Contoh Kearifan Lokal – Dalam tradisi Jawa, gadis yang hendak menikah diharuskan untuk dipingit, di mana gadis tersebut tidak diperbolehkan untuk keluar rumah. Hal tersebut diterapkan agar calon mempelai wanita terhindar dari segala macam marabahaya dan kejahatan yang dapat menggagalkan acara pernikahan. Di Papua, masyarakat setempat meyakini ajaran Te Aro Neweak Lako atau aku adalah alam.
Ajaran tersebut membuat banyak masyarakat setempat menghormati alam dan menjaga kelestariannya dengan baik sebagaimana mereka menjaga diri sendiri. Dua hal tersebut adalah contoh kearifan lokal yang dapat kita temukan di Indonesia. Lantas apa saja contoh kearifan lokal domestik dan internasional? Dalam kesempatan kali ini, kita akan mengulas contoh kearifan lokal yang perlu kita kenali.
Table of Contents
Pengertian Kearifan Lokal
Kearifan lokal atau local wisdom tidak dapat kita hindari di manapun kita tinggal. Hanya saja, setiap daerah memiliki kearifan lokal yang berbeda. Zaman dahulu, leluhur kita memegang erat dan memberikan penghormatan yang tinggi terhadap kearifan lokal tersebut. Namun di zaman ini, kearifan lokal perlahan mulai banyak dilupakan oleh generasi muda.
Berbicara definisi, kita akan menemukan banyak versi pembahasan mengenai objek yang sedang didefinisikan. Tidak kecuali pembahasan kita kali ini, yaitu kearifan lokal. Dalam buku Kearifan Lokal: Hakikat, Peran, dan Metode Tradisi Lisan, Robert Sibarani mendefinisikan kearifan lokal sebagai kebijaksanaan atau pengetahuan suatu masyarakat tertentu yang berasal dari nilai-nilai luhur tradisi masyarakat setempat yang telah berlangsung secara turun-menurun.
Sedangkan menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup , kearifan didefinisikan sebagai nilai-nilai luhur yang berlaku di sebuah tata hidup masyarakat tertentu dengan tujuan melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari.
Secara umum, kearifan lokal dapat diartikan nilai yang diterapkan sebagai budaya lokal, diwujudkan dalam bentuk sikap, pandangan, hukum, yang diajarkan oleh leluhur, sehingga membentuk sistem pengetahuan lokal dan dapat dimanfaatkan untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari.
Contoh Kearifan Lokal
Pada poin ini, kita akan mengulas kearifan lokal yang dapat kita temui, baik di tanah air maupun di negara lain. Dengan mengetahui kearifan lokal yang diterapkan oleh lingkungan dan masyarakat setempat, maka diharapkan kita dapat memberikan rasa hormat terhadap budaya dan nilai yang dijunjung oleh masyarakat yang mendiami wilayah tersebut.
Baiklah Grameds, kita nggak perlu berlama-lama ya. Langsung saja kita ulas bersama:
1. Selametan
Dalam tradisi Jawa, terdapat sebuah kearifan lokal yang dinamakan selametan. Acara ini secara tradisional dilaksanakan dengan menggelar doa bersama yang dipanjatkan oleh banyak orang dengan bentuk melingkar. Di tengahnya, terdapat makanan dalam bentuk tumpeng atau bentuk lainnya dilengkapi dengan lauk pauk.
Doa tersebut ditujukan agar sang empunya hajat mendapatkan keselamatan. Setelah doa bersama, makanan yang telah disediakan dimakan bersama. Kemudian sisanya dibagikan kepada yang hadir dan tetangga sekitar.
Tujuan dilakukannya selametan ini agar orang yang menyelenggarakannya dilimpahi keselamatan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Selametan dapat dipahami sebagai ritual untuk menegaskan bahwa kita berada dalam kondisi yang selamat atau dicita-citakan. Selamet dalam bahasa Jawa artinya keadaannya sudah pas. Dengan demikian, sang empu selametan bersyukur atas keadaan saat ini.
Pada awalnya, budaya ini diyakini diturunkan sejak zaman kepercayaan animisme dan dinamisme, kemudian disesuaikan dengan ajaran Hindu-Budha di zamannya, dan saat ini doa-doa tersebut sering kali diisi dengan permohonan kepada Allah dan pujian kepada Nabi Muhammad SAW.
2. Awig-Awig
Sebagaimana sebuah negara, setiap daerah yang berada di dalam negara juga memiliki aturan kehidupan masyarakat yang dituangkan dalam bentuk undang-undang atau hukum dasar. Daerah tersebut memiliki anggaran dasar rumah tangga yang menjadi pedoman untuk menjalankan peran dan fungsi organisasi desa. Di Desa Pakraman, Bali dan Lombok Barat Nusa Tenggara Barat (NTB), berlaku undang-undang daerah yang disebut dengan Awig-awig.
Awig-awig berasal dari kata “wig” yang berarti rusak. Sedangkan “awig” berarti tidak rusak atau baik. Dengan demikian, secara bahasa, Awig-awig dapat diartikan sebagai menjadikan sesuatu menjadi baik. Secara istilah, Awig-awig merupakan sebuah ketentuan yang mengatur tata krama dan kehidupan masyarakat agar tercapai tata kehidupan yang ajeg di dalam kehidupan bermasyarakat.
Awig-awig di Bali dan Lombok Barat ini lebih menjadi pedoman bagaimana bertindak dan bersikap bagi masyarakat setempat. Terlebih dalam berinteraksi dengan lingkungan setempat dan mengolah sumber daya alam yang ada. Awig-awig memberikan arahan agar masyarakat setempat tidak merusak lingkungan, menjaga kelestariannya, dan ekosistem alamnya tetap seimbang.
3. Ulap Doyo
Contoh kearifan lokal berikutnya datang dari Pulau Kalimantan. Penduduk asli Pulau Kalimantan, Suku Dayak, memiliki kearifan lokal berbentuk fisik yang dinamakan dengan Ulap Doyo. Pulau Borneo ini memang dikenal dengan keragaman tekstilnya yang berkualitas. Ulap Doyo merupakan jenis tenun ikat yang dibuat dari bahan baku serat daun doyo (curliglia latifolia).
Daun ini merupakan tanaman sejenis daun pandan. Hanya saja, daun Doyo memiliki serat yang kuat. Tumbuhan ini secara liar tumbuh di pedalaman Kalimantan, salah satunya di daerah Tanjung Isuy, Jempang, Kutai Barat.
Kain tenun Ulap Doyo diprediksi telah ada sejak berabad-abad silam. Bahkan bisa juga kearifan lokal satu ini sudah ada sejak zaman Kerajaan Hindu Kutai. Dugaan tersebut tidak berdasarkan prasangka belaka, namun juga didasarkan pada adanya temuan antropologi yang menyebutkan adanya korelasi antara strata sosial dengan motif pada tenun Ulap Doyo yang dipakai masyarakat di zaman tersebut.
Motif yang sering ditemukan pada kain tenun Ulap Doyo merupakan gambar flora dan fauna yang berada di sekitar Sungai Mahakam. Motif lainnya yang biasa muncul bertema peperangan antara naga dan manusia. Sebagaimana penjelasan pada paragraf sebelumnya, motif kain tenun ini dapat merepresentasikan kelas sosial siapa saja yang mengenakannya.
Proses pembuatan Ulap Doyo melalui proses yang unik, pasalnya wanita Dayak menguasai teknik pembuatannya sejak usia belasan tahun secara spontan. Ya, mereka menguasainya tanpa proses latihan. Mereka hanya mengamati wanita lain yang sudah berpengalaman ketika menenun Ulap Doyo.
4. Mappalette Bola
Jika kalian akan pindah rumah, kalian tentu disibukkan dengan mengemasi barang yang akan dibawa dari rumah lama menuju rumah baru. Bukan begitu, Grameds? Namun hal tersebut tidak berlaku untuk masyarakat Suku Bugis, Sulawesi Selatan.
Masyarakat Bugis tidak perlu khawatir jika ingin pindah rumah. Karena masyarakat sekitar akan membantu tetangganya yang pindah rumah dengan cara menggotong rumah secara bersama-sama. Jumlah orang yang mengangkut rumah bisa mencapai puluhan hingga ratusan laki-laki. Mereka melakukan itu semua dengan suka cita karena hal demikian telah menjadi kearifan lokal di sana.
Tradisi ini biasa dilakukan jika ada salah seorang dari anggota suku tersebut ingin pindah rumah atau menjual rumahnya namun tidak dengan tanahnya. Bagaimana bisa rumah dipindah dari tanah? Rumah yang dipindahkan bukan rumah pada umumnya, namun rumah adat panggung dari yang menjadi rumah adat masyarakat Sulawesi.
Metode pemindahan rumah dilakukan dengan dua cara. Pertama, bagian bawah rumah akan dipasangi roda lalu rumah tersebut didorong ke tempat tujuan. Cara pertama ini digunakan apabila lokasi baru cukup dekat dengan lokasi lama. Kedua, rumah diangkat secara bersama-sama apabila lokasi baru cukup jauh dari lokasi lama.
5. Cingcowong
Kearifan lokal berikutnya adalah Cingcowong. Budaya ini merupakan sebuah ritual yang terkadang dilakukan oleh masyarakat Kabupaten Kuningan, Jawa Barat. Keberadaannya memiliki hubungan yang erat antara kebutuhan manusia dan ketergantungannya terhadap alam, yaitu kebutuhan akan air. Ritual ini dilakukan untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar menurunkan hujan ketika terjadi musim kemarau panjang.
Cingcowong berasal dari kata cing dan cowong. Dalam kamus Bahasa Indonesia-Sunda, terdapat arti yang sama untuk kata “cik” yaitu coba. Sementara kata cowong berarti biasa berbicara keras. Secara Bahasa, Cingcowong dapat diartikan dengan “mencoba berbicara keras”. Versi lainnya, Cingcowong memiliki arti “coba terka siapa orang ini”.
Ritual Cingcowong dilakukan dengan menggunakan boneka sebagai medianya. Boneka ini bagian kepalanya terbuat dari batok kelapa dan badannya dari bubu ikan. Boneka ini berfungsi untuk menghubungkan antara manusia dengan alam ghaib.
Ritual ini dipimpin oleh seseorang yang dipanggil Punduh. Seorang punduh adalah orang yang dianggap memiliki keahlian khusus dalam bidang spiritual atau kepercayaan setempat. Kemampuan tersebut ia peroleh karena inisiatif sendiri sehingga dipercaya memiliki keahlian untuk menghubungkan manusia dengan makhluk atau kekuatan supranatural.
Demi kelancaran ritual, punduh dibantu oleh seorang lainnya yang bertugas memegang boneka Cingcowong. Pada saat ritual diperlukan alat music yang disebut buyung dan bokor. Tidak lupa ada beberapa sinden yang menyenandungkan lagu-lagu untuk mengiringi Cingcowong menari.
6. Te Aro Naweak Lako
Kearifan lokal yang berasal dari tanah Papua ini merupakan tradisi yang diajarkan oleh leluhur mereka untuk mencintai alam. Suku Amungme yang hidup di daerah Tembagapura, menganggap tanah sebagai ibu yang memberi makan, mendidik, memelihara, serta membesarkan bayi hingga lanjut usia sampai tiada. Bumi diciptakan dengan beragam kelengkapan yang ada di dalamnya.
Para leluhur Papua mengajarkan generasi penerusnya untuk mengolah sumber daya alam Papua dengan bijaksana. Mereka mengajarkan agar manusia mencintai alam sebagaimana mereka mencintai diri sendiri. Mereka menganggap diri mereka adalah bagian dari alam.
7. Lompat Batu Nias
Grameds, pernah melihat uang kertas seribu rupiah yang diterbitkan pada tahun 1992? Pada salah satu sisi uang tersebut, kalian akan menemukan gambar seorang pemuda laki-laki melompati Batu Nias. Gambar tersebut diambil dari kearifan lokal yang berlaku di Pulau Nias, Sumatera Utara.
Tradisi yang menjadi kearifan lokal ini disebut Fahombo. Budaya ini telah berlangsung lama dan diperuntuk untuk laki-laki saja. Agar dianggap sebagai laki-laki yang matang dan dewasa secara fisik, pemuda Nias harus melompati tumpukan batu setinggi dua meter dan selebar 40 cm. Jika ditarik ke belakang, tradisi ini dulunya merupakan syarat yang harus dipenuhi seorang laki-laki jika ingin ikut berperang melawan musuh.
Dulu, dikisahkan di pulau tersebut seringkali terjadi perang antar wilayah. Setiap wilayah dipagari dengan bambu setinggi dua meter atau lebih sebagai pembatas wilayah. Pemuda yang dapat melompati pagar bambu tersebut diperbolehkan untuk ikut berperang.
8. Membungkukkan Badan
Kearifan lokal membungkukkan badan dapat kita temui di beberapa negara. Salah satunya di negara kita, Indonesia. Kemudian ada Jepang dan Korea Selatan yang membudayakannya. Namun demikian, cara dan arti sikap tersebut memiliki arti yang berbeda antara masing-masing negara.
Di Indonesia, contohnya. Kearifan lokal ini cukup familiar dalam budaya Jawa seperti Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Kearifan lokal di wilayah-wilayah tersebut disebut dengan mlaku mbungkuk, maksudnya berjalan dengan gestur tubuh sedikit membungkuk ketika berjalan lewat di depan orang yang lebih tua.
Sikap dan perilaku tersebut sudah ada sejak zaman dulu. Maksud dari mlaku mbungkuk adalah mengajarkan anak-anak tentang tata krama dan sopan santun kepada orang yang lebih tua sehingga mereka memiliki rasa hormat.
Posisi badan saat melakukan mlaku mbungkuk adalah badan membungkuk ke bawah dengan posisi satu tangan lurus ke bawah dan satu tangn lainnya ke belakang seakan memegang pinggang (naun bukan berkacak pinggang). Pada umumnya, mlaku mbungkuk disertai dengan kalimat “nuwun sewu, amit” yang berarti mohon ijin untuk lewat.
Sementara itu, salah satu kearifan lokal Jepang juga membungkukkan badan. Gestur ini disebut dengan Ojigi. Budaya ini dilakukan orang Jepang dengan cara membungkukkan badan mereka saat bertemu dengan orang lain. Badan yang dibungkukkan biasanya berada pada rentang 15-45 derajat kemiringan.
Cara ini berbeda dengan orang Indonesia yang memilih bersalaman atau berjabat tangan ketika bertemu dengan orang lain. Bagi orang Jepang, kontak anggota tubuh dengan orang lain, terutama dengan orang yang belum dikenal, akan dianggap tidak sopan.
Gerakan Ojigi dilakukan dengan banyak tujuan. Di antaranya adalah untuk mengucapkan salam kenal, sambutan selamat datang, permintaan maaf, ungkapan rasa hormat, suasana formal, ucapan terima kasih, atau ekspresi perasaan.
9. Bau Nyale
Kearifan lokal berikutnya yang akan kita bahas adalah Bau Nyale yang menjadi budaya Suku Sasak, suku terbesar di Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB). Arti dari Bau Nyale sendiri adalah menangkap cacing laut. Memang, cacing laut bagi suku Sasak dianggap sebagai jelmaan Putri Mandalika. Cacing laut atau nyale yang ditangkap tersebut kemudian dimasak dengan berbagai pilihan menu yang ada di Lombok.
Kearifan lokal ini dilangsungkan pada tanggal 20 setiap bulan 10 menurut perhitungan kalender suku Sasak (pranata mangsa). Biasanya hari tersebut jatuh pada rentang bulan Februari sampai Maret setiap tahunnya. Pada tanggal tersebut, kalian tidak perlu heran jika ada ribuan orang berduyun-duyun datang ke Pantai Kuta di Lombok pada dini hari untuk menangkap nyale.
Kesimpulan
Grameds, sebenarnya masih ada banyak kearifan lokal yang belum sempat kita bahas, baik di dalam Indonesia ataupun di negara lain. Budaya, tradisi, norma, dan kepercayaan yang berlaku di setiap daerah menjadikan dunia kita memiliki keragaman kearifan lokal yang melimpah. Dengan demikian, bisa jadi kearifan lokal yang berlaku di daerah kita berbeda dengan kearifan lokal yang berlaku di tempat lain.
Keberagaman tersebut sudah seharusnya menjadikan kita lebih bijak dalam menghadapi perbedaan. Kita sah-sah saja bangga terhadap kearifan lokal yang kita pegang selama ini. Namun, kita akan bijaksana jika tetap memberikan rasa hormat terhadap kearifan lokal yang berlaku di tempat lain.
Grameds, ulasan kita mengenai contoh kearifan lokal telah usai. Semoga semua pembahasan di atas bermanfaat sekaligus menambah wawasan Grameds. Jika ingin mencari berbagai macam buku tentang budaya Indonesia, kamu bisa mendapatkannya di gramedia.com.
Sebagai #SahabatTanpaBatas, Gramedia siap menemanimu untuk menggali kearifan lokal lainnya dengan buku-buku terbaik kami dan jadikan hidup kamu #LebihDenganMembaca. Jangan segan untuk memilih buku yang terbaik ya, Grameds.
Penulis: Mutiani Eka Astutik
BACA JUGA:
- Pengertian Etika: Macam-Macam Etika & Manfaat Etika
- Bagaimana Cara Menghargai Orang Lain dengan Cara yang Tepat
- 16 Tips Agar Lebih Dihormati Oleh Orang Lain
- Pengertian, Etika, dan Musyawarah sebagai Kearifan Lokal
- Buku Budaya Nusantara Best Seller Terbaru
ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."
- Custom log
- Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
- Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
- Tersedia dalam platform Android dan IOS
- Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
- Laporan statistik lengkap
- Aplikasi aman, praktis, dan efisien