tapi yang kita tahu, menuntut ilmu adalah sebuah keharusan bagi setiap orang.
Seperti Boots yang selalu mendukung Dora saat melakukan misi petualangan, buku Neng Koala adalah suntikan semangat bagi para perempuan untuk tetap bertekad menuntut ilmu di luar negeri.