Novel Botchan Natsume Soseki – Kebaikan dan kejujuran adalah salah dua modal utama yang harus dimiliki manusia untuk mendapatkan hidup yang baik. Tidak ada orang yang tidak menghargai sebuah kebaikan, apalagi jika yang memberikannya adalah orang asing. Begitu juga kejujuran, siapa saja menyenangi orang yang jujur.
Untuk membangun masyarakat yang beradab serta bermoral, budaya kebaikan juga kejujuran ditanamkan sejak dini. Oleh sebab itu tidak heran pesan kebaikan bisa kamu temukan di mana saja. Mulai dari lingkungan masyarakat, sekolah, buku pelajaran, hingga karya sastra.
Hal ini sejalan dengan sifat sastra sebagai penyampai pesan kepada pembacanya. Sastra juga mencoba memperlihatkan potret kehidupan suatu masyarakat atau manusia melalui tulisan.
Novel adalah salah satu contoh sastra yang memuat pesan kebaikan serta moral di dalamnya. Seperti novel Botchan, karya kedua dari penulis Jepang Natsume Soseki yang terbit pada tahun 1906. Novel ini begitu terkenal di Jepang hingga dibaca oleh banyak orang, baik orang tua maupun anak muda.
Di kesempatan kali ini, Grameds akan diajak mengetahui novel Botchan dari Natsume Soseki ini lebih jauh lagi dengan review berikut ini.
Table of Contents
Profil Penulis
Natsume Soseki lahir tanggal 9 Februari tahun 1867 dengan nama asli Natsume Kinnosuke. Soseki menyelesaikan pendidikan Sastra Inggris-nya di Tokyo Imperial University. Setelah lulus dia memutuskan untuk menjadi seorang guru di salah satu sekolah yang berada di pedalaman Pulau Shikoku.
Di sekolah ini, Soseki hanya bertahan selama satu tahun sebelum pindah mengajar di SMA Kyushu. Kemudian pada tahun 1900, dia berangkat ke Inggris setelah mendapatkan beasiswa. Dia menghabiskan waktu tiga tahun di Inggris sana.
Di Inggris Natsume Soseki menderita penyakit gugup yang cukup menyulitkan kehidupannya. Beruntung dia bisa bertahan bahkan berhasil menghasilkan sebuah karya yang diberi judul Wagahai wa Neko de Aru (I am a Cat).
Karya ini sangat digemari banyak orang dan membuat Soseki menjadi penulis Jepang yang terkenal, khususnya pada era Meiji. Selain I am a Cat, Soseki juga menciptakan karya-karya yang lain seperti Botchan, Sanshiro, Kokoro, Sore kara, Yume Juya, Mon, dan lain-lain.
Semua karyanya mengantarkan Soseki menuju puncak karirnya sehingga dia diberi julukan sebagai penghubung sastra Jepang Klasik dan modern, penulis prosa terbaik, dan penulis roman terbesar di Jepang.
Sayangnya, sekitar tahun 1901, Soseki menderita penyakit yang cukup parah yaitu lemah saraf serta sakit lambung. Hingga akhirnya Soseki wafat pada tahun 1916 di Tokyo, kota kelahirannya sendiri.
Detail Novel Botchan
Buku Botchan versi Bahasa Indonesia pertama kali diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2009. Novel setebal 224 halaman ini diterjemahkan oleh Indah Santi Pratidina.
Dengan genre Pendidikan dan Fiksi, novel karya Natsume Soseki ini sangat cocok dibaca oleh Grameds yang memiliki minat dalam bidang tersebut. Terutama guru atau mahasiswa jurusan pendidikan. Kamu bisa membeli buku ini di toko buku Gramedia dengan harga Rp. 62.000 saja.
Sinopsis Novel Botchan
Seperti cerita The Adventures of Huckleberry Finn, Botchan mengisahkan pemberontakan seorang guru muda terhadap sistem di sebuah sekolah desa. Sifat Botchan yang selalu terus terang dan tidak mau berpura-pura seringkali membuat ia mengalami kesulitan dalam berinteraksi dengan orang-orang di sekitarnya. Cerita yang dituturkan secara humoris ini sangat populer di kalangan tua dan muda di Jepang, dan barangkali merupakan novel klasik yang paling banyak dibaca di Jepang modern.
Isi Novel Botchan
Novel Botchan dari Natsume Soseki ini bercerita mengenai seorang guru muda yang memberontak pada sistem pendidikan di tempatnya mengajar, sebuah sekolah di desa yang terpencil.
Botchan, tokoh utama dalam novel ini, merupakan seseorang yang tinggal dan hidup di Tokyo bersama keluarga kecilnya. Sejak ia kecil, Botchan diasuh seorang pelayan tua yang bernama Kiyo. Saat anak-anak, kenalakan Botchan sangat jauh melebihi teman-temannya sehingga dia dianggap sebagai anak berandalan.
Banyak orang yang tidak menyukai Botchan, mereka bahkan tidak menyayanginya seperti anak kecil yang lain. Satu-satunya orang yang memberikan perhatian kepadanya hanya Kiyo karena bagi Kiyo Botchan sudah seperti anak kandungnya sendiri.
Botchan sendiri adalah nama panggilan yang memiliki arti seperti “tuan muda” namun lebih identik dengan perasaan kasih sayang. Kiyo juga satu-satunya orang yang percaya bahwa Botchan bisa menjadi orang yang sukses setelah tumbuh besar.
Saat kelas 3 SMA, kedua orang tua Botchan meninggal dunia dan menjadikannya yatim piatu. Dengan bekal warisan yang tidak banyak, Botchan akhirnya menyelesaikan sekolahnya di Tokyo University of Physics. Setelah lulus, dia kemudian mendapatkan tawaran mengajar di Matsuyama, Pulau Shikoku.
Matsuyama merupakan salah satu kota terpencil yang masih kental dengan budaya tradisional. Di sini, Botchan menjadi guru matematika. Sayang sekali keadaan di sekolah tersebut sangat jauh dari bayangan Botchan. Murid-muridnya bandel dan rekan gurunya cukup aneh.
Beberapa rekan guru Botchan yang diceritakan dalam novel ini adalah Hotta seorang guru matematika, Koga guru olahraga, guru kepala, kepala sekolah, dan guru seni. Di Matsuyama, Botchan tinggal di kosan milik teman Hotta.
Di minggu pertama Botchan mengajar, murid-muridnya sudah membuat ulah. Mereka kompak membuat tulisan-tulisan, perkataan, perbuatan, atau perbuatan untuk menjahili guru baru di kelas mereka.
Lalu suatu hari, guru seni dan guru kepala mengajak Botchan memancing. Di tempat memancing, dia merasa bahwa dua rekan gurunya tersebut sedang membicarakan dirinya, kenakalan murid-muridnya, serta Pak Guru Hotta. Botchan pun tahu ada sesuatu yang tidak beres akan tetapi dia tetap diam saja.
Keesokan harinya, sekolah mengadakan rapat guna membahas kejahilan yang sudah dilakukan oleh para murid. Kepala sekolah yang menjadi pemimpin rapatnya. Setelah rapat usai, Hotta mendadak meminta agar Botchan pindah tempat kos. Sejak saat itu, hubungan diantara keduanya pun jadi renggang namun Botchan masih memiliki hubungan yang baik dengan guru kepala.
Botchan lalu pindah ke tempat kos teman Koga, rekan guru olahraganya. Di tempat barunya ini dia ditemani oleh seorang nenek yang tidak pernah absen memberikan ubi kepada Botchan. Awalnya Botchan bisa menerima dengan baik perlakuan nenek tersebut. Namun lama kelamaan dia menjadi kesal sendiri.
Botchan mempunyai kebiasaan untuk mengunjungi pemandian air panas di kota sebelah. Suatu hari, saat hendak pergi ke kota sebelah dia bertemu guru kepala dan Koga. Mereka berangkat dengan satu kereta yang sama hanya saja berpisah di stasiun.
Botchan bergegas mendatangi pemandian air panas favoritnya. Akan tetapi saat keluar, dia melihat dua bayangan manusia yang ternyata merupakan bayangan guru kepala dengan Madonna, calon istri Koga.
Berita kepindahan Pak Koga ke daerah lain mendadak tersebar begitu saja dan sampai ke telinga Botchan. Dia pun mendapat kabar bahwa dirinya akan menerima tambahan gaji. Hanya saja dia menolaknya karena gaji tersebut adalah hak dari Koga. Botchan pun menanyakan kepastian tentang hal ini kepada Guru kepala, dan ternyata Koga pindah karena kemauan dirinya sendiri.
Kemudian para guru mengadakan pesta untuk kepergian Koga. Di pesta ini, Botchan merasakan sesuatu yang ganjil. Dia melihat Guru kepala dan guru seni bersenang-senang dan mabuk-mabukan di pesta tersebut. Tidak ada raut sedih sama sekali di wajah keduanya. Botchan dan Hotta pun mulai merasakan ada yang sedang disembunyikan oleh Guru Kepala.
Besoknya, sekolah libur karena sedang ada perayaan nasional. Para guru bersama murid berjalan ke sebuah lapangan besar. Di situ terjadi keributan antara SMA yang menjadi tempat Botchan mengajar dengan SMK lain.
Sore harinya, Hotta dan Botchan mendapatkan undangan untuk melihat pesta perayaan dari adik guru Kepala. Sialnya, tawuran terjadi sekali lagi, mereka berdua coba untuk melerainya meski sia-sia saja. Sebaliknya, mereka justru jadi babak belur.
Polisi pun datang dan para murid membubarkan diri. Botchan dan Hotta dibawa ke kantor polisi untuk diperiksa sebagai saksi tawuran tersebut. Keesokan harinya, ada koran yang memuat berita tentang tawuran itu. Anehnya, di koran itu ditulis bahwa ada guru yang menjadi biang keladinya.
Botchan dan Hotta sekali lagi harus menghadapi kesialan yang tidak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Hotta pun diperintahkan untuk membuat surat pengunduran diri namun Botchan masih selamat. Hal ini justru semakin terlihat mencurigakan bagi mereka.
Mereka berdua mempertanyakan kemungkinan bahwa Guru kepala lah yang melaporkan kejadian tersebut kepada koran. Botchan ikut membuat surat pengunduran diri sebagai bentuk kepedulian kepadanya kawannya, sayangnya kepala sekolah tidak menyetujui.
Hotta lantas pergi dari sekolah tersebut, namun dia memutuskan untuk tinggal di kota sebelah tempat pemandian favorit Botchan berada. Dirinya ingin membalas dendam kepada Guru kepala atas kelicikan yang sudah diterimanya. Akhirnya Botchan dan Hotta memata-matai Guru kepala bersama-sama.
Di suatu sore, ada dua orang geisha yang masuk ke penginapan tempat Hotta tinggal. Hotta pun memperkirakan bahwa geisha tersebut adalah sewaan guru kepala. Dan memang seperti itu kenyataannya.
Pukul 10 malam, Guru kepala datang bersama guru seni ke penginapan tersebut. Di sana mereka membicarakan tentang Hotta, Botchan, dan juga Koga. Botchan dan Hotta terus menunggu sepanjang malam sampai akhirnya guru kepala dan guru seni keluar pada pukul lima pagi.
Mereka mengikuti guru kepala dan guru seni sampai ke tempat yang cukup sepi. Di tempat tersebut, mereka menghajar guru kepala dengan sangat hebat. Setelah puas, mereka meninggalkan tempat sepi itu.
Botchan lantas mengemasi seluruh barang-barangnya dan kembali ke Tokyo untuk menemui Kiyo. Di kota asalnya ini, Botchan mendapatkan pekerjaan yang baru sebagai teknisi kereta api.
Di luar cerita kelicikan rekan gurunya tersebut, ada lagi cerita lain yang cukup menarik perhatian. Diantaranya seperti orang-orang desa yang sangat senang mencari tahu urusan orang lain. Botchan pun merasa kehidupan pribadinya direbut paksa oleh tetangga-tetanngganya itu.
Ada satu kejadian di mana Botchan merasa urusan pribadinya benar-benar diganggu. Suatu saat murid-muridnya mengolok-olok Botchan karena makanan yang dimakannya satu hari sebelumnya. Hal seperti ini sangat mengganggu Botchan karena menurutnya tidak seharusnya orang-orang mencampuri urusan nya sejauh itu.
Hal lain yang mengganggu Botchan adalah aturan sekolahnya yang tidak relevan sekaligus tidak efisien sama sekali. Sampai saat Botchan mengajar, ada satu tradisi turun-temurun yang masih dilakukan meskipun sebenarnya kegiatan tersebut tidak harus dilakukan.
Lalu pemikiran yang kuno dan monoton membuat sekolahnya sangat sulit untuk bisa berkembang dan menjadi sekolah yang maju. Sistem yang berlaku juga belum pernah diganti alias sangat monoton. Padahal perubahan sangat diperlukan agar sekolahnya bisa menjadi sekolah yang modern.
Tema dan Penokohan
Secara garis besar, novel ini mengangkat tema moralitas yang dibalut secara apik melalui sifat dan karakter Botchan. Sehingga terciptalah tema baru tentang seorang guru yang mencoba memberontak sistem di sekolahnya demi menjunjung tinggi nilai-nilai moral.
Tokoh utama dalam novel ini yaitu Botchan, seorang pemuda yang polos, jujur, idealis, kritis, dan juga tempramental. Selain itu, ada juga tokoh lainnya seperti Kiyo, perempuan tua yang sangat menyayangi Botchan.
Kepala Guru, seorang lulusan Sastra dengan gaya bicaranya yang feminin. Dia sering menutupi hal-hal licik yang dilakukannya dengan kata-kata yang sangat manis. Hotta, guru matematika yang juga partner kerja Botchan.
Yang terakhir ada Koga, guru dengan latar belakangnya dari keluarga kaya namun mengalami guncangan setelah ayahnya meninggal dunia.
Kelebihan
Novel ini disajikan dengan unsur humor yang bisa membuat kamu tertawa saat membacanya. Namun di saat yang sama, novel ini mengajak kamu dan pembaca lainnya untuk menyadari bahwa sifat licik, bohong, penjilat, dan adu domba merupakan hal yang biasa dilakukan oleh manusia. Termasuk yang menjadi bagian dari dunia pendidikan.
Latar belakang yang klasik juga menekankan bahwa sistem pendidikan memang sudah sering dicampur aduk dengan kepentingan pribadi orang-orang yang terlibat di dalamnya. Karena itu, tidak sedikit guru muda yang idealis seperti Botchan harus mengikuti “arus” agar karirnya selamat.
Ceritanya juga termasuk sederhana dan ringan tanpa adanya imajinasi yang terlalu berlebihan. Cara penyampaian penulis juga lugas. Bagi Grameds yang berprofesi sebagai guru atau bercita-cita menjadi guru, Botchan bisa menjadi sosok ideal yang patut dicontoh.
Cerita yang ditulis menggunakan sudut pandang orang pertama serba tahu membikin pembaca merasa sedang membaca buku harian Botchan. Selain itu, kalimat satir di dalamnya juga membuat cerita ini jadi lebih hidup. Lalu permasalahan yang diangkut juga masih sangat relevan dengan kondisi saat ini.
Kekurangan
Alurnya melompat-lompat sehingga berpotensi membuat kamu kebingungan dan harus berhenti sebentar untuk memahami beberapa hal di dalamnya. Beberapa alur tersebut juga memiliki akhir yang menggantung sehingga kesannya tidak selesai.
Narasinya sangat panjang dan bisa membuatmu jenuh jika terlalu lama membaca novel ini. Sekitar 90% isi buku ini merupakan narasi dan sisanya adalah dialog.
Kadang-kadang bahasa yang digunakan juga bisa menjadi sangat kasar sehingga novel ini lebih cocok dimasukan sebagai novel remaja, bukan anak-anak. Ada banyak candaan dan cerita khas Jepang yang berpotensi membuatmu kesulitan memahaminya.
Kesimpulan Novel Botchan
Novel Botchan ini sangat direkomendasikan bagi kamu yang peduli terhadap dunia pendidikan di Indonesia. Terlebih jika kamu punya cita-cita untuk menjadi seorang guru. Sosok Botchan bisa membantumu menemukan figur “guru ideal” bagimu kelak.
Di samping itu, dalam novel ini juga terdapat nilai-nilai moral dan pesan kebaikan yang disampaikan oleh penulis melalui tokoh utamanya. Kamu akan menemukan beberapa hal yang masih relate dengan kehidupan saat ini.
Melalui novel ini kamu juga akan belajar tentang bagaimana sulitnya perjuangan seorang guru untuk mendidik murid-muridnya.
Penulis: Gilang Oktaviana Putra
- Novel Fantasi
- Novel Best Seller
- Novel Romantis
- Novel Fiksi
- Novel Non Fiksi
- Buku Tentang Perempuan
- Rekomendasi Novel Terbaik
- Rekomendasi Novel Horor
- Rekomendasi Novel Remaja Terbaik
- Rekomendasi Novel Fantasi
- Rekomendasi Novel Fiksi
- Rekomendasi Novel Dewasa
- Rekomendasi Novel Pernikahan
- Rekomendasi Novel Romantis Korea
- Rekomendasi Novel Romantis Islami
- Rekomendasi Novel Sejarah
- Rekomendasi Novel Tentang Kehidupan
- Review Novel Amba
- Review Novel Badai Pasti Berlalu
- Review Novel Catatan Harian Sang Pembunuh (Diary Of A Murderer)
- Review Novel Funiculi Funicula
- Review Novel Kita Pergi Hari Ini
- Review Novel Perempuan yang Menangis Kepada Bulan Hitam
- Review Novel Petualangan Jack dan Piggy Natal
- Review Novel The Architecture of Love
- Review Novel The Hunger Games
- Review Novel Samuel
- Review Novel One Of Us Is Next
- Review Novel Angkasa dan 56 Hari
- Review Novel Cantik Itu Luka
- Review Novel Dollagoot: Toko Penjual Mimpi
- Review Novel Guru Aini
- Review Novel Garis Waktu
- Review Novel The Star And I
- Resensi Novel Ruin and Rising
- Review Novel Crooked Kingdom
- Review Novel Six Of Crows
- Review Novel Kig Of Scars
- Review Novel Rules Of Wolves
- Review Novel Novel Botchan Natsume Soseki
- Review Novel Must Be a Happy Ending
- Review Novel Merindu Cahaya De Amstel
- Resensi Novel Teluk Alaska