Karya Pramoedya Ananta Toer yang Wajib Dibaca Selain Tetralogi Buru
“Dalam hidup kita, cuma satu yang kita punya, yaitu keberanian. Kalau tidak punya itu, lantas apa harga hidup kita ini?”
– Pramoedya Ananta Toer
Kalau kata Pramoedya Ananta Toer, menulis adalah bekerja untuk keabadian. Boleh saja kita pandai setinggi langit, tetapi kalau tidak menulis, kita akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Siapa yang setuju dengan Pram dan kutipan-kutipannya yang memotivasi? Atau, ada kah di antara kamu yang juga senang menulis karena Pramoedya Ananta Toer?
Grameds, berbicara soal Pram dan kiprahnya di dalam dunia kesusastraan Indonesia, sudah banyak sekali karya-karya magisnya yang berhasil menginspirasi banyak pihak. Karya-karyanya yang paling dikenal di antaranya adalah Tetralogi Buru, yang meliputi buku Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), Rumah Kaca (1988). Bumi Manusia pun telah diadaptasi ke layar kaca dengan judul sama pada tahun 2019.
Namun, selain Tetralogi Buru, ada banyak sekali buku yang ditulis oleh Pram dan erat kaitannya dengan perjuangan masyarakat Indonesia. Mulai dari bentuk novel sampai catatan peristiwa sejarah Indonesia, semuanya telah Gramin rangkum di dalam artikel ini! Sebelum itu, mari mengenal Pramoedya Ananta Toer lebih jauh lewat profilnya di bawah ini, yuk!
Sekilas tentang Pramoedya Ananta Toer
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang penulis novel, cerpen, esai, polemik, dan sejarah tanah air dan bangsanya. Seorang penulis yang dihormati di Barat, tulisan-tulisan Pramoedya yang blak-blakan dan sering bermuatan politik menghadapi sensor di tanah kelahirannya selama era pra-reformasi. Karena menentang kebijakan presiden pendiri Sukarno, maupun penerusnya, rezim Orde Baru Suharto, ia menghadapi hukuman di luar hukum. Selama bertahun-tahun di mana dia menderita penjara dan tahanan rumah, dia menjadi kekuatan utama bagi para pendukung kebebasan berekspresi dan hak asasi manusia.
Pram terkenal sebagai pengarang novel tahun 1940-an dengan novelnya, antara lain, Keluarga Gerilya dan Perburuan. Ia lahir di Blora, Jawa Tengah, tanggal 6 Februari 1925 dan meninggal di Jakarta 30 April 2006. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Oleh karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya.
Ada yang nanya di secretoku:
— rara 𐙚 (@bielbiey) October 26, 2024
“What is the best book you’ve ever read?”
Untill i die aku akan menjawab Bumi Manusia Pramoedya Ananta Toer. Kenapa? Romansanya bagus, konfliknya lengkap (sahabat,keluarga,negara), belajar sejarah, tiap tutur kalimat di buku ini itu rasanya indah… pic.twitter.com/EUKaajluZQ
Pramoedya Ananta Toer telah memperoleh banyak prestasi dengan total 16 penghargaan, antara lain Penghargaan Balai Pustaka (1951) dan tahun 1995 menerima Hadiah Magsaysay dari Filipina. Pengukuhan Pramoedya Ananta Toer sebagai penerima hadiah tersebut menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat pada saat itu, mengingat sejarah masa silamnya. Hal itu yang menjadi dasar Mochtar Lubis mengembalikan hadiah yang sama yang diterimanya tahun 1958. Sementara itu, Yayasan Magsaysay memberikan penghargaan kepada Pramoedya dengan alasan bahwa Pram dinilai berhasil melakukan pencerahan dengan cerita yang bernas tentang sejarah kebangkitan dan kehidupan modern masyarakat Indonesia.
Pram juga meraih penghargaan PEN International (1998), dan mendapat gelar kehormatan Doctor of Humane Letters dari Universitas Michigan tahun (1999), Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, (2000), dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia.
Buku-Buku Pramoedya di Luar Tetralogi Buru
1. Cerita dari Digul (2022)
Cerita dari Digul merupakan kumpulan tulisan karya para eka-Digulis. Mereka pernah dibuang sebagai tahanan politik semasa pemerintahan kolonial hindia-belanda. Berbagai cerita itu, yang sungguh terjadi, mengisahkan suka-duka mereka dalam mempertahankan hidup di tanah buangan Digul, Papua Barat.
Digul adalah lokasi di Papua yang ditetapkan oleh pemerintahan kolonial Hindia Belanda saat itu menjadi tempat pengasingan bagi para tahanan politik. Untuk kisah-kisah di buku ini, para tahanan adalah orang-orang yang diasosiasikan dengan pergerakan PKI, terutama pemberontakan 1926. Tentu saja tujuan diasingkan adalah untuk mencerabut mereka dari akar, peradaban, dan pengaruh.
Kehidupan di pengasingan tentu begitu rumit, melelahkan, menyakitkan, dan rawan menyebabkan putus asa. Tempat yang asing dan masih relatif "liar", keharusan bertahan hidup dengan sumber daya terbatas dan penjagaan aparat, kawasan yang sulit untuk bercocok tanam dan rawan malaria, serta perasaan asing dengan lingkungan sekitar termasuk satwa dan penduduk asli kawasan itu.
2. Mangir
Latar belakang kisah Mangir karya Pramoedya Ananta Toer ini adalah keruntuhan Majapahit pada tahun 1527, akibat dari keruntuhan Majapahit, kekuasaan tak berpusat tersebar di seluruh daerah Jawa yang menyebabkan keadaan kacau balau. Perang terus terjadi untuk merebut kekuasaan tunggal, perang tersebut tentu saja menjadikan Pulau Jawa bermandikan darah. Sehingga yang muncul di Jawa adalah daerah-daerah kecil (desa) yang berbentuk Perdikan (desa yang tidak mempunyai kewajiban membayar pajak kepada pemerintah penguasa) dan menjalankan sistem demokrasi desa, dengan penguasanya yang bergelar Ki Ageng.
Adalah Ki Ageng Pemanahan menguasai Mataram dan mendirikan Kota Gede pada 1577. Kemudian Panembahan Senapati, anak Ki Ageng Pemanahan naik menjadi Raja Mataram. Saat bersamaan muncul pula sebuah daerah Perdikan Mangir dengan pemimpinnya atau biasa disebut tua Perdikan yang bernama Ki Ageng Mangir Wanabaya seorang pemuda gagah dan berani beserta saudara angkatnya yang bernama Baru Klinting. Tak hanya berdua, Perdikan Mangir memperoleh bantuan dari beberapa orang demang yang masing-masing memiliki daerah kekuasaan pula. Demang Patalan, Demang Jodog, Demang Pandak, dan Demang Pajangan adalah orang-orang yang setia selalu membantu Wanabaya.
3. Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer merupakan catatan Pramoedya Ananta Toer tentang derita gadis-gadis Indonesia yang menjadi korban kekejaman tentara Jepang pada masa Perang Dunia Kedua di Pulau Buru serta kelanjutan nasib para Jugun Ianfu yang ditinggalkan begitu saja setelah Jepang menyerah pada tahun 1945.
Tahun 1943, Pemerintahan Pendudukan Balatentara Dai Nippon di Jawa mengeluarkan perintah kepada para remaja perempuan untuk melanjutkan sekolah di Tokyo dan Shonanto. Perintah ini tidak pernah diumumkan secara resmi juga tidak masuk dalam Osamu Serei (Lembaran Negara).
Jepang sengaja melakukannya untuk menghilangkan jejak dan para perawan remaja yang telah diberangkatkan meninggalkan kampung halaman serta keluarga mereka untuk menempuh perjalanan yang berbahaya. Bukan untuk disekolahkan, tetapi mereka dipaksa untuk memenuhi impian seks serdadu Jepang.
Baca juga: Memperingati Hari Sumpah Pemuda dan Bulan Bahasa dengan Buku-Buku Ini!
4. Seri Kronik Revolusi Indonesia
Seri Kronik Revolusi Indonesia ini di rancang untuk meliput semua peristiwa yang “menjadi berita” pada lima tahun pertama Indonesia merdeka. Merangkum peristiwa-peristiwa penting sepanjang tahun 1945-1949. Itu berarti tidak hanya peristiwa politik dan militer, tetapi juga ekonomi, hukum, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, agama, dll., yang biasa diistilahkan dengan bidang cultural universals.
Seri kronik ini terdiri dari lima jilid, meliputi tentang waktu lima tahun, masing-masing dengan ketebalan paling sedikit 500 halaman. Besarnya jumlah halaman sedikitnya memperlihatkan bahwa kronik ini lebih lengkap dan lebih melingkupi dari buku-buku kronik tentang Revolusi Indonesia lainnya. Karena itu, kronik ini diharapkan dapat menjadi acuan yang terpercaya bagi mereka yang membutuhkan. Buku ini layak dimiliki oleh para sejarawan, ilmuwan sosial, budayawan, pustakawan, mahasiswa, dan peminat sejarah pada umumnya.
Lima seri yang ditulis dalam rentang waktu lima tahun ini adalah sebagai berikut:
Kronik Revolusi Indonesia 1 (1945)
Kronik Revolusi Indonesia 2 (1946)
Kronik Revolusi Indonesia 3 (1947)
Kronik Revolusi Indonesia 4 (1948)
Kronik Revolusi Indonesia 5 (1949)
Membaca karya-karya Pramoedya adalah perjalanan mendalami sejarah, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan Indonesia. Sudahkah kamu membaca salah satu karya Pramoedya di daftar yang Gramin rangkum? Jika sudah, mana yang menjadi favorit kamu? Temukan buku-buku dari Sang Maestro Sastra Indonesia hanya di Gramedia.com, ya, Grameds!
Gak perlu berpikir dua kali, ada promo Teman Membaca Akhir Tahun yang akan kasih kamu diskon hingga 50% untuk buku-buku terbaik pilihan dan diskon hingga 70% untuk brand pilihan. Kamu juga bisa mendapatkan tambahan diskon maksimal dengan voucher tertentu. Periode promo hanya berlangsung dari 17 - 24 Desember 2024. Informasi lengkapnya ada di sini!
Jangan lupa juga, Grameds, masih ada promo Holiday Sale yang bisa kamu serbu! Dari tanggal 15 November - 31 Desember 2024, nikmati diskon untuk produk nonbuku, mulai dari mainan, hobi, lifestyle, dan stationery pilihan! Cek informasi selengkapnya dengan klik banner di bawah ini!
Header: Kompas.com
Penulis: Btari Najwa Naila