Novel Amba – Membaca sejarah bisa jadi sangat membosankan bagi mereka yang tidak menyukainya sama sekali. Banyak juga murid yang menganggap sejarah tidak begitu penting karena dinilai tidak terlalu banyak manfaatnya. Jika dibandingkan dengan peminat cerita cinta, peminat sejarah jelas tertinggal jauh.
Akan tetapi siapa yang bisa menolak daya tarik cerita sejarah yang dibumbui dengan kisah cinta? Seperti Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer yang begitu digandrungi banyak orang, baik buku maupun film-nya.
Hal ini juga berlaku untuk novel “Amba” dari Laksmi Pamuntjak. Novel yang terbit di bulan September sembilan tahun yang lalu ini, berhasil menarik perhatian banyak orang dan sudah dicetak ulang berkali-kali sampai saat ini.
Dalam artikel kali ini, kita akan membahas mengenai novel Amba ini dengan rinci dan lengkap sehingga Grameds bisa punya gambaran tentang kualitas bukunya.
Table of Contents
Profil Penulis
Laksmi Pamuntjak adalah penulis kelahiran Jakarta, tepatnya pada tanggal 24 Desember tahun 1971 yang lalu. Selain menulis, Laksmi juga berprofesi sebagai penyair, jurnalis, penulis makanan, dan mendirikan toko buku yang diberi nama Aksara.
Laksmi cukup aktif menulis opini di website The Guardian. Selain itu, dia juga sering menulis untuk penerbit lokal maupun internasional. Sementara pekerjaannya sendiri merupakan konsultan seni dan makanan. Sungguh seorang wanita yang multitalenta, ya Grameds!
Tercatat sampai saat ini, Laksmi berhasil menerbitkan empat buah novel Bahasa Indonesia yakni Aruna dan Lidahnya, Amba, Kekasih Musim Gugur, Serta Perang, Langit, dan Dua Perempuan.
Detail Novel Amba
Novel Amba pertama kali terbit pada bulan September tahun 2012 yang lalu. Diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama. Novel super tebal ini memiliki 577 halaman dan termasuk ke dalam kategori novel 21+
Novel Amba pernah meraih penghargaan sastra tingkat dunia dan dipuji oleh banyak sastrawan serta tokoh-tokoh besar. Dengan latar sejarah yang dibumbui kisah cinta rumit, novel ini sangat cocok bagi Grameds penggemar cerita cinta yang tidak biasa. Kamu bisa membeli novel Amba karya Laksmi Pamuntjak di Gramedia dengan harga Rp130,000.
Pada tahun 2016 yang lalu, novel Amba berhasil memenangi LiBeraturpreis 2016 di Jerman. Ini adalah penghargaan sastra Jerman yang ditujukan khusus kepada penulis perempuan dari Amerika Latin, Asia, Afrika, Arab, dan wilayah Karibia.
Sinopsis Novel Amba
Tahun 2006: Amba pergi ke Pulau Buru. Ia mencari orang yang dikasihinya, yang memberinya seorang anak di luar nikah. Laki-laki itu Bhisma, dokter lulusan Leipzig, Jerman Timur, yang hilang karena ditangkap pemerintah Orde Baru dan dibuang ke Pulau Buru. Ketika kamp tahanan politik itu dibubarkan dan para tapol dipulangkan, Bhisma tetap tak kembali.
Novel berlatar sejarah ini mengisahkan cinta dan hidup Amba, anak seorang guru di sebuah kota kecil Jawa Tengah. “Aku dibesarkan di Kadipura. Aku tumbuh dalam keluarga pembaca kitab-kitab tua.” Tapi ia meninggalkan kotanya. Di Kediri ia bertemu Bhisma. Percintaan mereka terputus dengan tiba-tiba di sekitar Peristiwa G30S di Yogyakarta. Dalam sebuah serbuan, Bhisma hilang selama-lamanya. Baru di Pulau Buru, Amba tahu kenapa Bhisma tak kembali.
Isi Novel Amba
Cerita kehidupan Amba dimulai dari kampung halamannya, Kadipura. Amba yang berusia 18 tahun sama sekali tidak memikirkan pernikahan dan justru ingin menyambung pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Sebaliknya, ayah dan ibunya justru merasa sangat khawatir karena Amba masih belum kunjung menikah juga.
Di tahun 1962, Sudarminto ayah Amba datang ke sebuah pertemuan yang digelar di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Gadjah Mada. Di acara ini ayah Amba bertemu dengan Salwani Munir (Salwa) yang merupakan seorang dosen muda kala itu.
Tertarik dengan Salwa, Sudarminto pun menjodohkannya dengan Amba, anaknya. Namun sebelum perjodohan dilakukan, mereka menerima syarat dari Amba yang ingin menyelesaikan kuliah terlebih dulu. Amba pun masuk sebagai salah satu mahasiswi jurusan Sastra Inggris di Universitas Gadjah Mada, tempat Salwa mengajar.
Perlahan-lahan Amba mulai bisa menikmati kehidupan barunya sebagai mahasiswi. Dia bahkan mencintai sastra sebagai bagian tidak terpisahkan dari kehidupannya. Akan tetapi, di tahun kedua di tahun kedua studinya, Salwa harus pindah tugas ke Universitas Airlangga, Surabaya. Mengingat suasana politik yang sedang kacau, Salwa ingin segera menikah dengan Amba namun keinginan ini ditolak oleh Amba.
Setelah Salwa pindah ke Surabaya, Amba diterima menjadi seorang penerjemah di rumah Sakit Sono Walujo. Di sini dia bertugas untuk menerjemahkan setiap dokumen medis yang berbahasa Inggris ke bahasa Indonesia. Di sini lah kisah cinta Amba dan Bisma, seorang dokter lulusan Jerman Timur, dimulai.
Bisma hadir menggetarkan hati seorang Amba dan membuatnya merasakan cinta yang sama sekali berbeda dengan yang pernah dirasakannya kepada Salwa. Mereka memadu kasih sampai Amba mengandung calon anak mereka.
Di tahun 1965 Bisma ditangkap karena dianggap mempunyai keterlibatan dengan PKI. Penangkapan itu terjadi di Yogyakarta, tepatnya saat menghadiri sebuah acara yang digelar oleh teman Bisma, Untarto. Di tahun 1971, Bisma diasingkan ke Pulau Buru tanpa sepengetahuan Amba. Amba yang kebingungan pergi ke Jakarta, meninggalkan Salwa juga keluarganya. Di Jakarta dia bertemu seorang pria yang bersedia menikahinya, yaitu Adelhard Eliers. Seorang laki-laki berkebangsaan Amerika. Waktu berlalu dan Tiga bulan setelah melahirkan anaknya, Srikandi, Amba mengirimkan surat kepada orang tuanya. Melalui surat tersebut dia mengabari bahwa dirinya telah menikah dan mempunyai seorang anak namun bukan dengan Salwa.
Lalu pada tahun 2006, Amba pergi ke Pulau Buru menjawab rasa penasarannya dan memastikan bahwa informasi tentang Bisma yang dia terima benar adanya. Suatu hari setelah Adelhard meninggal dunia, Amba menerima sebuah email yang memberitahukan bahwa Bisma sudah meninggal dunia di Pulau Buru, tempat yang dijadikan untuk pembuangan para tahanan politik.
Setelah membaca email itu, Amba lalu pergi ke Pulau Buru. Di Pulau tersebut dia menumpahkan semua perasaan dan kenangannya ditemani sura-surat yang Bisma tulis. Ternyata selama berada di Pulau Buru, Bisma menulis banyak surat yang dia masukan ke dalam sebuah tabung bambu.
Tabung itu disimpan di bawah pohon meranti yang ada di kampung Walgan. Salah seorang penghuni asli Pulau Buru bernama Manalisa menjaga peninggalan satu-satunya Bisma untuk Amba. Manalisa adalah teman baik dari Bisma dan dianggap sebagai orang yang sakti oleh penduduk sekitar. Amba berhasil menemukan alasan kematian Bisma dalam tumpukan surat-surat yang tidak pernah menemui penerimanya.
Beberapa tahanan politik memilih tinggal di Pulau Buru dan memulai kehidupan yang baru dengan menikahi warga di sekitar tempat pembuangan. Bisma merupakan salah satunya. Dia menikah dengan anak seorang petinggi adat yang ada di Pulau Buru.
Selama masa pembuangan, Bisma membantu para tahanan politik jurga warga sekitar sehingga namanya dikenal baik oleh sesama tapol atau masyarakat sekitar lokasi pembuangan. Keahlian yang dia miliki juga dia gunakan untuk membantu keseharian masyarakat sekitar.
Setelah merasa puas dengan jawaban yang dia temukan di Pulau Buru, Amba pun pulang kembali ke Jakarta dengan perasaan tenang. Pertanyaan yang selama ini menghantui dirinya kini sudah menemukan jawabannya. Di tahun 2011, Amba bertemu dengan orang yang ikut membantu mencari Bisma di Pulau Buru. Orang tersebut bernama Samuel. Amba lantas meminta agar Samuel menemui Srikandi yang telah tumbuh besar.
Dalam pertemuan Samuel dengan Srikandi, Srikandi menceritakan tentang mimpi-mimpi yang dia alami. Di dalam mimpi tersebut, dia bertemu dengan seorang laki-laki yang sangat mirip dengan Samuel dan melihat ada seorang laki-laki lain yang meninggal dipenuhi darah. Samuel pun menyadari apa maksud mimpi tersebut bahwa Srikandi ternyata telah mendapatkan gambaran tepat bagaimana kematian ayahnya melalui mimpi tersebut.
Samuel pada akhirnya harus menyerah menghadapi kecantikan Srikandi. Bagi Samuel, Srikandi adalah Amba yang lebih muda. Mereka berdua pun menikah, dan sejak saat itu mereka tidak pernah kembali ke Pulau Buru. Begitu pula dengan Amba. Dia terus melanjutkan hidupnya sejak berhasil mengetahui jejak kekasih hatinya, Bisma.
Tema dan Penokohan
Novel Amba mempunyai tema perjuangan dan cerita cinta yang berlatar sejarah Indonesia saat peristiwa G30S. Meskipun fiksi, novel ini berhasil mengangkat sisi lain dari peristiwa bersejarah tersebut.
Tokoh utamanya adalah Amba, seorang perempuan yang keras kepala, mempesona, dan tahu persis apa yang diinginkannya. Amba mengambil beberapa pilihan yang sulit dalam hidupnya. Termasuk pergi ke Jakarta dan Pulau Buru demi menemukan jawaban dari pertanyaan yang terus mengganjal pikirannya.
Ada juga Salwa, seorang dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan UGM yang sangat mencintai Amba dan menjadi tunangannya. Dia memiliki hubungan yang dengan dengan keluarga dan orang tua Amba, sehingga ingin mempersuntingnya.
Selanjutnya, ada tokoh Bisma yang menjadi kekasih Amba satu-satunya. Mereka menjalin cinta saat Amba bekerja di Kediri. Bisma diasingkan ke Pulau Buru sebagai tahanan politik saat peristiwa G30S dan tidak pernah kembali lagi.
Tokoh laki-laki lain yang ada di buku ini adalah Adalhard. Seorang keturunan Jerman yang menolong Amba saat sedang kebingungan mencari Bisma. Adalhard mencintai Amba dan putrinya dengan sepenuh hati meski Amba tidak pernah bisa melupakan Bisma.
Tokoh terakhir dalam novel ini yaitu Samuel. Dia bertemu dengan Amba pertama kali di kapal saat pergi ke Pulau Buru dan sejak itu Samuel selalu luluh jika berada di dekat Amba.
Kelebihan dalam Novel Amba
Salah satu kelebihan yang paling utama dari novel ini adalah nukilan epos Mahabharata yang muncul di setiap pergantian “buku”-nya. Nama-nama tokoh memang diambil dari cerita pewayangan dan penulis memulai setiap “buku” dengan kutipan cerita yang diambil dari kitab aslinya.
Yang kedua, ada banyak filosofi dari kitab-kitab tua dan cerita-cerita yang melegenda. Di sisi lain, penulis juga berhasil menggambarkan latar ceritanya dengan sangat baik. Kabarnya, penulis mengunjungi lokasinya langsung dan melakukan wawancara dengan narasumber sebagai bahan menulis novel ini.
Kelebihan selanjutnya, tokoh-tokoh dalam novel ini karakternya sangat kuat! Sejak awal cerita, setiap tokoh yang muncul bisa diingat dengan mudah sehingga saat membaca kamu tidak perlu membuka halaman sebelumnya untuk mengingat tokoh-tokoh tertentu.
Yang lebih menarik lagi, diksi yang digunakan sangat kaya dan beragam. Laksmi Pamuntjak sangat pandai menyesuaikan kata-kata dari cerita wayang serta kutipan buku ke dalam bahasa yang mudah dibaca. Di samping itu, novel ini juga dipenuhi dengan kutipan yang dalam maknanya.
Lalu bagi kamu yang mau belajar sejarah tapi tidak kuat membaca buku pelajaran dalam waktu yang lama, novel Amba ini bisa jadi pilihan alternatif lho. Di sini kondisi politik setelah kemerdekaan serta peristiwa-peristiwa penting lainnya dijadikan latar cerita.
Keunggulan lainnya yang sayang kamu lewatkan terletak pada cerita naratif dengan corak realisme dan eksistensialisme. Latar belakangnya pun merupakan tempat-tempat sejarah seperti Universitas Res Publica, atau rumah sakit Waeapo. Plotnya sendiri diselingi dengan hikmah Mahabharata dan estetika Srimulat yang memiliki adegan modernisme. Bahasa yang lugas juga memudahkan pembaca merasakan petualangan Amba dari Pulau Jawa ke tanah Maluku.
Novel Amba ini mempunyai kata pengantar, terima kasih, serta catatan sebagai penutup bukunya. Masing-masing bagian ini punya tujuannya sendiri yang tidak boleh kamu lewatkan sama sekali.
Nilai sejarah dalam novel ini juga begitu melekat di pikiran, apalagi jika kamu hanya mengenal peristiwa G30S dari film pemerintah atau buku sekolah. Narasi tentang G30S versi pemerintah terus digaungkan sehingga menutup suara-suara dari berbagai cerita para rakyat kecil yang menjadi korban, kisah-kisah yang tidak mendapatkan ruang untuk diceritakan dan disampaikan kepada banyak orang.
Kehadiran novel ini setidaknya dapat mengisi kekosongan itu, meski dengan porsi yang sangat kecil. Tujuan penulis untuk mengenalkan sejarah melalui cerita fiksi pun bisa tersampaikan dengan baik. Khususnya melalui berbagai percakapan atau diskusi yang dilakukan oleh tokoh-tokoh dalam novel ini.
Surat-surat yang ditulis oleh Bisma juga bisa memberikan perspektif baru, terlebih tentang tahanan politik. Setidaknya, perspektif tersebut bisa sedikit menepis stereotip yang disematkan kepada tahanan politik sebagai pihak yang tidak mempunyai hati, bengis, serta stereotip negatif lainnya.
Kekurangan dalam Novel Amba
Tak ada gading yang tak retak alias tidak ada yang sempurna di dunia ini, begitu juga novel dari Laksmi Pamuntjak yang satu ini. Setidaknya ada sedikit typo di dalamnya serta beberapa keganjilan. Untungnya, keganjilan ini tidak terlalu mengganggu jalannya cerita.
Dan khusus untuk tokoh Adalhard, mungkin kamu akan merasa kurang ditonjolkan. Mengingat waktu yang dihabiskan oleh Amba bersama Adalhard terbilang tidak sedikit sehingga hal ini jadi cukup mengganggu.
Yang terakhir ada beberapa kalimat terlalu panjang dan berpotensi membuat kamu merasa bosan saat membacanya.
Kesimpulan Novel Amba
Saat kamu membaca novel Amba, kamu akan diajak melihat sejarah Indonesia dari kacamata yang baru. Cerita cinta antara Amba dengan tokoh laki-laki lainnya juga sangat menarik untuk diikuti. Laksmi mengajak pembacanya untuk tidak menghakimi satu pihak tanpa mendengarkan cerita dari pihak yang lain.
Jika kamu merasa bosan dengan novel Indonesia yang dipenuhi khayalan romantis tentang keindahan cinta, Amba bisa memberikan angin segar dengan cinta yang realistis sekaligus tragis. Dengan membaca buku Amba, kamu juga akan diajak melewati sebuah lorong waktu untuk melihat bagaimana sejarah keruntuhan orde lama yang ditandai dengan kerusuhan di beberapa kota.
Namun perlu kamu ingat juga bahwa novel ini bukan sebuah upaya untuk menunjuk siapa yang memegang tanggung jawab paling besar atas salah satu peristiwa sejarah bangsa ini. Novel Amba hanya menunjukan salah satu cerita yang terjadi saat peristiwa 1965.
Penulis: Gilang Oktaviana Putra
- Novel Fantasi
- Novel Best Seller
- Novel Romantis
- Novel Fiksi
- Novel Non Fiksi
- Buku Tentang Perempuan
- Rekomendasi Novel Terbaik
- Rekomendasi Novel Horor
- Rekomendasi Novel Remaja Terbaik
- Rekomendasi Novel Fantasi
- Rekomendasi Novel Fiksi
- Rekomendasi Novel Dewasa
- Rekomendasi Novel Pernikahan
- Rekomendasi Novel Romantis Korea
- Rekomendasi Novel Romantis Islami
- Rekomendasi Novel Sejarah
- Rekomendasi Novel Tentang Kehidupan
- Review Novel Amba
- Review Novel Badai Pasti Berlalu
- Review Novel Catatan Harian Sang Pembunuh (Diary Of A Murderer)
- Review Novel Funiculi Funicula
- Review Novel Kita Pergi Hari Ini
- Review Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
- Review Novel Petualangan Jack dan Piggy Natal
- Review Novel The Architecture of Love
- Review Novel The Hunger Games
- Review Novel Samuel
- Review Novel One Of Us Is Next
- Review Novel Angkasa dan 56 Hari
- Review Novel Cantik Itu Luka
- Review Novel Dollagoot: Toko Penjual Mimpi
- Review Novel Guru Aini
- Review Novel Garis Waktu
- Review Novel The Star And I
- Resensi Novel Ruin and Rising
- Review Novel Crooked Kingdom
- Review Novel Six Of Crows
- Review Novel Kig Of Scars
- Review Novel Rules Of Wolves
- Review Novel Novel Botchan Natsume Soseki
- Review Novel Must Be a Happy Ending
- Review Novel Merindu Cahaya De Amstel
- Resensi Novel Teluk Alaska