in

Review Novel Jejak Langkah Karya Pramoedya Ananta Toer

Jejak Langkah adalah novel ketiga dalam Tetralogi Buru karya sastrawan Indonesia ternama, Pramoedya Ananta Toer. Tetralogi ini merupakan mahakarya yang mengisahkan kehidupan Tirto Adhi Soerjo, seorang bangsawan Indonesia sekaligus jurnalis pelopor yang memiliki peran besar dalam sejarah pergerakan nasional. Dalam tetralogi ini, Pramoedya menghadirkan sosok Minke sebagai narator dan tokoh utama yang didasarkan pada kehidupan nyata Tirto Adhi Soerjo.

Jejak Langkah

Dalam Jejak Langkah, Gramin akan membawa Grameds ke dalam fase kehidupan Minke setelah ia pindah dari Surabaya ke Batavia, yang kala itu menjadi pusat pemerintahan kolonial Hindia Belanda. Di Batavia, Minke berhadapan dengan realitas kompleks kehidupan di bawah cengkeraman penjajahan. Novel ini pertama kali terbit dalam edisi bahasa Indonesia pada tahun 1985, dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Max Lane pada tahun 1990.

Menurut Carlo Coppola dari Universitas Oakland, yang mengulas buku tersebut di World Literature Today, buku tersebut menunjukkan “komitmen kuat terhadap cita-cita humanis yang luas”. Buku tersebut membandingkan ketertarikan Minke terhadap teknologi modern dan gagasan tentang kebebasan yang dibawa oleh orang Eropa dengan keterasingan yang mereka bawa kepada rakyat Hindia yang ditundukkan.

Sebuah ulasan oleh Publishers Weekly mencatat kontras buku tersebut antara “impian Minke tentang Indonesia yang bersatu, multietnis, dan merdeka dengan “realitas keras pendudukan kolonial”. Buku tersebut juga menyoroti penindasan dan “penaklukan brutal” rakyat pribumi Hindia oleh penguasa Belanda dan kolaborator pribumi mereka. Buku tersebut juga menunjukkan kedewasaan Minke melalui dua pernikahan.

Novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer terdiri atas 736 halaman. Cetakan terbarunya versi memperingati satu abad diterbitkannya cerita ini dicetak oleh Penerbit Kpg atau Lentera pada 14 Februari 2025 dengan sampul sederhana berwarna biru terang yang menarik perhatian.

Profil Pramoedya Ananta Toer – Penulis Novel Jejak Langkah

Pramoedya Ananta Toer, yang akrab disapa Pram, lahir pada 6 Februari 1925, dan wafat pada 30 April 2006. Pram merupakan seorang pengarang dan novelis Indonesia yang karyanya menggambarkan berbagai periode sejarah penting di Indonesia. Karya-karyanya mencakup rentang waktu dari masa penjajahan Belanda, perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia, masa pendudukan Jepang selama Perang Dunia II, hingga era rezim otoriter pasca-kolonial di bawah kepemimpinan Sukarno dan Suharto. Dalam tulisannya, Pramoedya tidak hanya mengangkat latar sejarah nasional, tetapi juga menghadirkan cerita-cerita yang sarat dengan pengalaman pribadi yang memberikan sudut pandang yang mendalam terhadap kompleksitas sejarah Indonesia.

Tulisan-tulisan Pramoedya sering kali mendapat perlawanan dari pemerintah kolonial serta otoriter yang ada di Indonesia. Meskipun namanya diakui di luar negeri, di dalam negeri ia karya-karyanya sering mendapat sensor, terutama pada masa sebelum Reformasi. Pemerintah Belanda menahan Pramoedya dari tahun 1947 hingga 1949 selama Perang Kemerdekaan Indonesia.

Jejak Langkah

Selama transisi ke rezim Suharto, ia terperangkap dalam perubahan politik yang berkecamuk dalam persaingan kekuasaan. Soeharto kemudian menahan Pramoedya dari tahun 1969 hingga 1979 di Pulau Buru, Maluku, dengan tuduhan sebagai seorang Komunis. Meskipun dilihat sebagai penerus rezim sebelumnya, Pramoedya telah aktif melawan kebijakan-kebijakan tersebut. Di Pulau Buru, ia menulis karya terkenalnya, Kuartet Buru. Terhalang oleh larangan untuk mengakses bahan tulis, ia menyampaikan ceritanya secara lisan kepada sesama tahanan sebelum akhirnya berhasil menuliskan dan menyelundupkannya keluar.

Pramoedya menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap beberapa kebijakan yang diterapkan oleh Presiden Sukarno dan penerusnya, rezim Orde Baru dibawah Soeharto. Meskipun kritik politiknya sering kali disampaikan dengan cara yang halus dalam tulisannya, namun ia tidak ragu untuk secara terang-terangan menentang praktik kolonialisme, rasisme, dan korupsi yang melanda pemerintahan baru di Indonesia saat itu. Selama beberapa kali merasakan proses penahanan yang dialaminya, termasuk masa di penjara dan tahanan rumah di Jakarta setelah pembebasannya dari Pulau Buru, Pramoedya menjadi sebuah simbol yang menarik bagi para advokat hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi di Indonesia sampai saat ini.

Sinopsis Novel Jejak Langkah

Jejak Langkah

Minke mengerahkan seluruh kemampuannya untuk melawan kekuasaan Hindia yang telah mengakar selama berabad-abad. Namun, ia tidak memilih jalur perlawanan bersenjata. Sebagai gantinya, Minke menempuh jalan jurnalistik dengan menerbitkan sebanyak mungkin bacaan untuk kalangan pribumi. Koran yang paling terkenal di antaranya adalah Medan Prijaji. Melalui koran ini, Minke menyerukan kepada rakyat pribumi tiga hal utama: memperkuat aksi boikot, membangun organisasi, dan menyingkirkan budaya feodalistik. Melalui jalur jurnalistik ini pula, Minke terus menggaungkan pesan: “Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.

Kelebihan dan Kekurangan Novel Jejak Langkah

Jejak Langkah

Pros & Cons

Pros
  • Bacaan yang membangkitkan emosi.
  • Cerita yang seru.
  • Karakter yang kuat.
  • Terinspirasi dari kisah nyata.
  • Relevansi dengan kehidupan sehari-hari.
  • Menyentuh hati pembaca.
  • Meningkatkan semangat nasionalisme. 
Cons
  • Dialog yang terkesan terlalu panjang.
  • Ketergantungan dengan novel sebelumnya. 

Kelebihan Novel Jejak Langkah

Jejak Langkah

Berbeda dengan dua buku sebelumnya yang lebih banyak memunculkan rasa sedih dan simpati, Jejak Langkah justru membangkitkan emosi marah yang begitu kuat di hati pembaca. Pramoedya Ananta Toer dengan cerdas menghadirkan rasa ketidakadilan dan penindasan yang dialami rakyat pribumi di bawah kekuasaan kolonial Belanda, sehingga pembaca tidak hanya memahami situasi pada masa itu, tetapi juga merasakan dorongan untuk melawan dan memperjuangkan kebebasan.

Novel ini menceritakan perjalanan hidup Minke dalam proses pendewasaan, di mana ia bertransformasi menjadi seorang pionir dalam organisasi pertama di Hindia Belanda serta seorang jurnalis yang berani menyuarakan kebenaran. Keputusan Minke untuk melawan penjajahan melalui jalur intelektual dan jurnalistik, bukan perlawanan bersenjata, menunjukkan kedewasaan berpikir dan keteguhan prinsip yang menginspirasi.

Keistimewaan novel ini terletak pada latar historis yang kuat karena terinspirasi dari kehidupan nyata Tirto Adhi Soerjo, seorang tokoh penting dalam sejarah pergerakan nasional Indonesia. Hal ini memberikan nilai lebih karena cerita yang dihadirkan bukan hanya fiksi, tetapi berakar pada kenyataan historis yang memperkaya pengetahuan pembaca tentang perjuangan bangsa.

Meskipun berisi tema besar seperti politik, kolonialisme, dan perlawanan, Pram tetap menyisipkan detail kehidupan sehari-hari yang membuat novel ini terasa hidup dan manusiawi. Momen-momen kecil dalam kehidupan Minke menyeimbangkan ketegangan dalam cerita, menjadikannya tetap sebuah karya sastra, bukan sekadar catatan sejarah yang kaku.

Jejak Langkah juga memberikan pengetahuan baru dan mencerahkan pikiran pembaca. Novel ini membuka wawasan tentang kekuatan persatuan, pentingnya pendidikan, dan perlawanan terhadap ketidakadilan. Emosi yang muncul selama membaca novel ini tidak hanya membangkitkan semangat nasionalisme, tetapi juga memperdalam rasa cinta tanah air. Oleh karena itu, buku ini sangat layak dijadikan bacaan wajib di sekolah menengah di seluruh Indonesia. Bukan hanya karena alur ceritanya yang menarik, tetapi juga karena muatan nilai perjuangan dan nasionalisme yang begitu membakar hati sepanjang membaca novel ini.

Kekurangan Novel Jejak Langkah

Jejak Langkah

Salah satu kelemahan Jejak Langkah terletak pada dialog yang terlalu panjang dan dominan. Hampir 60 persen isi novel dipenuhi oleh percakapan antara Minke dengan dirinya sendiri atau dengan tokoh-tokoh pergerakan lainnya. Meskipun dialog ini penting untuk memperkuat ide dan memperkenalkan konsep pergerakan nasional, namun gaya penyampaian yang panjang dan penuh muatan intelektual bisa terasa melelahkan bagi pembaca.

Selain itu, Jejak Langkah sangat bergantung pada dua novel sebelumnya dalam Tetralogi Buru. Karena merupakan lanjutan dari Bumi Manusia dan Anak Semua Bangsa, novel ini memuat banyak referensi terhadap peristiwa, karakter, dan latar yang sudah diperkenalkan di buku sebelumnya. Akibatnya, pembaca yang belum membaca dua novel sebelumnya akan merasa kesulitan memahami hubungan antar tokoh dan dinamika cerita secara utuh. Informasi tentang perjalanan hidup Minke.

Pesan Moral Novel Jejak Langkah

Jejak Langkah

Pesan moral yang disampaikan dalam Jejak Langkah begitu kuat dan menggugah hati. Melalui sosok Minke, Pram mengingatkan kita bahwa kekuatan sejati bukan terletak pada senjata atau kekuasaan, melainkan pada kata-kata dan tulisan. Ketika Minke mulai menulis dan menerbitkan media sendiri, ia membuktikan bahwa pena mampu mengguncang rencana para penguasa dan mempengaruhi kebijakan negara. Kekuatan intelektual dan keberanian untuk menyuarakan kebenaran menjadi senjata paling ampuh dalam melawan ketidakadilan dan penindasan. Inilah makna sejati dari ungkapan “pen is mightier than sword”.

Minke mengajarkan kepada kita bahwa ilmu pengetahuan, seberapa hebat pun itu, hanyalah alat yang tak memiliki kepribadian. Namun, kata-kata yang dituliskan dengan ketulusan dan keberanian mampu mewakili jiwa individu dan bahkan semangat sebuah bangsa. Grameds, melalui tulisan dan pemikiran, kita bisa melawan ketidakadilan, memperjuangkan kebebasan, dan membangkitkan kesadaran rakyat. Tulisan bukan hanya rangkaian kata, tetapi suara yang bisa mengguncang kekuasaan dan membangunkan semangat perlawanan.

Sebagaimana Minke menyadari, setiap hak yang berlebihan adalah bentuk penindasan. Gramin ingin mengingatkan Grameds bahwa membiarkan ketidakadilan berarti ikut membiarkannya terus terjadi. Maka, kita harus berani bersuara, berani menulis, dan berani berjuang demi kebenaran dan keadilan. Jangan pernah meremehkan kekuatan kata-kata karena dari situlah lahir perubahan dan kebebasan.

Grameds, itu dia sinopsis, ulasan, dan pesan moral dari novel Jejak Langkah karya Pramoedya Ananta Toer. Yuk dapatkan buku ini dan karya-karya best seller Pramoedya Ananta Toer lainnya hanya di Gramedia.com! Sebagai #SahabatTanpaBatas, kami selalu siap memberikan informasi dan produk terbaik untuk kamu.

Penulis: Gabriela Estefania

 

Rekomendasi Buku

Bumi Manusia

Bumi Manusia

Bumi Manusia adalah novel yang ditulis oleh penulis Indonesia Pramoedya Ananta Toer. Diterbitkan pada tahun 1980, novel ini merupakan buku pertama dalam Tetralogi Buru, rangkaian empat novel yang mengeksplorasi iklim sosial dan politik Indonesia selama era kolonial. Novel ini berlatar akhir abad ke-19 dan menceritakan kisah Minke, seorang bangsawan muda Jawa yang bergulat dengan sistem kolonial yang menindas, dan hubungan romantisnya dengan Annelies, seorang wanita Belanda-Indonesia. 

Narasi Bumi Manusia dibentuk oleh tema kolonialisme, identitas, dan ketidaksetaraan sosial. Novel ini menyoroti perjuangan penduduk asli di bawah kekuasaan Belanda dan mengkritik hierarki ras dan sosial yang mendefinisikan era tersebut. Minke, sang protagonis, adalah simbol elit terpelajar yang berusaha menantang sistem yang menindas, sementara Annelies mewakili konsekuensi tragis dari hubungan kolonial campuran ras.

Anak Semua Bangsa

Anak Semua Bangsa

Dalam Anak Semua Bangsa, pembaca langsung terhanyut oleh cerita yang sangat feminis, sangat antikolonial—dan penuh dengan patah hati, ketegangan, cinta, dan kemarahan. Pramoedya membenamkan pembaca dalam dunia yang sangat memukau: pusaran budaya yang merupakan Hindia Belanda pada tahun 1890-an. Sebuah kisah tentang kebangkitan, buku ini mengikuti Minke, tokoh utama This Earth of Mankind, saat ia berjuang untuk mengatasi ketidakadilan di sekelilingnya. Kejeniusan sastra Pramoedya sepenuhnya terbukti dalam karakter-karakter cemerlang yang mengisi dunia ini: istri Minke yang rapuh dan berdarah campuran; seorang revolusioner muda Tionghoa; seorang petani Jawa yang berjuang melawan kemiskinan dan keluarganya; pelukis Prancis Jean Marais, untuk menyebutkan beberapa di antaranya.

Cerita ini mengikuti Minke, seorang anak laki-laki Jawa muda, saat ia menjelajahi kompleksitas Indonesia kolonial di awal abad ke-20. Perjalanan Minke membawanya dari desanya ke kota, tempat ia bersekolah di sekolah bergengsi yang dikelola Belanda. Ia menghadapi tantangan budaya, sosial, dan politik, yang membentuk identitas dan pandangan dunianya. 

Rumah Kaca

Rumah Kaca

Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusastraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. Karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda. Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. 

Dan roman keempat, Rumah Kaca, memperlihatkan usaha kolonial memukul semua kegiatan kaum pergerakan dalam sebuah operasi pengarsipan yang rapi. Arsip adalah mata radar Hindia yang ditaruh di mana-mana untuk merekam apa pun yang digiatkan aktivis pergerakan itu. Pram dengan cerdas mengistilahkan politik arsip itu sebagai kegiatan pe-rumahkaca-an. Novel besar berbahasa Indonesia yang menguras energi pengarangnya untuk menampilkan embrio Indonesia dalam ragangan negeri kolonial. Sebuah karya pascakolonial paling bergengsi.

Sumber:

  • https://en.m.wikipedia.org/wiki/Footsteps_(novel)
  • https://id.m.wikipedia.org/wiki/Pramoedya_Ananta_Toer
  • https://www.goodreads.com/book/show/1398066.Jejak_Langkah

Written by Adila V M

A half-time writer, a full-time dreamer.