Bumi yang Tak Dapat Dihuni – Manusia tentu harusnya bersyukur menjadi makhluk hidup yang lahir pada ekosistem lingkungan dengan sumber daya alam yang begitu banyak. Namun, sampai kapankah itu semua akan bertahan?
Alam telah menunjukkan banyak gejala yang harusnya bisa menjadi pengingat bagi seluruh manusia, bahwa bumi memang sudah tua. Adanya banyak bencana alam, peristiwa yang belum pernah terjadi, perubahan ekosistem dan iklim merupakan dampak dari kemajuan peradaban.
Disisi lain, bumi yang telah semakin menua membuat keseimbangan ekosistem juga terganggu. Hal ini tentu mempengaruhi kehidupan kita di muka bumi untuk jangka waktu lama. Lantas, jika bumi sudah tak layak huni, apakah yang akan kita lakukan? Bagaimana kehidupan anak cucu kita kelak, jika tempat tinggal tak lagi kondusif?
Kenyataan pahit ini memang mau tak mau harus kita akui dan menjadi perhatian khusus sejak sekarang. Para ilmuwan juga sudah memperkirakan adanya kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, bahwa beberapa ratus dekade kedepan, mungkin alam tak lagi sama.
Jadi, opini manusia untuk melakukan migrasi ke planet Mars pun telah lama dicetuskan, sebab bumi tak lagi menjadi tempat yang dianggap memadai. Namun, apakah itu benar diperlukan? Sampai kapan manusia akan lari dan terus mencari peradaban yang dianggap lebih layak?
Saat ini, sudah mulai banyak manusia yang memiliki kesadaran akan pentingnya menjaga alam yang telah kita miliki, tapi hal tersebut tak selalu dimengerti setiap orang. Keprihatinan ini pun diutarakan oleh David Wallace-Wells, melalui sebuah artikel yang ditulis oleh dirinya mengenai kemungkinan potret yang terjadi di bumi besok.
Tulisannya tersebut kemudian menjadi banyak perbincangan oleh berbagai pihak, karena dianggap cukup menuai beberapa polemik. Pada 2019 lalu, essay-nya tentang bumi di masa depan ini akhirnya diterbitkan dalam bentuk buku, yang memuat ide yang serupa.
Dalam versi bukunya, David memberikan pemaparan yang detail dan alasan-alasan yang relevan terkait permasalahan iklim dan ekosistem di bumi saat ini. Buku berjudul ‘Unhabitable Earth’ ini sontak laris dan menjadi banyak menarik perhatian publik.
The Unhabitable Earth: Life After Warming ini masuk dalam jajaran #1 New York Times Best Seller, dan menjadi salah satu buku non fiksi yang telah mendapat review serta respon baik oleh para kritikus. Tulisan David Wallace-Wells ini bahkan masuk One of the Best Book of The Year versi New Yorker, Time, The Economist, Toronto Star, The Times Literary Supplement dan masih banyak lagi.
Table of Contents
Profil Penulis
wikipedia
David Wallace Wells adalah seorang jurnalis kelahiran 1982. Dirinya mulai dikenal oleh publik sejak menuliskan essaynya pada artikel di sebuah majalah di New York. Tulisannya berjudul The Unhabitable Earth, membahas tentang dampak perubahan iklim di masa depan.
Melalui tulisan yang disusun berdasarkan riset dan perhitungan yang nyata, membuat publik terkejut. Karyanya seolah menampar kita semua secara bertubi-tubi dan membuat para pembaca bergidik ngeri. Sukses dengan artikelnya tersebut, David kemudian melakukan pemaparan yang lebih rinci dalam bentuk buku yang dipublikasikan pada 2019 lalu.
Lelaki yang besar di Riverdale ini adalah alumni dari University of Chicago dan Brown University. Dirinya sendiri telah bekerja untuk New York Magazine dan juga The Guardian. Konsistensinya terhadap masalah perubahan iklim ini juga sudah terlihat sejak dia sering menulis artikel untuk beberapa majalah.
David secara konsisten tak henti-hentinya mengingatkan kita dalam tulisannya tentang betapa iklim sudah semakin buruk. Bahkan dirinya yakin dampak perubahan iklim ini akan semakin parah seiring berjalannya waktu, apabila kita tidak mulai merubah kebiasaan.
Bumi yang Tak Dapat Dihuni: Kehidupan Setelah Pemanasan
Global Warming. Siapa yang tak paham maksud dari istilah tersebut, kita semua bahkan sudah sejak kecil selalu diingatkan, dan memahami apa yang dimaksud dari global warming. Sebagian dari kita mungkin sudah teramat sering mendengar orang-orang yang terus menggalangkan upaya untuk menurunkan persentase pemanasan global.
Sejak dulu hingga sekarang, tetapi kita tak sadar bahwa istilah ini tak hanya sekadar kampanye yang harus disuarakan belaka. Tanpa kita sadari, bumi terus mengalami pemanasan global. Bahkan persentasenya tak kunjung menunjukkan angka yang bersahabat.
Padahal, sudah sejak lama kita tahu bahwa bumi sedang mengalami pemanasan global, lantas mengapa hingga kini perubahan belum begitu terasa? Terlebih lagi, akhir-akhir ini bahkan iklim semakin tak bersahabat.
Apa yang terjadi pada alam sekitar kita menunjukan bahwa mungkin upaya manusia mengurangi pemanasan belum cukup. Sama seperti apa yang dikatakan David pada tulisannya, bahwa keadaan sudah buruk dan saat ini bahkan semakin memburuk lagi. Oleh sebab itu, harusnya kita sadar itu.
Alam memberikan banyak gejala, yang harusnya sudah sejak lama dipahami oleh manusia. Apalagi bumi memang sudah tua, dan kebiasaan hidup manusia serta kemajuan peradaban hanya membuat pemanasan global semakin tinggi. Mau tak mau, akibatnya perubahan iklim terjadi secara ekstrem.
Dalam buku Bumi yang Tak Dapat Dihuni ini, David menampar kita semua dari awal membuka halaman pertama. Pemaparan seputar kondisi bumi yang menunjukan tanda-tanda kepunahan ini dijelaskan dalam data dan sejumlah peristiwa yang nyata. Belum lagi analisis yang ditulis dengan perhitungan sains yang pasti membuat kita bisa menerawang potret tanah kelahiran ini.
Berikut ini beberapa poin yang nyata dipaparkan oleh David Wallace-Wells mengenai perubahan iklim yang mengerikan dan saat ini sedang terjadi.
Kondisi Bumi Akibat Climate Change
Beberapa tahun terakhir rasanya sulit sekali memprediksi apakah dalam satu hari akan turun hujan atau tidak. Kendati sudah memasuki musim penghujan, beberapa daerah justru diterpa panas membara matahari seolah sedang kemarau panjang.
Atau kamu mungkin sering mengalami siang hari yang sangat panas, dan malam hari hujan deras. Inilah yang disebut dengan cuaca ekstrem. Siapa lagi penyebabnya jika bukan perubahan iklim. Namun, tahukah kamu, perubahan iklim ini tak hanya sesederhana cuaca yang tak dapat diprediksi lagi, melainkan ada banyak kondisi yang ‘mengerikan’ saat ini sedang terjadi pada bumi kita.
Sadar atau tidak sebenarnya kita tahu bahwa penyebabnya adalah manusia itu sendiri. Demi memenuhi kebutuhan ‘pribadi’, para manusia berbondong-bondong melakukan globalisasi sana sini, yang berujung global warming.
Kegiatan manusia hari ini menyebabkan penumpukan emisi karbon yang sangat tinggi, sehingga membuat bumi semakin panas. Global warming berdampak besar bagi lingkungan hidup dan mempengaruhi iklim di bumi.
Menurut David Wallace-Wells, apabila bumi yang sudah panas ini suhunya akan naik hingga 5 derajat, maka dapat diprediksi bahwa kurang dari 100 tahun kedepan bumi sudah tak layak huni. Mengapa begitu?
Suhu Panas
Pada dasarnya bumi memang sudah mengalirkan panas dari bawah keraknya. Namun seiring berjalannya waktu ada banyak faktor yang akhirnya memperburuk suhu bumi, sehingga membuat semakin panas.
Suhu panas yang kita rasakan saat ini merupakan dampak dari pemanasan global yang membuat banyak lapisan ozon berlubang. Akhirnya, suhu panas yang ada di bumi menjadi meningkat signifikan. Kita mungkin masih bisa mengingat dulu saat masih kecil udara masih terasa jauh lebih dingin dibandingkan udara saat ini.
Suhu panas yang semakin meningkat sepanjang tahunnya juga disebabkan dari aktivitas yang dilakukan manusia itu sendiri. Misalnya dengan meningkatnya penggunaan AC untuk pendingin ruangan membuat kebutuhan listrik semakin tinggi dan menyebabkan lebih banyak emisi karbon di udara.
Ini semua membentuk sebuah siklus yang semakin hari berdampak buruk bagi lingkungan sekitar kita. Jika hal ini terjadi secara kontinyu dan terus menerus, besar kemungkinan bahwa bumi menjadi tak layak huni lagi untuk beberapa dekade ke depan.
Kelaparan
Setidaknya, 2/3 makanan pokok manusia di bumi berasal dari hasil panen jagung, padi-padian dan lain sebagainya. Pada suhu yang tepat, iklim akan terus terjaga secara konsisten, tapi apabila peningkatan suhu terjadi terus menerus, maka bisa membuat bumi berada pada suhu diatas rata-rata.
Hal tersebut akhirnya akan mempengaruhi proses panen, pertumbuhan tanaman dan kualitas hasil ladang. Pada iklim yang ekstrim bahkan seringkali ditemui kasus gagal panen. Padahal disaat yang bersamaan, jumlah manusia terus meningkat setiap harinya yang diikuti dengan bertambahnya permintaan bahan makanan.
Pada jangka waktu yang lama besar kemungkinan adanya kelaparan di bumi ketika para petani tak lagi mampu menghasilkan bahan pangan pokok akibat bumi yang tak lagi kondusif.
Kebakaran
Kebakaran hutan memang dapat terjadi di mana saja, terutama ketika musim panas. Kebakaran yang terjadi secara alami karena kondisi terlalu panas sebenarnya merupakan kasus yang cukup langka. Selain itu, pemicu kebakaran hutan juga tidak hanya suhu saja, tapi karena adanya percikan api atau penebangan pohon.
Apabila sebuah kebakaran hutan terjadi, hal tersebut menjadi salah satu yang sangat disayangkan sebab hutan seharusnya menjadi penyerapan emisi karbon yang dikeluarkan dari asap-asap pembakaran.
Sebatang pohon yang terbakar juga akan mengeluarkan karbon yang sebelumnya pernah diserapnya, sehingga bisa dibayangkan apabila terjadi kebakaran hutan berapa banyak jumlah karbon yang ada di udara.
Indonesia sebagai negara tropis dengan banyak hutan bertanah gambut juga memiliki risiko kebakaran hutan yang tinggi di musim kemarau. Padahal, hutan merupakan paru-paru bumi, yang harusnya dapat dilestarikan dan bukannya menjadi sumber karbon tertinggi.
Melelehnya Es di Kutub
Suhu panas di bumi rupanya tak hanya membawa pengaruh di daerah dataran saja. Di perairan sekitar kutub utara juga mengalami dampak perubahan yang cukup signifikan. Bongkahan dataran es di kutub untuk pertama kalinya mengalami pencairan, dimana hal ini akan sangat mempengaruhi debit air di lautan untuk jangka waktu panjang.
Menurut pakar geologi, menyatakan bahwa terdapat dua jenis es yang ada di kutub. Es yang berasal dari gunung es di dalam laut, juga es yang berada di daratan. Apabila es di daratan kutub mencair akan mampu menambah ketinggian air laut, dan perlahan menenggelamkan daerah pesisir pantai.
Mencairnya es kutub ini memiliki faktor yang sama yakni adanya peningkatan temperatur suhu udara di bumi. Suhu panas yang ada di daerah lain juga sedikit demi sedikit menghantarkan udara dan polusi di kutub.
Udara panas ini juga menyebabkan longwave radiasi di atmosfer seiring meningkatnya jumlah karbondioksida di udara.
Munculnya Wabah Purba
Seiring berjalannya waktu, ada banyak jenis bencana yang bukan berasal dari alam saja melainkan wabah yang menyebar seperti bencana. Belakangan, dunia dihebohkan dengan munculnya wabah Covid-19 yang memiliki kesamaan gejala dengan wabah sebelumnya.
Virus corona ini sebenarnya telah ditemukan sejak 2002, berdasarkan penelitian virus tersebut dikenal dengan SARS di Cina. SARS juga menyerang saluran pernafasan, kemudian setelah empat tahun ditemukan lagi wabah yang menjangkit di daerah Timur Tengah (MERS).
Para ilmuwan juga telah menemukan fakta bahwa virus corona ini rupanya pernah ada di bumi sekitar 25.000 tahun lalu, dan berlangsung hingga 20.000 tahun. Dari sini, dapat kita simpulkan bahwa besar kemungkinan wabah yang pernah muncul di masa lalu, sempat tertidur.
Wabah-wabah yang ada tidak semuanya benar-benar mati. Ada sebagian yang terperangkap di dalam es sehingga, ketika bongkahan es cair wabah tersebut kembali muncul. Terbukti dari kehadiran Covid-19, yang merupakan mutasi dari wabah dengan gejala sama.
Nilai-Nilai dari Bumi yang Tak Dapat Dihuni
Buku ini memaparkan kenyataan yang harapannya bisa menampar kita semua bahwa rumah kita sedang tidak baik-baik saja. Sebelum ini menjadi berlarut-larut dan semakin parah, ada banyak cara yang bisa kita lakukan untuk meminimalisir kerusakan di bumi.
Mulai dari mengurangi polusi udara dan air, meminimalisir penggunaan bahan bakar alam dan listrik sampai melestarikan alam seperti penanaman pohon. Buku tulisan David Wallace-Wells ini bukanlah dongeng yang mengajak pembacanya membayangkan kehidupan indah. Namun, buku ini juga membuat kita semua sadar, bahwa tak selalu nilai kehidupan saja yang memberikan kita pelajaran.
Tapi melalui kenyataan pahit, bencana dan pengalaman buruk kita bisa belajar untuk memperhatikan alam sekitar kita. Menyadari peringatan yang telah diberikan oleh bumi supaya kita menjadi manusia yang bertanggung jawab.
Sebagai buku non fiksi yang ditulis dengan rapi dan menarik, buku ini memiliki begitu banyak sihir yang membuat setiap pembacanya mampu merasakan keresahan penulis tentang kondisi alam saat ini. Ditulis berdasarkan fakta dan data akurat, membuat setiap perhitungan tampak nyata dan mengerikan.
Karya David Wallace-Wells ini layak mendapatkan bintang 3,8 per 5 dan bisa menjadi rekomendasi kamu yang senang membaca buku non-fiksi. Koleksi buku bacaan non-fiksi lainnya juga bisa kamu dapatkan secara lengkap di Gramedia.
Bumi Kita Rumah Kita
Kita sadar tak ada kehidupan yang lebih baik selain di planet bumi, karena bumi kita adalah rumah tempat kita lahir dan berpulang. Jika sebuah rumah hampir runtuh, bukankah seharusnya anggota keluarga bekerja sama untuk memperbaikinya.
Di masa depan apapun mungkin terjadi, begitu pula dengan kemungkinan manusia untuk mencari ‘rumah baru’ di planet-planet lain. Namun, mungkin dalam ratusan ribu tahun kedepan, manusia harus kembali cari ‘rumah baru’ karena sudah tidak layak huni.
Alih-alih sibuk mencari tempat tinggal baru, seharusnya kita bisa merubah kebiasaan agar sumber daya alam dan tempat tinggal kita tidak rusak. Sebab, apa yang terjadi pada alam merupakan hasil dari lingkaran siklus kehidupan manusia dimanapun mereka tinggal.
Itulah ulasan tentang Bumi yang Tak Dapat Dihuni. Setelah membaca artikel ini sampai selesai, apakah kamu tertarik untuk mendapatkan buku ini? Buku Bumi yang Tak Dapat Dihuni, bisa kamu dapatkan di gramedia.com. Membaca banyak buku dan artikel tidak akan pernah merugikan kalian, karena Grameds akan mendapatkan informasi dan pengetahuan #LebihDenganMembaca.
Penulis: Inka
- Novel Fantasi
- Novel Best Seller
- Novel Romantis
- Novel Fiksi
- Novel Non Fiksi
- Rekomendasi Novel Terbaik
- Rekomendasi Novel Horor
- Rekomendasi Novel Remaja Terbaik
- Rekomendasi Novel Fantasi
- Rekomendasi Novel Fiksi
- Rekomendasi Buku Tentang Insecure
- Rekomendasi Buku Motivasi Kerja
- Rekomendasi Buku SSelf Improvement
- Rekomendasi Buku Shio
- Rekomendasi Buku Tentang Kehidupan
- Rekomendasi Buku TOEFL
- Rekomendasi Buku Menambah Wawasan
- Rekomendasi Novel Motivasi
- Review Buku A Philosophy of Walking
- Review Buku Blue Ocean Shift
- Review Buku Range
- Review Buku The Book Of Ikigai
- Review Buku Because This is My First Parenting Life
- Review Buku Brand Gardener
- Review Buku The Deals of Warren Buffett
- Review Buku Loving The Wounded Soul
- Review Buku Surrounded by Idiots
- Review Buku Quiet
- Review Buku Things Left Behind
- Review Buku Save The Cat! Write a Novel
- Resensi Buku Berdamai Dengan Diri Sendiri, Masa Lalu dan Takdir
- Resensi Buku Yang Bertahan dan Binasa Perlahan
- Review Buku Epigram 60
- Review Buku The Power of Mind
- Review Buku Melawan Miskin Pikiran: Memenangkan Pertarungan Hidup
- Review Buku What's So Wrong About Your Life
- Review Buku Seni Berbicara Tanpa Bikin Sakit Hati
- Review Buku 21 Lesson for the 21st Century
- Review Bumi yang Tak Dapat Dihuni
- Review Singkat Outliers (Rahasia di Balik Kesuksesan)
- Review Buku Gentle Discipline
- Review Buku Meditations
- Review Buku Melelahkan, Tapi Semua Demi Masa Depan
- Review Buku The Whole Brain Child
- Review Nanti Juga Sembuh Sendiri
- Review Buku Hygge: Seni Hidup Bahagia Orang Denmark Karya Marie Tourell Søderberg
- Rekomendasi Buku Seri Personality Plus At Work
- Rekomendasi Novel Wandering Star
- Rekomendasi Buku Quit: Kekuatan Untuk Memilih Kapan Saatnya Berhenti
- Review Buku Seni Menaklukkan Lawan Bicara