Grameds, mungkin kamu sudah familiar dengan kisah Mangir, entah dari pertunjukan teater atau pelajaran sejarah di sekolah. Kisah legendaris ini memang sangat populer, terutama di wilayah Jawa Tengah. Berasal dari zaman kejayaan Kerajaan Mataram di abad ke-16, cerita Mangir terus hidup hingga masa kini, diwariskan secara turun-temurun melalui cerita lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Ini adalah kisah tentang ambisi besar seorang Raja Mataram yang bertekad menjadi penguasa tunggal di tanah Jawa. Mangir, yang dikenal sebagai wilayah yang kuat dan tangguh, berulang kali diserang oleh pasukan Mataram — namun berkali-kali pula mereka gagal menaklukkannya. Sampai akhirnya, sang raja menyusun siasat licik dengan mengirimkan putrinya untuk memikat dan menundukkan panglima Mangir.
Buku Mangir karya Pramoedya Ananta Toer menghidupkan kembali kisah ini dengan sudut pandang yang segar dan penuh nuansa yang baru. Diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia pada 31 Agustus 2015, buku setebal 142 halaman ini penuh dengan intrik, cinta, pengkhianatan, dan ambisi kekuasaan.
Melalui narasi yang tajam dan penuh dengan makna, Pramoedya akan mengajak kita menyelami dinamika politik dan strategi kerajaan di masa lampau, sekaligus menggali sisi manusiawi dari tokoh-tokohnya. Ayo, Grameds! Siap-siap terhanyut dalam ketegangan dan drama mulai dari lembar pertama hingga halaman terakhir. Bagi Grameds yang penasaran dengan buku ini, Gramin sudah rangkumkan ulasan tentang buku Mangir dibawah ini.
Table of Contents
Profil Pramoedya Ananta Toer – Penulis Buku Mangir
Pramoedya Ananta Toer, yang akrab disapa Pram, lahir pada 6 Februari 1925, dan wafat pada 30 April 2006. Pram merupakan seorang pengarang dan novelis Indonesia yang karyanya menggambarkan berbagai periode sejarah penting di Indonesia.
Karya-karyanya mencakup rentang waktu dari masa penjajahan Belanda, perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, hingga era rezim otoriter pasca-kolonial di bawah kepemimpinan Sukarno dan Suharto. Dalam tulisannya, Pramoedya tidak hanya mengangkat latar sejarah nasional, tetapi juga menghadirkan cerita-cerita yang sarat dengan pengalaman pribadi yang memberikan sudut pandang yang mendalam terhadap kompleksitas sejarah Indonesia.
Tulisan-tulisan Pramoedya sering kali mendapat perlawanan dari pemerintah kolonial serta otoriter yang ada di Indonesia. Meskipun namanya diakui di luar negeri, di dalam negeri ia karya-karyanya sering mendapat sensor, terutama pada masa sebelum Reformasi. Pemerintah Belanda menahan Pramoedya dari tahun 1947 hingga 1949 selama Perang Kemerdekaan Indonesia. Selama transisi ke rezim Suharto, ia terperangkap dalam perubahan politik yang berkecamuk dalam persaingan kekuasaan.
Soeharto kemudian menahan Pramoedya dari tahun 1969 hingga 1979 di Pulau Buru, Maluku, dengan tuduhan sebagai seorang Komunis. Meskipun dilihat sebagai penerus rezim sebelumnya, Pramoedya telah aktif melawan kebijakan-kebijakan tersebut. Di Pulau Buru, ia menulis karya terkenalnya, Kuartet Buru. Terhalang oleh larangan untuk mengakses bahan tulis, ia menyampaikan ceritanya secara lisan kepada sesama tahanan sebelum akhirnya berhasil menuliskan dan menyelundupkannya keluar.
Pramoedya menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap beberapa kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Sukarno dan penerusnya, rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Meskipun kritik politiknya sering kali disampaikan dengan cara yang halus dalam tulisannya, namun ia tidak ragu untuk secara terang-terangan menentang praktik kolonialisme, rasisme, dan korupsi yang melanda pemerintahan baru di Indonesia saat itu. Selama beberapa kali merasakan proses penahanan yang dialaminya, termasuk masa di penjara dan tahanan rumah di Jakarta setelah pembebasannya dari Pulau Buru, Pramoedya menjadi sebuah simbol yang menarik bagi para advokat hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi di Indonesia sampai saat ini.
Sinopsis Buku Mangir
Setelah runtuhnya Majapahit pada tahun 1527, Jawa terjerumus ke dalam kekacauan dan pertumpahan darah. Kekuasaan yang sebelumnya terpusat mulai terpecah dan tersebar ke berbagai kadipaten, kabupaten, hingga desa-desa kecil. Perebutan kekuasaan untuk menjadi penguasa tunggal terus-menerus memicu peperangan yang brutal. Dalam situasi kacau ini, kesenian dalam bidang sastra, musik, dan arsitektur perlahan-lahan menghilang. Selama hampir satu abad, Jawa berada di bawah bayang-bayang pemerintahan yang penuh teror, di mana segala cara dianggap sah demi mencapai tujuan.
Kisah Mangir karya Pramoedya Ananta Toer berlatar pada masa pasca-keruntuhan Majapahit ini. Kekuasaan yang terpecah menyebabkan Jawa terjebak dalam konflik berkepanjangan untuk merebut supremasi tunggal, sehingga darah terus tertumpah di seluruh penjuru tanah Jawa. Kondisi ini memunculkan banyak wilayah kecil yang dikenal sebagai Perdikan — desa yang tidak memiliki kewajiban membayar pajak kepada penguasa pusat dan menjalankan sistem demokrasi desa, di mana pemimpinnya bergelar Ki Ageng.
Pada tahun 1577, Ki Ageng Pemanahan berhasil menguasai Mataram dan mendirikan Kota Gede. Setelah itu, putranya, Panembahan Senapati, naik takhta sebagai Raja Mataram. Di sisi lain, muncul wilayah Perdikan Mangir yang dipimpin oleh Ki Ageng Mangir Wanabaya, seorang pemuda pemberani yang didampingi oleh saudara angkatnya, Baru Klinting. Mereka tidak berjuang sendirian — Perdikan Mangir juga mendapat dukungan dari sejumlah demang berpengaruh seperti Demang Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan, yang selalu setia berada di sisi Wanabaya dalam menghadapi ancaman dari luar.
Kelebihan dan Kekurangan Buku Mangir
Kelebihan Buku Mangir
Buku Mangir ini memiliki banyak sekali kelebihan. Salah satu keunggulan utama Mangir karya Pramoedya Ananta Toer terletak pada gaya penceritaannya yang unik dan teatrikal. Alih-alih menggunakan narasi yang panjang, Pramoedya menghadirkan cerita layaknya sebuah pertunjukan panggung. Tidak ada penggambaran suasana atau latar secara detail, seluruh emosi, ketegangan, dan makna harus ditangkap melalui kekuatan dialog antar tokoh. Lewat bukunya pembaca seolah-olah diajak untuk menonton pementasan langsung, merasakan ketegangan dan drama melalui percakapan yang tajam dan penuh makna.
Kisah Mangir sendiri bukanlah hal baru dalam cerita budaya Jawa. Cerita ini telah muncul dalam berbagai versi, terutama di daerah Surakarta dan Yogyakarta melalui pertunjukan ketoprak maupun dongeng yang diwariskan secara lisan secara turun temurun. Namun, Pramoedya menghadirkan perspektif baru yang memperkaya pemahaman terhadap kisah ini. Versi Pramoedya lebih menonjolkan aspek politik dan strategi kekuasaan yang sangat kompleks, menampilkan dimensi psikologis dan emosional yang mendalam.
Penggambaran feodalisme Jawa dalam buku ini juga terasa sangat kuat. Hubungan antara penguasa dan rakyat, ketundukan terhadap tradisi, serta stratifikasi sosial yang ketat tergambar dengan sangat jelas. Kehidupan politik di masa itu digambarkan sebagai sistem yang hierarkis dan penuh ketegangan, di mana kekuasaan dipegang oleh segelintir elit yang menentukan nasib rakyat kecil.
Nuansa Machiavellian juga sangat terasa dalam strategi politik yang digunakan oleh Panembahan Senapati untuk menaklukkan Mangir. Bagi Grameds yang belum tau apa itu Machiavellian, Machiavellian adalah konsep politik yang diajarkan Niccolò Machiavelli dalam bukunya The Prince, di mana penguasa dianggap sah menggunakan segala cara, termasuk manipulasi, pengkhianatan, dan tipu daya, demi mempertahankan atau memperluas kekuasaan. Pengiriman putri Senapati untuk memikat dan menundukkan Ki Ageng Mangir Wanabaya mencerminkan strategi licik dan dingin yang merupakan ciri khas dari politik Machiavellian.
Selain itu, Pramoedya dengan cerdas memadukan elemen sejarah dan drama emosional dalam cerita ini. Konflik politik yang terjadi tidak hanya menjadi latar saja, tetapi juga berkelindan dengan konflik pribadi dan emosional yang dialami para tokoh. Pengkhianatan, cinta, dan ambisi saling bertabrakan sehingga menciptakan ketegangan yang terus memuncak hingga akhir cerita. Akhir cerita yang tragis memberikan kesan mendalam. Tidak seperti kisah dongeng yang berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan, Kisah Mangir berakhir sebaliknya, hal Ini mencerminkan kenyataan pahit dari sejarah, di mana kemenangan politik sering kali dicapai dengan pengorbanan besar dan harga yang mahal.
Kisah Mangir juga memberikan pengetahuan sejarah tambahan yang mungkin tidak banyak diajarkan di sekolah. Pramoedya menyoroti dinamika politik dan budaya di masa transisi setelah runtuhnya Majapahit dan munculnya Mataram, memperlihatkan bagaimana perebutan kekuasaan membentuk tatanan sosial dan politik di Jawa. Dialog antar tokohnya juga menjadi salah satu kelebihan dalam buku ini. Bahasa yang digunakan tajam, lugas, dan penuh makna, mencerminkan karakter dan emosi tokoh-tokohnya dengan sangat kuat. Setiap kata yang diucapkan terasa hidup dan mampu membangun ketegangan yang nyata.
Terakhir, tema besar tentang perebutan kekuasaan dan strategi politik yang licik dalam Mangir terasa relevan dengan dinamika politik modern. Meskipun berlatar abad ke-16, tema tentang manipulasi, ambisi, dan pengkhianatan tetap memiliki resonansi kuat dengan kondisi politik masa kini. Inilah yang membuat Mangir tidak hanya sekadar kisah sejarah, tetapi juga sebuah refleksi atas realitas politik yang terus berulang dalam berbagai era.
Kekurangan Buku Mangir
Meskipun Mangir karya Pramoedya Ananta Toer memiliki banyak sekali kelebihan buku ini tetap memiliki beberapa kekurangan yang bisa menjadi tantangan bagi sebagian pembaca. Salah satu kendala utama adalah perlunya membaca prakata atau pengantar terlebih dahulu sebelum masuk ke dalam cerita utama. Jika pembaca melewatkan bagian ini, kemungkinan besar akan merasa kebingungan di tengah jalan karena kurangnya konteks dan latar belakang cerita. Pengantar dalam buku ini memberikan informasi yang sangat penting tentang latar historis dan posisi politik yang menjadi dasar dari konflik dalam cerita, oleh karena ini pembaca perlu membaca pengantar buku ini terlebih dahulu.
Selain itu, format penceritaan yang disusun seperti naskah drama juga mungkin bisa menjadi penghalang bagi sebagian pembaca yang tidak terbiasa dengan gaya ini. Tanpa narasi yang menjelaskan suasana atau latar tempat secara rinci, pembaca harus mengandalkan dialog antar tokoh untuk membayangkan sendiri situasi dan dinamika emosional yang terjadi. Hal ini mungkin bisa membuat pembaca merasa tersesat atau kesulitan memahami alur cerita, terutama di awal.
Penggunaan bahasa dalam dialog juga cukup kompleks dan simbolis. Pramoedya menyusun kalimat dengan gaya yang puitis dan sarat makna, yang kadang memerlukan interpretasi lebih dalam dari pembaca. Kosakata yang digunakan pun kental dengan nuansa Jawa klasik dan istilah politik, yang bisa membuat pembaca perlu berhenti sejenak untuk benar-benar memahami maksud di balik percakapan antar tokoh. Namun, di balik tantangan ini, kekuatan dialog yang penuh makna justru menjadi inti dari daya tarik buku ini.
Pesan Moral Buku Mangir
Pesan moral yang tersirat dalam Mangir mengingatkan kita bahwa sejarah selalu ditulis oleh para pemenang — bahkan jika kemenangan itu diraih dengan darah dan pengkhianatan. Tidak ada kekuasaan yang bersih; di balik kejayaan seorang raja besar, selalu ada luka dan jejak air mata yang tertinggal. Kemenangan politik sering kali dibayar dengan harga yang mahal, bukan hanya dalam bentuk nyawa, tetapi juga kehancuran moral dan emosional.
“Bila berbahagia ingatlah pada maut yang semakin dekat. Bila hadapi mati hendaknya orang menghitung semua kebahagiaan yang sudah terlewati,”
kalimat ini bisa menjadi pengingat keras untuk kita tentang kefanaan hidup. Kebahagiaan dan penderitaan adalah dua sisi mata uang yang selalu berjalan berdampingan. Ketika berada di puncak kejayaan, seseorang bisa dengan mudah terlena dan lupa bahwa segala sesuatu bersifat sementara. Sebaliknya, dalam penderitaan, kita diingatkan untuk mensyukuri kebahagiaan yang pernah dirasakan.
Kisah Mangir menantang pembaca untuk merenung: Apakah kemenangan yang diperjuangkan dengan cara-cara kelam tetap bisa disebut sebagai kemenangan sejati? Apakah pengorbanan yang dilakukan demi kekuasaan benar-benar layak jika hanya berakhir dalam kehampaan dan tragedi?
Di sinilah kekuatan sejarah — tidak hanya sebagai catatan masa lalu, tetapi juga sebagai cermin bagi masa depan. Karena pada akhirnya, setiap orang akan mencetak sejarah mereka sendiri. Lewat pesan moral yang tersirat dari cerita ini Gramin berharap Grameds bisa menciptakan sejarah kalian sendiri tanpa perlu merugikan orang lain dan selalu ingat untuk bersyukur atas segala yang kalian miliki.
Grameds, sekian artikel yang mencakup sinopsis, ulasan, dan pesan moral dari buku Mangir karya Pramoedya Ananta Toer. Yuk kita pelajari dan selami lebih dalam tentang sejarah Kartini dan perjuangan emansipasi wanita dengan membaca buku ini yang tersedia hanya di Gramedia.com! Sebagai #SahabatTanpaBatas, kami selalu siap memberikan informasi dan produk terbaik untuk kamu.
Penulis: Gabriela Estefania
Rekomendasi Buku
Jejak Langkah
Jejak Langkah adalah novel ketiga dari Tetralogi buru oleh penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dalam tetralogi ini, dibahas tentang kehidupan tokoh fiksi Tirto Adhi Soerjo, seorang bangsawan Indonesia dan wartawan perintis. Buku ini bercerita tentang kehidupan Minke – narator orang pertama dan protagonis, berdasarkan tokoh Tirto Adhi Soerjo – setelah pindah dari Surabaya ke Batavia, ibu kota Hindia Belanda. Edisi asli dalam bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 1985 dan terjemahan bahasa inggris oleh Max Lane diterbitkan pada tahun 1990.
Cerita Dari Digul
Cerita dari Digul merupakan kumpulan tulisan karya para eka-Digulis. Mereka pernah dibuang sebagai tahanan politik semasa pemerintahan kolonial hindia-belanda. Berbagai cerita itu, yang sungguh-sungguh terjadi, mengisahkan suka-duka mereka dalam mempertahankan hidup di tanah buangan Digul, Papua Barat. Getir dan mengharukan.
Digul adalah lokasi di Papua yang ditetapkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda saat itu menjadi tempat pengasingan bagi para tahanan politik. Untuk kisah-kisah di buku ini, para tahanan adalah orang-orang yang diasosiasikan dengan pergerakan PKI, terutama pemberontakan 1926. Tentu saja tujuan diasingkan adalah untuk mencerabut mereka dari akar, peradaban, dan pengaruh.
Perawan Remaja Dalam Cengkeraman Militer
Buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer merupakan catatan Pramoedya Ananta Toer tentang derita gadis-gadis Indonesia yang menjadi korban kekejaman tentara Jepang pada masa Perang Dunia Kedua di Pulau Buru serta kelanjutan nasib para Jugun Ianfu yang ditinggalkan begitu saja setelah Jepang menyerah pada tahun 1945.
Tahun 1943, Pemerintahan Pendudukan Balatentara Dai Nippon di Jawa mengeluarkan perintah kepada para remaja perempuan untuk melanjutkan sekolah di Tokyo dan Shonanto. Perintah ini tidak pernah diumumkan secara resmi juga tidak masuk dalam Osamu Serei (Lembaran Negara).Jepang sengaja melakukannya untuk menghilangkan jejak dan para perawan remaja yang telah diberangkatkan meninggalkan kampung halaman serta keluarga mereka untuk menempuh perjalanan yang berbahaya.
Sumber:
- https://www.goodreads.com/book/show/963122.Mangir
- https://en.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer
- A Place Called Perfect
- Act Of Money
- Akasha: Takopi's Original Sin 01
- Anak Kecil yang Kehilangan Pundaknya
- Dunia Sophie
- Educated
- Gadis Kretek
- Hidden Potential
- Hidden Potential
- Jejak Langkah
- Kami (Bukan) Sarjana
- Kanker: Biografi Suatu Penyakit
- Kamus Lengkap Nama Bayi: 9999 Nama Bayi Internasional dari Berbagai Bahasa Dilengkapi Artinya
- Kartun Lingkungan
- Kecerdasan Emosional
- Kukira Kau Obat Ternyata Patah Hati Terhebat
- Lima Sekawan: Melacak Jejak Rahasia
- Lima Sekawan: Rahasia Logam Ajaib
- Menjadi Tenang di Dunia yang Berisik
- MetroPop: Dewa Angkara Murka
- Negeri 5 Menara
- Pertanyaan-Pertanyaan untuk Tuhan
- Petualangan di Puri Rajawali
- Petualangan di Puri Rajawali
- Rumah Kaca
- Satine
- Seni Menjadi Orang Tua Hebat
- The Art of Stoicism
- The Kremlin School of Negotiation
- Teruslah Bodoh Jangan Pintar