in

Review Novel The Scarlet Letter

Review Novel The Scarlet Letter: Ketika Logika, Kepercayaan dan Perasaan Memiliki Pengecualian – Sebuah karya sastra melegenda yang mengambil tema fiksi sejarah pada sekitar pertengahan abad ke 16 ini pertama kali diterbitkan pada 1850. Gaungnya bahkan masih terdengar hingga saat ini dan menjadi salah satu jajaran novel sastra yang berpengaruh di Amerika.

Novel karya Nathaniel Hawthorne ini juga telah menjadi best seller dengan jutaan kali cetak selama lebih dari puluhan dekade di Amerika dan juga negara lain. Hebatnya The Scarlet Letter bahkan telah menjadi inpirasi buku dan karya lain setelahnya, hingga diadaptasikan pada film pada 1995 dengan judul serupa.

Novel ini juga termasuk salah satu jajaran karya sastra yang berpengaruh, khususnya di Amerika Serikat. Sebagai salah satu karya yang mengusung kritik sosial dan juga menyinggung nilai keagamaan serta nilai-nilai kemanusiaan, sang penulis Nathaniel Hawthorne justru meraih popularitasnya dalam dunia penulisan sastra.

Salah satu film yang juga terinspirasi dari scarlet letter ini adalah Easy A (2010). Film dengan genre coming of age ini meskipun dibawakan dengan ringan dan layaknya film remaja lainnya, namun juga mengusung isu tentang feminisme. Dimana karakter utama menemukan jati dirinya sendiri meskipun itu harus mendobrak semua pandangan lingkungan tentang dirinya.

Maka tidak heran apabila novel The Scarlet Letter ini melegenda dan menjadi terkenal dalam lebih dari puluhan dekade. Tidak jarang kisah Hester Prynne ini menjadi sorotan yang kerap dijadikan studi kasus untuk mahasiswa jurusan sastra.

Profil Penulis

Holiday Sale

Nathaniel_HawthorneNathaniel Hawthorne (1804-1864), adalah seorang penulis novel dan cerpen kenamaan dari Amerika yang terkenal dengan karyanya yang dark romantic. Karya Hawthorne ini banyak yang mengambil tema yang berhubungan dengan dosa, keresahan, kejahatan yang mana dianggap sangat manusiawi dan dekat dengan kehidupan kita.

Beliau memang dikenal sebagai penulis yang paling senang mengusung tema tersebut untuk menyampaikan pesan moral, keagamaan dan juga sejarah. Maka tidak heran apabila semua karyanya tidak jauh dari latar puritan. Hawthorne juga menuliskan karya lain dengan ‘citarasa’ serupa yakni Twice-Told Tales, House of Seven Gables, dan Blithedale.

Sebagai salah satu penulis paling terkenal di Amerika Serikat, Nathaniel Hawthorne mampu mengantarkan kisah percintaan, keagamaan, dan logika dengan dinamis sebagai bentuk simbol ironis kehidupan masyarakat Amerika di masa puritan. Hal inilah yang membuat The Scarlet Letter masuk pada jajaran karya sastra yang wajib dibaca setidaknya sekali seumur hidup.

Sebenarnya, karya sastra sendiri merupakan sebuah hasil seni yang juga mengalami perkembangan dari masa ke masa menyesuaikan jamannya. Perkembangan tersebut juga termasuk dari segi bentuk, cerita dan gaya bahasanya.

Apabila kisah-kisah novel jaman dahulu lebih sering menceritakan kisah tentang hubungan manusia dan Tuhan sehingga wajar apabila berlatar keagamaan, kemudian cerita pun berkembang menjadi kisah-kisah roman. Selanjutnya berkembang lagi pada literasi yang mengangkat kisah yang jauh lebih pelik seperti mengangkat isu yang ada di masyarakat.

Dalam perkembangannya novel-novel roman pun semakin marak dan salah satu karya paling terkenal berasal dari penulis paling berpengaruh di dunia seperti William Shakespeare, yang kemudian mengilhami banyak penulis pada generasi penerusnya seperti Nathaniel Hawthorne.

Meskipun kehadirannya hanya untuk bacaan dan hiburan, tidak jarang novel-novel sastra juga menjadi wadah yang paling tepat untuk menyampaikan aspirasi sang penulis, terhadap kondisi masyarakat.

Terlebih lagi pada masa lampau, tidak banyak hiburan yang bisa dinikmati seluruh lapisan sosial. Sehingga adanya literasi seperti novel dan puisi mampu menjadi media paling baik selain untuk menghibur juga untuk menjadi menyaimpaikan isu-isu yang ada dalam masyarakat.

Tentang Novel The Scarlet Letter

Classics: Aksara Duka (The Scarlet Letter)tombol beli buku

Popularitas novel ini dalam puluhan dekade terakhir bukan tanpa sebab. Pasalnya Nathaniel Hawthorne memberikan kisah yang padat akan nilai moral, konflik pada karakternya dan juga alur yang mampu membuat pembacanya ikut masuk dalam keresahan tiap tokohnya.

Novel legendaris tentang perempuan bertanda huruf ‘A’ merah ini, hadir sebagai simbolisasi yang sarat akan makna. Tentang bagaimana manusia memandang dosa, bagaimana sebuah keberanian untuk pengakuan, penghakiman dan penerimaan rasa malu yang bergejolak dengan cara yang berbeda pada setiap manusia.

Sang penulis sukses mengkritisi cara pola pikir manusia dalam memandang sebuah dosa dan rasa malu dimana hal tersebut begitu terikat pada kepercayaan dan budaya masyarakat Amerika pada kala itu.

Pada dasarnya The Scarlet Letter atau dalam bahasa indonesia berarti Aksara Duka ini merupakan sebuah karya roman yang menceritakan konflik asmara dengan cara yang begitu berbeda dan ironis. Dimana kisah percintaan lebih diberatkan pada resiko-resiko yang harus mereka tanggung.

Sama halnya dengan novel berpengaruh seperti Little Women, Pride and Prejudice, Romeo and Juliet, To Kill a Mockingbird, novel The Scarlet Letter ini juga memiliki pesan dan nilai moral yang begitu besar dan mungkin saja masih relevan dengan kehidupan masa kini. Lantas seperti apa kisahnya?

Sinopsis The Scarlet Letter

Classics: Aksara Duka (The Scarlet Letter)tombol beli buku

Novel ini mengambil latar Puritan Boston, dimana sang karakter utama perempuan yakni Hester Prynne menjadi fokus utama cerita. Hester adalah seorang perempuan diketahui melahirkan seorang anak perempuan tanpa ayah.

Dalam kondisinya ini Hester adalah seorang perempuan menikah. Sang suami berencana menyusul Hester ke Boston, namun rupanya sudah 2 tahun tidak ada kabarnya. Disisi lain sang suami tak kunjung datang, namun Hester melahirkan seorang putri. Pada saat itulah masyarakat meyakini bahwa Hester selingkuh dengan lelaki lain hingga melahirkan anak haram.

Melihat itu, masyarakat puritan sontak marah dan menghukum Hester supaya berdiri di panggung tengah-tengah kota dengan mengenakan huruf ‘A’ merah di dadanya. Sebuah tanda untuk ‘adultery’ atau perselingkuhan yang seumur hidup harus dikenakannya.

Ini menjadi hukuman sosial bagi Hester dan anaknya akibat melakukan sebuah dosa besar, yang akan diingat sepanjang hidupnya oleh semua masyarakat. Hester dengan pasrah menerima hukumannya, berdiri tangguh dan anggun di depan banyak kerumunan orang yang menghinanya.

Sedangkan pada saat yang sama Hester rupanya melihat sosok lelaki yakni suami sahnya berdiri diantara kerumunan orang-orang yang mencela dan menghukumnya. Hester sendiri tidak pernah mau membuka mulut tentang siapakah lelaki yang berselingkuh dengannya.

Saat di dalam penjara, suami sah Hester datang berkunjung dengan nama samaran yakni Roger Chillingworth semata-mata untuk menyembunyikan identitas karena dia tidak ingin dikenal bahwa istrinya adalah seorang pezina.

Chillingworth sendiri adalah seorang ilmuwan yang berpendidikan tinggi, dia mengaku bahwa alasan dirinya tidak bisa mendatangi Hester seperti rencana adalah karena dia mengalami musibah yang mengakibatkan tubuhnya cacat.

Selain itu, tujuan Chillingworth menghampiri Hester tidak lain untuk merahasiakan identitasnya sebagai suami sah Hester. Dia juga berkata bahwa dia akan mencari tahu sendiri siapa lelaki pendosa yang berselingkuh dengan istrinya, bahkan jika Hester tak akan mengungkapkannya.

Hester menjalani hukumannya dengan tenang dan tegar, dia sudah lapang dada menerima kehidupannya dan tidak keberatan untuk menggunakan tanda merah itu di dadanya. Selang beberapa tahun Hester pun keluar dari penjara dan memilih tinggal di sudut kota terpencil yang damai dan tenang di antara para kaum puritan.

Hester tinggal bersama Pearl anaknya, yang kini telah berusia 7 tahun dengan bahagia. Dia bahkan bekerja sebagai penyulam yang cukup terkenal dengan hasil sulamannya yang indah. Tidak lupa hester menyulamkan tanda merah tersebut di bajunya sebagai tanda dosa yang pernah dilakukannya.

Namun suatu ketika pemerintah setempat berencana memisahkan Hester dengan Pearl karena menganggap dia tidak akan mampu membesarkan Pearl dengan baik. Hal ini pun memicu Hester untuk memohon bantuan Arthur Dimmesdale sang pendeta muda terkenal yang sangat di cintai kaum puritan di Boston.

Dengan segala image baik Dimmesdale mampu membuat pemerintah mengurungkan niat mereka untuk memisahkan ibu dan anak tersebut. sebagai tokoh masyarakat Dimmesdale memang terkenal sebagai pendeta yang berperilaku baik dan tutur kata yang banyak dipercaya masyarakat.

Namun terkadang beberapa gelagat aneh Dimmesdale yang sudah diperhatikan oleh Roger Chillingworth selama ini pun tercium juga. Sebagai sosok terpelajar dan ilmuwan, Chillingworth yang sudah mendekati Dimmesdale beberapa tahun terakhir dan menyamar menjadi sahabatnya.

Di sisi yang lain Dimmesdale rupanya mengalami tekanan batin yang begitu hebat atas dosa yang telah diperbuat namun tidak sanggup dia ungkapkan pada publik karena imagenya. Dimmesdale sendiri selalu mencambuk dirinya di punggung belakang untuk upaya menghukum dirinya sendiri karena melakukan dosa memalukan yakni berselingkuh dengan Hester.

Tekanan dalam hati Dimmesdale karena tidak bisa jujur dan tidak berani membela Hester membuat perilakunya semakin tampak jelas di mata Chillingworth. Suatu ketika Hester menemui Dimmesdale di hutan dan merencanakan untuk kabur bersama Pearl.

Dengan penuh keraguan dan rasa putus asa Dimmesdale menyelinap keluar di malam hari dan saat itu ia melihat sekumpulan rasi bintang yang cerah namun tampak seperti membentuk rangkaian huruf ‘A’, yang diartikannya sebagai wahyu dari Tuhan. Tanpa sepengetahuannya, pada sisi lain ada sosok Chillingworth yang menyaksikan situasi tersebut dan semakin yakin bahwa Dimmesdale adalah pria simpanan Hester.

Pada akhir cerita, rencana mereka untuk pergi rupanya gagal karena Chillingworth telah mengetahui semuanya. Masyarakat yang mengetahuinya pun marah dan menggiring Hester dan Pearl untuk ke panggung, namun disaat yang sama Dimmesdale pun ikut maju dan menunjukkan rahasia terbesar dirinya yang telah dipendam selama ini.

Sebuah tanda merah huruf ‘A’ terukir jelas di permukaan kulit tepat di dadanya. Rupanya selama ini Dimmesdale juga mengukir dadanya untuk merasakan hukuman dan rasa malu yang sama dengan Hester dan Pearl.

Kelebihan Novel The Scarlet Letter

Classics: Aksara Duka (The Scarlet Letter)tombol beli buku

Sebagai karya sastra keluaran pertengahan abad 18, novel ini memberikan pengalaman yang berbeda sehingga setelah membacanya mampu memberikan pengalaman yang baru dan berbeda. Ketika novel roman digambarkan dengan indah dan untaian kata yang sarat akan cinta, namun pada novel ini cinta dilambangkan dengan cara berbeda.

Bahwa cinta tidak hanya sekedar hal-hal indah, namun lebih dari itu tentang bagaimana mengambil resiko dan berkorban bahkan ketika hal tersebut adalah dosa. Manusia sebagai tempat salah dan dosa, digambarkan oleh penulis dengan berbagai karakter yang beragam.

Novel ini juga mengangkat isu dan kebiasaan di masyarakat yang sering masih sering terjadi. Ada berbagai simbolisasi yang di transfer dengan baik pada setiap karakter yang ada pada novel. Mulai dari pemilihan nama hingga perilaku setiap karakter merupakan perwakilan sifat manusia yang ada di masyarakat.

Bagi para penikmat sastra maupun yang masih awam akan karya serupa, The Scarlet Letter akan terasa jauh lebih mudah dicerna dan relevan bagi kita. Novel ini juga sudah dicetak ulang berkali-kali tanpa mengurangi nilai estetikanya, dan pada versi terjemahannya pun dapat dinikmati pembaca dengan mudah.

Kekurangan Novel The Scarlet Letter

Classics: Aksara Duka (The Scarlet Letter)tombol beli buku

Novel miliki Hawthorne ini memang kental akan nilai agamis dimana lebih memberatkan pada kepercayaan kaum puritan yang relevan dengan sejarah keagamaan di Amerika Serikat. Namun apabila novel keluaran abad 18 ini mungkin akan sedikit berbeda dengan pandangan akan nilai moral dan keagamaan di masa sekarang. Terlebih lagi pemahaman terhadap cara pandang dari segi agama akan sulit diterima bagi mereka yang tidak mengenal sejarahnya.

Kendati begitu, segala hal yang menyangkut dengan agama memang selalu menjadi topik yang sensitif karena adanya perbedaan manusia memandang sebuah kepercayaan. Sebagai masyarakat yang modern dan berpikiran luas, kita bisa melihat hal tersebut sebagai sebuah perjalanan dan sejarah yang mengukir masa kini dengan pola pikir yang jauh lebih objektif.

Nilai Moral Novel The Scarlet Letter

Classics: Aksara Duka (The Scarlet Letter)tombol beli buku

Novel The Scarlet Letter ini mengusung tema yang kelam dan ironis tentang bagaimana manusia memandang sebuah dosa, bagaimana penghakiman dan perasaan mereka yang dianggap dari bagian yang manusiawi.

Berdasarkan kisah tersebut, beberapa nilai kemanusiaan yang bisa diambil adalah bagaimana seseorang perlu bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya. Seperti apa yang dilakukan Hester sebagai bentuk pertanggungjawaban dari resiko atas dosa yang diambil.

Dosa yang dilakukan Hester memang salah, akan tetapi dengan menerima konsekuensi dan bertanggung jawab dengan lapang dada, setidaknya Hester mampu berdamai dengan dirinya sendiri dan hidup tenang. Dia bahkan dengan ikhlas mengenakan scarlet letter tersebut hingga akhir hayatnya yang diukir pada nisan.

Sebaliknya, Dimmesdale hadir sebagai simbolisasi dari sifat manusia yang juga memiliki rasa takut dan penyesalan karena tidak mampu berlaku sama seperti Hester. Bahkan, berbagai image baik dan pujian yang diberikan pada Dimmesdale hanya membuatnya semakin merasa bersalah.

Nilai moral lainnya dilambangkan pada masyarakat puritan yang mereka merasa berhak menghakimi Hester dan anaknya hanya karena sebuah kesalahan. Masyarakat seharusnya tidak bisa menilai dan menghakimi sesama mereka, karena rupanya orang kepercayaan mereka Dimmesdale pun mampu melakukan dosa yang sama.

Roger Chillingworth sebagai sang suami sah Hester juga menjadi sebuah simbol manusia terpelajar yang melihat situasi dengan pendekatan yang lebih ilmiah, akan tetapi dirinya sendiri juga tidak lebih dari sosok yang picik dengan tidak berani jujur dan ikut menghakimi Dimmesdale.

Baik Chillingworth maupun Dimmesdale dilambangkan oleh dua sikap yang bertolak belakang, sebab memandang dunia dengan cara ilmiah dan keagamaan. Namun sebagai sesama manusia keduanya berdiri sejajar dengan Hester sebagai penengah, karena keduanya sama-sama menginginkan cinta Hester.

Di sisi lain Hester sendiri berdiri sebagai manusia yang mampu menyetarakan logika dan sebuah kepercayaan menjadi lebih manusiawi. Dirinya adalah gambaran kemanusiaan yang paling realistis yang terkadang berdosa, memiliki rasa kemanusiaan, perasaan yang tulus, berani bertanggung jawab, tangguh dan ikhlas. Ini adalah pengecualian yang paling baik yang bisa kita lakukan.

Dari Hester Prynne penulis seolah ingin menyampaikan bahwa manusia bukanlah Tuhan, sehingga sebagai makhluk yang tidak sempurna seharusnya kita lebih memanusiakan manusia dengan tanpa saling menghakimi satu sama lain.

Classics: Aksara Duka (The Scarlet Letter)tombol beli buku

Written by Nandy

Perkenalkan saya Nandy dan saya memiliki ketertarikan dalam dunia menulis. Saya juga suka membaca buku, sehingga beberapa buku yang pernah saya baca akan direview.

Kontak media sosial Linkedin saya Nandy