Halo, Grameds! Pernah dengar tentang Tedak Siten? Tradisi Jawa yang satu ini penuh dengan makna dan cerita menarik, lho. Sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia, Tedak Siten dirayakan untuk menandai momen spesial ketika seorang anak pertama kali menginjakkan kakinya ke tanah.
Menurut Gramin, tradisi seperti ini tidak hanya indah secara ritual, tetapi juga menyimpan pesan filosofis yang patut kita kenali. Yuk, bersama-sama kita eksplor lebih dalam tentang sejarah, makna, perlengkapan, dan tahapan dalam upacara Tedak Siten! Siapa tahu bisa jadi inspirasi untuk tetap melestarikan budaya kita!
Table of Contents
Perlengkapan Tedak Siten
Dalam prosesi Tedak Siten, diperlukan berbagai perlengkapan atau uba rampe yang harus dipersiapkan. Perlengkapan atau uba rampe yang diperlukan dalam upacara Tedak Siten adalah sebagai berikut:
1. Nasi tumpeng
2. Jenang (bubur) merah dan putih
3. Jenang boro-boro
4. Jajan pasar lengkap
5. Jadah tujuh warna
6. Kembang setaman
7. Tangga yang terbuat dari tebu
8. Kurungan (sangkar) ayam dihiasi janur kuning dan kertas warna-warni
9. Pasir dalam wadah
10. Beras kuning dan beberapa lembar/koin uang
11. Barang-barang perhiasan, antara lain kalung, gelang, peniti
12. Barang-barang yang bermanfaat, misalnya buku dan alat-alat tulis
Sejarah Singkat Tedak Siten
Tedak Siten adalah salah satu tradisi dalam budaya Jawa. Dalam bahasa Jawa, Tedak Siten berasal dari dua kata, yaitu tedak yang berarti “turun” dan siten (berasal dari kata “siti”) yang berarti “bumi” atau “tanah”. Secara harfiah, tradisi ini menggambarkan langkah pertama seorang anak menginjakkan kakinya ke tanah, simbol kesiapan anak untuk menjalani fase kehidupan baru.
Upacara Tedak Siten dilakukan saat anak berusia tujuh lapan kalender Jawa atau usia delapan bulan kalender masehi yaitu ketika anak mulai belajar duduk dan berjalan di tanah. Bagi masyarakat Jawa, Tedak Siten dilaksanakan sebagai bentuk penghormatan kepada bumi sebagai tempat anak mulai belajar menginjakkan kakinya ke tanah.
Upacara Tedak Siten selalu disertai doa-doa dari orang tua dan para sesepuh sebagai bentuk harapan agar kelak sang anak dapat meraih kesuksesan dalam menjalani hidupnya. Upacara ini juga memiliki simbol yang menggambarkan masa depan si anak. Tujuan utama dari pelaksanaan Tedak Siten adalah agar saat dewasa nanti, anak diharapkan menjadi pribadi yang kuat, mandiri, dan mampu menghadapi berbagai tantangan hidup demi mencapai cita-citanya.
Selain itu, upacara ini juga menjadi wujud syukur atas perkembangan anak yang mulai mengenal lingkungan sekitarnya dan belajar melangkah. Tedak Siten juga bertujuan memperkenalkan anak pada ibu pertiwi sebagai simbol tanah tempat berpijak. Dalam budaya Jawa, terdapat filosofi “Ibu Pertiwi Bapa Angkasa,” yang mengartikan bumi sebagai ibu dan langit sebagai bapak.
Dalam budaya Jawa terdapat banyak nasihat atau pitutur yang dapat kita petik hikmahnya. Pitutur ini berasal dari serat-serat (kumpulan nasihat yang dibukukan) seperti serat Kalatidha, Serat Wulangreh dan banyak lainnya. Secara umum, serat-serat yang diciptakan para Pujangga besar Seperti R. Ngabehi Ranggawarsita , R Ngabehi Yasadipura II, dan Sultan Agung ditulis pada sekitar tahun 1700-an. Lalu, masihkah relevan dengan masa sekarang? Ternyata banyak pitutur yang diciptakan itu masih bisa diterapkan hingga saat ini, misalnya nasihat tentang ilmu sejati (menjalankan perintah dan menjauhi larangan Tuhan) hingga menghindari sikap hedonisme dengan laku prihatin.
Buku Pitutur Wong Jawa: Belajar Bijak Ala Orang Jawa ini adalah buku tentang kebudayaan Jawa, khususnya membahas kebijaksanaan-kebijaksanaan yang terkandung dalam berbagai serat-serat Jawa di tempo dahulu. Selain itu, buku ini adalah sebuah cara untuk mempertahankan budaya Jawa yang adiluhung dan berkarakter. Buku ditulis oleh Asti Musman, penulis yang sudah malang-melintang di dalam kepenulisan budaya Jawa dan seluruh tulisannya ia riset sendiri selama berbulan-bulan dari lontar-lontar lama yang masih tersimpan di beberapa perpustakaan di Yogyakarta.
Tahapan dalam Upacara Tedak Siten
Berikut merupakan tahapan kegiatan dalam prosesi Tedak Siten yang perlu dilakukan:
1. Membasuh Kaki
Prosesi ini diawali dengan membasuh kaki anak dengan cara orang tua menggendong anak untuk dicuci bersih kakinya, kemudian orang tua membimbing anak untuk menginjakkan kakinya ke tanah.
Kegiatan ini memiliki makna bahwa si anak mulai menapaki tanah, yang artinya anak akan mulai menapaki fase kehidupan baru dengan hati yang bersih dan suci.
2. Berjalan Melewati Tujuh Jadah
Orang tua menuntun anak menginjakkan kakinya pada “jadah” atau ‘tetel” dengan tujuh warna yang berbeda. Jadah merupakan makanan yang terbuat dari beras ketan yang dicampur dengan kelapa muda dengan ditambahi garam agar rasanya gurih.
Ketujuh warna tersebut terdiri dari merah, putih, hijau, kuning, biru, merah muda, dan ungu. Angka tujuh dalam bahasa Jawa disebut pitu, yang memiliki makna simbolis sebagai doa agar sang anak senantiasa mendapatkan pitulungan atau pertolongan dari Tuhan Yang Maha Esa dalam menghadapi berbagai kesulitan hidup di masa depan.
Setiap warna memiliki arti dan harapan tersendiri, yaitu:
- Merah
Melambangkan keberanian, dengan harapan sang anak tumbuh menjadi pribadi yang berani menghadapi kehidupan.
- Kuning
Menggambarkan kekuatan lahir dan batin yang harus dimiliki setiap individu.
- Putih
Merepresentasikan kesucian hati dan pikiran.
- Merah jambu (pink)
Melambangkan cinta dan kasih sayang, baik kepada orang tua, saudara, kakek-nenek, dan orang di sekitarnya.
- Biru
Melambangkan ketenangan jiwa dalam menjalani setiap langkah kehidupan.
- Hijau
Menggambarkan lingkungan serta kesuburan, simbol keseimbangan dengan alam sekitar.
- Ungu
Merepresentasikan kesempurnaan atau puncak kehidupan yang menjadi cita-cita setiap orang.
Makna yang terkandung dalam jadah tujuh warna ini merepresentasikan perjalanan hidup yang akan dilalui seorang anak, mulai dari pertama kali menapakkan kakinya di bumi hingga dewasa nanti.
Jadah tujuh warna ini disusun mulai dari warna yang gelap ke terang. Hal ini menggambarkan bahwa dalam hidup anak akan menghadapi masalah mulai dari yang berat sampai yang ringan akan selalu menemukan titik terang dan penyelesaiannya. Keberagaman warna ini juga menjadi simbol bahwa rintangan serta kesulitan hidup datang dalam berbagai bentuk dan jenis.
3. Menaiki Tangga Tebu Wulung
Dalam prosesi ini anak dibimbing orang tua untuk menaiki tujuh tangga yang terbuat dari tebu. Kata tebu sendiri diambil dari antebing kalbu yang berarti kemantapan hati atau tekad yang kuat dan kepercayaan diri.
Setelah mencapai puncak tangga tebu, anak dibimbing untuk turun dan kembali menginjak tanah. Tangga tebu ini terbuat dari tebu jenis arjuna, yang melambangkan harapan agar anak memiliki sifat ksatria seperti Arjuna dalam pewayangan, yaitu bertanggung jawab dan tangguh.
Setelah turun dari tangga, anak kemudian dituntun untuk berjalan di atas pasir yang diletakkan dalam wadah. Di sini, anak akan mengais pasir dengan kakinya, yang dalam bahasa Jawa disebut ceker-ceker, yang melambangkan usaha anak untuk mencari nafkah dan memenuhi kebutuhan hidupnya saat dewasa.
“Aja ngomong waton, nanging ngomonga nganggo waton.”
Jangan asal bicara, tetapi bicaralah dengan patokan atau alasan yang jelas. Peribahasa tersebut merupakan ajakan untuk tidak asal bicara. Usahakan setiap pembicaraan benar-benar memiliki landasan atau alasan yang jelas agar dapat dipertanggungjawabkan.
Biasanya, peribahasa ini digunakan untuk mengingatkan siapa pun yang sering menjelek-jelekkan orang lain dan menyebarkan kabar bohong atau hoaks. Dalam khazanah hidup kebudayaan Jawa, tersimpan ribuan peribahasa yang tetap diamalkan dan memberikan warna khusus bagi dinamika masyarakatnya hingga kini.
Buku ini sengaja ditulis sebagai upaya merangkum kembali peribahasa Jawa yang eksistensinya mampu menembus ruang dan waktu hingga abad XXI. Apabila disimak, kekuatan nilai pesan yang terkandung dalam peribahasa tradisional masih sangat relevan sebagai landasan sikap dan perilaku di era digital.
4. Kurungan
Prosesi selanjutnya anak dibimbing untuk memasuki kurungan ayam. Di dalam kurungan terdapat berbagai benda seperti perhiasan, beras, buku tulis, mainan, dan lain-lain. Kemudian anak dibiarkan untuk memilih salah satu dari barang tersebut.
Prosesi ini memberikan simbol bahwa kelak anak akan dihadapkan berbagai jenis pekerjaan. Hal ini seakan menggambarkan masa depan anak, bahwa ia akan menjalani profesi yang berhubungan dengan benda yang dipilihnya.
5. Memandikan Anak
Selanjutnya orang tua memandikan anak dengan air yang diambil oleh orang tuanya pada waktu tertentu, yaitu pada malam hari sekitar pukul 10 hingga 12 malam. Kemudian air didiamkan atau diembunkan sampai keesokan harinya terkena sinar matahari.
Dalam prosesi ini, anak dimandikan oleh orang tuanya dengan air yang telah diberi bunga. Maknanya adalah agar anak kelak dapat memberikan kebanggaan dan mengharumkan nama keluarga. Setelah dimandikan, anak kemudian diberi pakaian baru.
6. Memberikan Udhik-Udhik
Selanjutnya, ayah dan kakek si anak menyebarkan udhik-udhik, yaitu beras kuning yang terbuat dari campuran beras dan parutan kunyit, yang sudah dicampur dengan uang logam untuk diperebutkan oleh anak-anak yang hadir.
Tujuan dari prosesi ini adalah agar si anak ketika dewasa menjadi orang yang dermawan dan suka membantu orang lain. Harapannya, dengan kebiasaan memberi dan membantu orang lain, ia akan lebih mudah mendapatkan rezeki.
Dengan demikian selesailah upacara Tedak Siten.
Penutup
Nah, itu dia, Grameds, rangkaian prosesi Tedak Siten yang penuh makna dan nilai budaya. Dari setiap tahapan, kita bisa melihat bagaimana tradisi ini tidak hanya sebagai bentuk syukur atas kelahiran seorang anak, tetapi juga sebagai harapan bagi masa depannya. Melalui simbol-simbol seperti “udik-udik”, prosesi ini mengajarkan kita untuk menjadi pribadi yang dermawan dan baik hati.
Semoga informasi ini memberi wawasan baru tentang betapa kaya dan dalamnya tradisi kita. Jangan lupa untuk terus melestarikan budaya dan tradisi yang ada di sekitar kita! Kamu bisa memulainya dengan membaca beragam buku terkait budaya Indonesia, mulai dari budaya Jawa, Minang, Dayak, hingga suku budaya lainnya melalui kumpulan buku best seller yang tersedia di Gramedia.com.
Berkembangnya budaya modern di Indonesia, khususnya di Jawa, terbilang sangat pesat. Para pengguna produk budaya modern bukan hanya generasi muda, tetapi juga orang-orang tua, remaja, dan bahkan anak-anak. Bukan hanya kaum pria, tetapi juga wanita.
Tidak heran bila generasi muda sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk menggunakan media digital, seperti smartphone alias ponsel pintar. Alat tersebut bukan sekadar dijadikan alat komunikasi, tetapi digunakan pula untuk mendapatkan segala informasi dari internet, baik berupa teks, audio, maupun video. Bahkan saat ini smartphone telah digunakan untuk melakukan transaksi keuangan atau kegiatan bisnis melalui aplikasi-aplikasi (program-program) tertentu.
Seiring perkembangan zaman dan kemajuan teknologi, nilai-nilai tradisional seperti etika mulai terkikis. Alhasil, banyak penyalahgunaan teknologi untuk hal negatif, misalnya penyebaran hoax, kasus bullying atau perundungan, hingga menurunnya solidaritas sosial dan keselarasan dengan alam.
Sejatinya, masyarakat Indonesia-termasuk Jawa-memiliki unggah ungguh yang tinggi. Sejak dahulu, masyarakat Jawa dikenal begitu menjunjung tinggi subasita atau etika. Etika tersebut diaplikasikan dalam berbagai hal dalam kehidupan sehari-hari sehingga dapat tercipta kehidupan yang harmonis.
Buku ini mencoba menguak kembali beragam hal tentang etika Jawa, mulai dari hakikat, sumber etika, penerapan etika Jawa dalam beragam kesadaran, hingga langkah menjadikan etika Jawa sebagai pedoman hidup. Harapannya, masyarakat-khususnya generasi muda- dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan masa kini. Dengan demikian, bangsa ini bisa tetap inklusif dalam kemajuan, tetapi tetap konservatif dalam tradisi.
Dengan membaca buku ini diharapkan para pembaca, terutama generasi muda akan mengetahui pentingnya etika Jawa. Selain sebagai filter atas pengaruh negatif dari budaya modern, etika Jawa dapat difungsikan sebagai pembentuk kepribadian emas generasi muda yang merupakan aset tak ternilai bagi bangsa dan negara di masa depan.
- 17 Rekomendasi Board Game
- 10 Lukisan Termahal di Dunia
- 100 Tebak Tebakan Receh
- 18 Jenis Kelamin di Thailand
- 25 Orang Terganteng di Dunia
- 27 Film Jepang Terbaik Sepanjang Sejarah
- 11 Film Psikologi Barat Maupun Korea
- Apa yang Membuat Bintang Jatuh Bercahaya?
- Berapa Biaya Hidup Di Jakarta
- Boneka Labubu Kenapa Mahal?
- Cara Menggunakan Mendeley
- Contoh Cinta Tanah Air
- Contoh Energi Nuklir
- Karakter Jujutsu Kaisen
- Kenapa Dinosaurus Punah
- Kenapa Tuyul Tidak Mencuri Uang di Bank?
- List Drakor Konglomerat
- Macam-Macam Genre Novel Beserta Contohnya
- Makhluk Mitologi Dunia
- Menjenguk Orang Sakit Bawa Apa
- Nama Princess Disney Terbaru
- Palu Thor
- Pantun Jenaka Beserta Maknanya
- Pazuzu
- Perlengkapan Tedak Siten
- Ryomen Sukuna
- Tugas Sweeper dan Pendaki
- Urutan Silsilah Keluarga Jawa
- Urutan Silsilah Keluarga Sunda
ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah."
- Custom log
- Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas
- Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda
- Tersedia dalam platform Android dan IOS
- Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis
- Laporan statistik lengkap
- Aplikasi aman, praktis, dan efisien