in

Lebih Memahami Indonesia Lewat 3 Buku

Sumber foto header: Bekraf

Sudah merasa mengenal bangsamu sendiri, bangsa Indonesia? Terkadang ada hal-hal yang luput, yang sebenarnya bisa membuat kita lebih dekat dengan negara sendiri. Lewat kisah dalam buku misalnya.

Mengambil jarak fisik maupun rentang waktu yang jauh terhadap sesuatu hal dan peristiwa membuat kita jadi bisa menemukan perspektif berbeda dan melihat dimensi secara lebih luas.

Tak jarang, kita jadi bisa membahas hal tersebut jadi lebih dalam sekaligus menggali persoalan-persoalan yang selama ini terpendam.

Itulah yang dilakukan tiga buku di bawah ini. Buku-buku ini mengangkat persoalan-persoalan pelik yang jarang sekali terpapar ke publik Indonesia. Membaca tiga buku tersebut, kita jadi dapat lebih memahami lagi Indonesia yang kompleks ini.

Simak penjelasannya di bawah.

1. Tanah Air yang Hilang

Buku
Buku Tanah Air yang Hilang memuat 19 cerita tentang para eksil dari peristiwa 1965.

 

 

 

Buku ini ditulis oleh Martin Aleida, sastrawan yang pernah menjadi tapol 1965. Pada 2016, Martin mewawancarai 19 eksil alias orang yang berada di luar negaranya karena terpaksa atau pilihan sendiri, di Eropa yang dahulu harus meninggalkan Tanah Air lantaran peristiwa 1965.

Mereka alami ketakutan demi menghindari kejaran rezim yang berkuasa di Indonesia. Identitas dan status warga negara pun raib.

Cerita-cerita pilu para eksil ini dituang Martin jadi 19 cerita dalam Tanah Air yang Hilang. Buku ini merupakan catatan penting tentang sejarah kelam negeri kita.

Dalam buku ini, ada satu cerpen yang ditulis Martin berdasarkan wawancara dengan seorang eksil. Cerpen tercipta lantaran sang narasumber tidak ingin kebenaran dan traumanya diketahui oleh publik.

Martin lalu menyamarkan fakta-fakta dari cerita eksil tersebut menjadi cerpen berjudul “Tanah Air”. Martin mengaku tidak mau kehilangan akal untuk mengungkapkan kebenaran.

2. Amba

Penulis
Laksmi Pamuntjak menulis novel Amba setelah lakukan riset panjang.

 

 

 

Novel karangan Laksmi Pamuntjak ini pertama kali terbit pada 2012 dan sudah berkali-kali dicetak ulang serta diterjemahkan ke bahasa Inggris, Jerman, hingga Belanda.

Novel ini bercerita tentang Amba yang mencari kekasihnya, Bhisma, yang menjadi tapol pasca September 1965, lalu dibuang ke Pulau Buru.

Terbit 15 tahun pasca jatuhnya Presiden Soeharto pada Mei 1998, novel ini mengangkat kisah manusia yang dibabat kemelut politik paling mematikan dalam sejarah kelam Indonesia.

Mengapa Laksmi Pamuntjak menulis novel Amba yang kisahnya lekat dengan peristiwa 1965?

“Yang saya lakukan tidak untuk mengoreksi sejarah atau tidak juga untuk mengatakan siapa yang salah atau benar, tapi yang ingin saya tunjukkan adalah karena manusia itu kan berkali-kali dalam setiap budaya dan negeri, mengalami begitu banyak intoleransi dan juga sangat biasa untuk menunjukkan apa yang mereka percaya lewat kekerasan,” ujarnya dalam wawancara dengan kru 17.000 Islands of Imagination.

3. Pulang

Novel
Leila S Chudori memasukkan tema kebebasan bersuara dan berpendapat dalam tulisan-tulisannya.

 

 

 

Novel Pulang karya Leila S Chudori langsung memikat para juri Kusala Sastra Khatulistiwa 2013. Penulis sekaligus wartawan ini pun diganjar penghargaan kategori prosa.

Kisah Pulang tentang Dimas Suryo yang tak bisa kembali ke Indonesia setelah peristiwa 30 September 1965. Ia kemudian dapat suaka dan tinggal di Paris, kemudian menjalani bisnis restoran bersama tiga sahabatnya.

Rasa bersalah terus menaungi hidup mereka lantaran sahabat-sahabatnya di Indonesia dihabisi tentara.

Leila S. Chudori terinspirasi menulis Pulang setelah melihat langsung dampak buruk dari peristiwa 30 September 1965. “Titik baliknya saat usai kuliah, saya singgah di Paris, dan mampir ke Restoran Indonesia yang dikelola para eksil,” ujar Leila, seperti dikutip CNN Indonesia.

Dia juga mengatakan, tema kebebasan bersuara dan berekspresi menjadi napas dalam tulisan-tulisannya, bahkan sejak ia masih kanak-kanak.


 

Written by Angga Rulianto

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan.