Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah novel yang disebut juga sebagai karya sastra klasik Indonesia. Novel ini ditulis oleh Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau yang lebih populer dengan nama pena Hamka. Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah pertama kali diterbitkan pada tahun 1938 oleh penerbit nasional Hindia Belanda, Balai Pustaka. Novel ini mengisahkan tentang kisah cinta dua sejoli yang gagal, karena terbentur budaya masyarakat Minang.
Kedua sejoli itu adalah Hamid dan Zainab, dua orang yang saling mencintai, tetapi tidak bisa bersatu akibat perbedaan latar belakang keluarga dan derajat ekonomi. Perasaan cinta mereka terus disimpan di dalam hati masing-masing dan tak pernah terungkapkan. Ketidakberdayaan Hamid untuk mengungkapkan perasaannya semakin memberatkan perasaan dan hati Hamid saat Mak Asiah, Ibu dari Zainab, meminta dirinya untuk membujuk Zainab supaya mau menikah dengan laki-laki pilihan keluarga. Untuk mengobati luka hatinya, Hamid akhirnya memutuskan pergi dari Padang menuju ke Mekah. Hamid ingin memohon perlindungan kepada Allah SWT dengan terus beribadah di hadapan Ka’bah.
Kisah Di Bawah Lindungan Ka’bah telah diadaptasi menjadi film layar lebar sebanyak dua kali. Pertama, film yang disutradarai oleh Asrul Sani dan dibintangi oleh penyanyi dangdut Camelia Malik sebagai Zainab, dirilis pada tahun 1977 dengan judul Para Perintis Kemerdekaan. Adaptasi film ini menggambarkan perjuangan dua tokoh yang saling mencinta dengan latar belakang perjuangan menghadapi kekuatan kolonial Belanda. Film ini berhasil meraih kesuksesan dengan memenangi dua Piala Citra dari total enam nominasi pada Festival Film Indonesia 1977.
Film adaptasi kedua disutradarai oleh Hanny R. Saputra dan dibintangi oleh Herjunot Ali sebagai Hamid dan Laudya Cynthia Bella sebagai Zainab. Film ini dirilis dengan judul Di Bawah Lindungan Ka’bah pada tahun 2011. Adaptasi ini fokus pada kisah cinta Hamid dan Zainab. Film ini sempat diajukan untuk mewakili Indonesia pada Academy Awards ke-84 untuk nominasi Film Berbahasa Asing Terbaik, tetapi tak berhasil masuk nominasi akhir.
Table of Contents
Profil Hamka – Penulis Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah Datuk Indomo atau yang populer dengan nama penanya Hamka, lahir di di Tanah Sirah, wilayah Nagari Sungai Batang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, pada 17 Februari 1908. Hamka adalah seorang ulama sekaligus sastrawan Indonesia. Hamka berprofesi sebagai penulis, wartawan, dan juga pengajar.
Hamka adalah anak pertama dari empat bersaudara, daru pasangan Safiyah dan Abdul Karim Amrullah “Haji Rasul”. Adik-adik Hamka, yaitu Abdul Mu’thi, Asma, dan Abdul Kuddus. Safiyah diketahui merupakan adik dari istri pertama Haji Rasul yang bernama Raihana. Ia menikahi Safiyah setelah istri pertamanya meninggal di Mekkah. Raihana memberi Hamka seorang kakak tiri yang bernama Fatimah, yang kemudian menikah dengan Syekh Ahmad Rasyid Sutan Mansur.
Hubungan Haji Rasul dan Safiyah tidak bertahan selamanya. Sang ayah kemudian menikah dengan Rafi’ah dan memberi Hamka seorang adik tiri bernama Abdul Bari. Ia kemudian kembali ke tanah Minangkabau setelah selesai belajar kepada Ahmad Khatib Al-Minangkabawi. Haji Rasul menjadi pemimpin gelombang pembaruan Islam dan menentang tradisi adat dan amalan tarekat, meskipun ayahnya sendiri, Muhammad Amrullah merupakan seorang pemimpin Tarekat Naqsyabandiyah. Istri Amrullah, nenek Hamka, bernama Sitti Tarsawa. Ia adalah seorang yang mengajar nyanyi, menari, dan pencak silat.
Di Maninjau, Hamka kecil tinggal bersama neneknya. Semasa kecilnya, ia suka mendengarkan pantun-pantun yang merekam keindahan alam Minangkabau. Sang ayah sering bepergian untuk berdakwah di daerah lain. Ketika berusia empat tahun, Hamka mengikuti orang tuanya untuk pindah ke Padang Panjang. Di sana ia belajar membaca Al-Quran dan bacaan shalat yang dibimbing oleh Fatimah, kakak tirinya.
Memasuki usia yang ke tujuh tahun, Hamka masuk ke Sekolah Desa. Pada tahun 1916, Zainuddin Labay El Yunusy membangun sekolah agama yang bernama Diniyah School. Sekolah itu menggantikan sistem pendidikan tradisional berbasis surau. Sembari mengikuti pelajaran setiap pagi di Sekolah Desa, Hamka mengambil kelas sore di Diniyah School. Ketertarikannya di bidang bahasa membuat Hamka cepat sekali menguasai bahasa Arab.
Pada tahun 1918, Hamka berhenti dari Sekolah Desa setelah selesai masa tiga tahun belajar. Oleh karena ingin menekankan pendidikan agama, Haji Rasul kemudian memasukkan Hamka ke Thawalib. Sekolah itu mewajibkan murid-muridnya untuk bisa hafal ilmu saraf, kitab-kitab klasik, dan kaidah mengenai nahwu. Seusai belajar di Diniyah School setiap pagi, Hamka menghadiri kelas Thawalib di sore hari, lalu malamnya kembali ke surau.
Namun, sistem pembelajaran di Thawalib yang sangat mengandalkan hafalan, sehingga membuatnya jenuh. Kebanyakan murid Thawalib juga remaja yang usianya lebih tua dari Hamka, karena materi yang harus dihafalkan berat. Walaupun kegiatannya dari pagi hingga sore hari dipenuhi dengan belajar, Hamka kecil dikenal nakal. Ia kerap kali mengganggu teman-temannya kalau kemauannya tidak dituruti.
Di bawah bayangan nama besar ayahnya, Abdul Karim Amrullah, Hamka remaja suka melakukan perjalanan jauh sendirian. Ia pernah meninggalkan pendidikannya di Thawalib untuk melakukan perjalanan ke Jawa pada tahun 1924. Setelah setahun menjalani perantauannya, Hamka kembali ke Padang Panjang untuk membesarkan Muhammadiyah. Dengan kemampuan bahasa Arab yang dikuasainya, Hamka mendalami sejarah Islam dan bidang sastra secara otodidak.
Setelah kembali ke Tanah Air, Hamka merintis karir sebagai wartawan sembari bekerja sebagai guru agama di Deli. Setelah menikah, ia kemudian kembali ke Medan dan menerbitkan majalah Pedoman Masyarakat. Melalui karyanya yang berjudul Di Bawah Lindungan Ka’bah dan Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck, nama Hamka dikenal sebagai sastrawan.
Sinopsis Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Hamid adalah seorang anak yatim, sehingga ia tinggal bersama sang ibu saja di kota Padang, tepatnya di sebuah rumah yang mungkin lebih pantas untuk disebut sebagai gubug. Beberapa bulan kemudian, rumah besar yang berada di sebelah gubug Hamid, ditempati oleh Haji Ja’far. Ia adalah seorang saudagar yang tinggal bersama istri dan anak perempuannya.
Keluarga Haji Ja’far merasa iba melihat keadaan Hamid dan ibunya. Maka dari itu, istri saudagar yang biasa dipanggil Mak Asiah itu akhirnya membantu Hamid. Haji Ja’far menyekolahkan Hamid bersama dengan Zainab, putrinya, yang akhirnya dianggap sebagai adik oleh Hamid.
Seusai lulus sekolah, Hamid menyadari bahwa dia mencintai Zainab, begitu juga sebaliknya. Namun, keduanya saling menyimpan dalam hati perasaan itu. Sebab, Hamid mengetahui, meskipun dia menyatakan perasaannya, itu pasti akan sia-sia. Hamid tidak sederajat dengan Zainab. Dia sadar diri akan kasta keluarganya dalam masyarakat, karena itulah Zainab juga tak menyatakan perasaannya kepada Hamid.
Hingga pada suatu hari, Haji Ja’far meninggal dunia. Hamid dan Ibunya tak lagi sering mengunjungi rumah almarhum Haji Ja’far. Ditambah lagi dengan keadaan sang ibu yang sudah sakit-sakitan. Tak lama kemudian, ibu Hamid pun menyusul Haji Ja’far menuju ke alam barzah.
Hamid sangat terpukul dengan semua pengalaman ini. Kini Hamis hidup sebatang kara. Apalagi saat Mak Asiah meminta bantuannya untuk meluluhkan hati Zainab, supaya mau menikah dengan pria pilihan ayahnya. Hamid yang putus asa akhidnya memutuskan untuk meninggalkan kota Padang dan pergi ke tempat yang sangat jauh dari kota itu. Maka itu, sampailah dia di tanah suci, Mekah.
Di tanah suci, Hamid bisa melupakan Zainab dan segala penderitaannya dengan berserah diri kepada Allah. Namun, tak jarang juga kenangan-kenangannya bersama Zainab muncul di benaknya. Hingga pada suatu hari, Saleh datang. Saleh adalah teman Hamid sewaktu masih di bangku sekolah. Dia membawa kabar mengenai Zainab yang ia ketahui dari istrinya.
Saleh memberitahu Hamid bahwa Zainab juga mencintainya dan sekarang dia sedang menderita, karena perasaan yang dari lama dia pendam itu. Zainab ternyata tidak jadi menikah dengan pria pilihan ayahnya. Saat surat Zainab untuk Hamid sampai kepadanya, Hamid menyadari bahwa dia sangat beruntungnya mengetahui bahwa Zainab memiliki perasaan yang sama untuk dirinya. Namun, hal itu tidak juga mengubah keadaan, karena semuanya sudah terlambat.
Pada hari mengerjakan tawaf, Saleh menerima surat dari Rosnah, istrinya. Hamid yang waktu itu ada di atas bangku tandu bertanya kepada sahabatnya tentang surat ini. Sebab, dia melihat perubahan pada ekspresi wajah Saleh setelah membaca surat itu. Dengan gugup, Saleh mengatakan kepada Hamid bahwa Zainab telah meninggal dunia. Tak lama setelah berdoa dan mengerjakan tawaf, Hamid pun menyusul Zainab. Hamid menghembuskan nafas terakhirnya di bawah lindungan ka’bah. Pada hari itu juga jenazah Hamid dimakamkan di kuburan Ma’al yang Masyhur.
Kelebihan Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Kelebihan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah adalah kisah yang sangat singkat. Karya sastra klasik ini sangat tipis, hanya memiliki total 91 halaman, sehingga bisa dibaca dalam sekali duduk. Namun, kisah yang sangat singkat ini dapat menyentuh hati pembaca.
Premis ceritanya sangat sederhana, hanya mengenai cinta yang tak sampai. Namun, Hamka dapat mengemas kisah yang sederhana ini dengan membuat alur misah dan cara penulisan yang memikat. Gaya bahasanya sederhana, tapi indah. Gaya bercerita Hamka mampu memberikan kesan yang mendalam, sehingga membekas di benak pembaca.
Hamka juga menyelipkan suatu pesan salam novel klasik ini. Konflik yang diangkat dalam kisah ini memberikan kritik atas adat masyarakat yang bertentangan dengan ajaran Islam. Secara keseluruhan, ini adalah kisah cinta singkat yang sedih, tulus, dan sangat menarik. Novel ini sangat cocok bagi anda yang ingin membaca kisah sederhana yang berkesan.
Kekurangan Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Selain kelebihan, novel Di Bawah Lindungan Ka’bah ini juga memiliki kekurangan. Kekurangan novel ini terletak pada adanya bahasa yang sulit dimengerti di beberapa bagian, sehingga harus dibaca berulang kali. Hal ini dikarenakan memang Hamka menggunakan pilihan kata sastra. Namun, kesulitan ini hanya ditemukan di beberapa bagian saja dan tidak mengganggu proses memahami kisah ini.
Pesan Moral Novel Di Bawah Lindungan Ka’bah
Dari novel Di Bawah Lindungan Ka’bah, kita dapat belajar untuk mengatasi segala masalah dengan berserah diri atau kembali kepada-Nya. Seperti Hamid yang menyerahkan dirinya kepada Allah. Sebab, di bawah lindungan-Nya, segala masalah dapat diatasi dengan mudah.
Melalui kisah ini, Hamka juga menyampaikan bahwa cinta yang tulus itu merupakan suatu hal yang suci dan abadi. Perasaan cinta adalah berkat dari Allah yang sifatnya sangat adil. Sebab, cinta tidak memandang faktor duniawi yang dimiliki manusia. Seperti cinta Hamid dan Zainab yang tidak memandang kedudukannya di masyarakat.
Nah, itu dia Grameds ulasan novel Di Bawah Lindungan Ka’bah karya Hamka. Indah sekali ya kisah cinta Hamid dan Zainab. Bagi kalian yang penasaran akan cerita lengkapnya, bisa langsung mendapatkan novel ini hanya di Gramedia.com.
- Review Novel My Youth
- Review Novel The Love Hypothesis
- Review Novel Lavender
- Review Novel Real Face
- Review Novel IPA dan IPS
- Review Novel Bumi dan Lukanya
- Review Novel Supernova 1
- Review Novel Supernova 2
- Review Novel Supernova 3
- Review Novel Miss Marple's Final Cases
- Review Novel Aroma Karsa
- Review Buku Ayana, Journey to Islam
- Review Buku Home Body
- Review Novel All the Light We Cannot See
- Review Buku Matilda
- Review Novel Orang Berikut Yang Kaujumpai Di Surga
- Buku 24 Jam Bersama Gaspar
- Review Novel Di Bawah Lindungan Ka'bah
- Review Novel Three Dark Crowns
- Review Novel The Old Man and the Sea
- Review Novel Midnight Sun
- Review Novel Circe
- Review Because You Love to Hate Me
- Review Novel The Kudryavka Sequence
- Review Novel Confessions
- Review Novel Kitchen
- Review Novel Burning
- Review The Chronicles of Narnia Series
- Review Novel Weathering With You
- Review Novel Rich People Problems
- Review Novel Guns, Germs dan Steel
- Review Novel Siege and Storm
- Review Novel Absolute Justice
- Review Novel Silam