Kim Ji Yeong terlahir sebagai anak perempuan, anak kedua dalam keluarganya. Kakaknya, Kim Eun Yeong, juga seorang perempuan. Setelah itu, lahirlah adiknya, yang berjenis kelamin laki-laki.
Sejak kecil, Kim Ji Yeong sudah merasakan perbedaan perlakuan. Jika dia dan kakaknya harus belajar sekaligus bekerja di rumah membantu sang ibu, adik bungsunya berkebalikannya. Adiknya selalu diistimewakan. Karena sang adik berjenis kelamin laki-laki.
Memasuki usia sekolah, tak sedikit pengalaman yang dialami Kim Ji Yeong yang berkaitan dengan masalah gender. Bukan cuma perbedaan perlakuan kepadanya, bahkan secara general pada siswi perempuan.
Misalkan saat ia duduk di bangku SMP, di saat siswa laki-laki diperbolehkan memakai sepatu olahraga, sepatu bola dan bahkan sepatu lari, anak perempuan hanya diperbolehkan memakai sepatu biasa. Dengan alasan siswa laki-laki tidak akan bisa berdiam diri, selalu bergerak.
Semakin bertambah dewasa, Kim Ji Yeong pernah mengalami kejadian kurang menyenangkan. Ia dikuntit seorang laki-laki yang mengaku mengenalnya. Saat itu ia sedang berada di kendaraan umum.
Ia meminta tolong kepada perempuan yang ada di dekatnya untuk menghubungi ayahnya, tapi begitu turun dan bertemu ayahnya, Kim Ji Yeong justru dimarahi.
Memasuki masa perkuliahan, kesenjangan gender semakin menghantui dan membebani. Menjelang kelulusan, Kim Ji Yeong kesulitan mendapatkan pekerjaan.
Ia ditampar kenyataan bahwa kesempatan mendapat pekerjaan bagi perempuan di Korea Selatan saat itu memang lebih kecil dibanding laki-laki.
“Pada tahun 2005 ketika Kim Ji Yeong lulus, sebuah survei di situs informasi pekerjaan yang dilakukan pada lebih dari 100 perusahaan menyatakan bahwa jumlah wanita yang diterima bekerja hanya 29,6%.” (Cho Nam Joo, 2019:94)
Kim Ji Yeong hanya terus berusaha dan berharap hingga ia mendapat pekerjaan. Hidupnya nampak biasa saja, bahkan saat ia memutuskan menikah dengan Jeong Dae Hyeon. Semua berjalan dengan normal.
Setelah menikah hidupnya pun terbilang berkecukupan. Suaminya juga selalu mendukung apapun yang dilakukan Kim Ji Yeong, namun ternyata semua memuncak saat Kim Ji Yeong akhirnya mengandung.
Mengandung seharusnya menjadi kabar yang membahagiakan. Tapi dalam lingkungan patriarki, tentunya anak laki-laki sangat diharapkan. Seperti halnya saat sang adik laki-laki Kim Ji Yeong yang begitu diharapkan lahir, si bungsu menjadi yang teristimewa.
Keluarga Kim Ji Yeong dan suaminya juga begitu, berharap mereka memiliki anak laki-laki, tapi nyatanya Kim Ji Yeong mengandung anak perempuan.
“Kim Ji Yeong sering mendengar orang-orang bercerita tentang bagaimana mereka merasa resah setelah melahirkan anak perempuan dan bukan anak laki-laki, bagaimana mereka merasa bangga di hadapan mertua apabila mereka sedang mengandung anak laki-laki, bagaimana mereka bisa menyantap makanan mahal sepuas hati apabila sedang mengandung anak laki-laki.” (Cho Nam Joo, 2019:141)
Meski sudah merasa muak dengan kehidupannya, Kim Ji Yeong lagi-lagi tetap berusaha menjalaninya. Sampai akhirnya Kim Ji Yeong dan suaminya memutuskan ia tidak lagi bekerja setelah melahirkan. Ia mengasuh putrinya dan tinggal di rumah sebagaimana kebanyakan perempuan saat itu.
Pergulatan tentang hal-hal yang menyangkut diskriminasi gender, perlakuan spesial dan sebagainya turut serta tumbuh bersamanya. Hingga satu waktu, Kim Ji Yeong berubah.
Sang suami mendapati istrinya bukan lagi perempuan yang pernah dua tahun ia pacari dan sudah tiga tahun ini menjadi istrinya dan menjadi ibu dari anaknya. Kim Ji Yeong seperti kehilangan dirinya sendiri.
Membaca halaman demi halaman buku karya Cho Nam Joo ini seperti melihat keseharian perempuan biasa, yang berusaha tegar dengan apa yang terjadi di sekitarnya.
Kondisinya yang terlahir sebagai perempuan membuat sudut pandangnya lebih tajam menangkap hal yang terjadi di sekitarnya, di tempat yang masih menganut budaya patriarki.
Ia kecewa, ia merelakan banyak hal, ia menumpuk rasa sedihnya dan ia mulai kehilangan dirinya sendiri. Kesedihan mendalam dari seorang perempuan biasa bernama Kim Ji Yeong yang akhirnya membuat ia terjebak dalam depresi.
Novel Kim Ji Yeong Lahir Tahun 1982 ini salah satu rekomendasi menemani bulan terkahir di 2019. Buku ini akan memberikan pandangan baru, bahwa mungkin perempuan di Korea Selatan ataupun di Indonesia, memiliki beberapa kesamaan.
Bahwa setiap perempuan sebenarnya memiliki keinginan dan mimpinya sendiri, meski sering kali terbentur oleh hal-hal lain yang perlu diprioritaskan.
Kim Ji Yeong, seperti cermin bagi banyak perempuan yang hidup di dalam budaya patriarki yang kental.