Menyelami Sejarah Kelam G30S/PKI lewat 5 Novel Best Seller Ini
Gerakan 30 September 1965 atau lebih dikenal sebagai G30S/PKI merupakan peristiwa kelam bagi sejarah bangsa Indonesia. Peristiwa yang terjadi tepat tengah malam di penghujung September pada 53 tahun silam tersebut, hingga kini masih menyisakan luka mendalam, sebab masih terkesan “abu-abu”.
Namun seperti yang dikatakan oleh Soekarno yaitu Jasmerah, “Jangan Melupakan Sejarah”, masih terasa hingga kini. Nyata adanya karena sampai saat ini, pemberontakan PKI masih terdengar dalam balutan literasi sastra modern.
Seolah kejadian itu masih nyata dalam bayangan, 5 novel best seller dari penulis muda Indonesia ini mengusung latar tragedi berdarah G30S/PKI.
Rekomendasi Novel tentang Peristiwa 1965
1. Pulang
Novel dari Leila S. Chudori ini merupakan salah satu novelnya yang lahir dengan pemberontakan G30S/PKI sebagai latarnya, hingga berpuncak pada reformasi 1998. Referensinya sungguh kaya.
Buku ini juga menautkan keindahan sastra dengan banyaknya kutipan dan referensi dari sastrawan terkenal, seperti Chairil Anwar, Lord Byron, T.S. Elliot, George Orwell, dan James Joyce. Pulang terus dicetak ulang dan masih menjadi incaran para penikmat sastra hingga saat ini.
Semua bermula dari empat sekawan mantan wartawan yang menjadi buronan akibat pada masa itu. Wartawan adalah sesuatu yang menyinggung sentimentil politik. Akibat tidak mau nasibnya serupa dengan temannya yang tertangkap dan dinyatakan tewas, mereka meninggalkan Indonesia, dan memulai hidupnya di Paris.
Namun hidup tidak selurus itu, meski penuh ketidakadilan, Indonesia ternyata memiliki hal yang akan terus dirindukan.
2. Ronggeng Dukuh Paruk
Ingat salah satu film layar lebar yang berjudul Sang Penari? Film tersebut merupakan alih wahana dari novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari yang merupakan gabungan dari tiga buku seri, yaitu Ronggeng Dukuh Paruk, Lintang Kemukus Dini Hari, dan Jantera Bianglala. Begitu melegendanya novel ini hingga diterjemahkan ke berbagai bahasa.
Dengan latar waktu tahun 1960-an, cerita rakyat Ronggeng Dukuh Paruk menyajikan kegetiran dari desa kecil yang dirundung kemiskinan. Secara jelas pola pikir dan budaya masyarakat yang dipengaruhi oleh keadaan ekonomi dan tingkat pendidikan digambarkan secara jelas.
Menceritakan sosok Srintil, seorang ronggeng baru di Dukuh Paruk. Bagi pedukuhan yang miskin, terpencil dan bersahaja ini, ronggeng membuat kehidupan kembali menggeliat. Srintil menjadi tokoh yang amat digandrungi karena cantik, menggoda, dan semua ingin menari bersamanya. Sayang, karena hal itu malah membuat Srintil harus rela menjadi objek seksualitas. Kebebasannya menjadi perempuan pun berakhir kala itu.
Peristiwa politik di tahun 1965 juga membuat dukuh ini hancur, baik secara fisik maupun mental. Mereka terbawa arus dan di cap ikut andil dalam peristiwa tersebut. Pengalaman pahit ini membuat Srintil sadar akan hakikatnya sebagai manusia. Karena itulah ia berniat memperbaiki citra dirinya.
Baca juga: Rekomendasi Novel Terbaik Berlatarkan Kisah Kelam Sejarah Indonesia
3. Cantik itu Luka
Dengan riset yang kaya dan gaya bercerita yang lengkap dengan bumbu unsur-unsur magis, Eka Kurniawan menorehkan kisah dengan latar pemberontakan 1965 dengan begitu apik.
Atas novelnya ini, Eka meraih beberapa penghargaan termasuk World Readers pada 2016. Dengan alur maju-mundur, ia begitu piawai dalam menuturkan kepahitan masa pemberontakan kala itu.
Lewat novel ini, Eka mengisahkan nasib anak-anak manusia yang telah menjadi korban kekuasaan dan kutukan karma. Tentang seorang perempuan cantik keturunan Belanda bernama Dewi Ayu, yang menjadi korban kekejaman perang dan perebutan kekuasaan. Eka berusaha mengajak pembaca untuk menertawakan kesatiran dari kemalangan yang bertubi-tubi di masa itu.
Dewi Ayu terpaksa harus bekerja memuaskan nafsu para tentara Jepang. Didesak juga oleh keadaan ia sebagai seorang tahanan, karena seorang turunan Indo-Belanda. Hal tersebut membuatnya melahirkan tiga putri yang tak kalah cantik namun tidak diketahui siapa dan yang mana ayahnya.
Melihat anaknya yang selalu digoda lelaki pun membuatnya kesal, dan kecantikan bisa membawa akibat buruk bagi anak-anaknya. Saat mengandung anak keempat, ia malah berdoa agar anaknya memiliki paras yang buruk atau jelek.
Melintas berbagai masa di Indonesia, cerita dalam novel ini menguak kutukan dan tragedi keluarga dibalut roman, kisah hantu, kekejaman politik, mitologi, dan petualangan.
4. Amba
Mengalir dari persoalan cinta, Amba sesungguhnya akan membawamu kepada persoalan politik berlatarkan 1965. Novel ini dikisahkan begitu padat dan kompleks oleh seorang Laksmi Pamuntjak.
Dari tangannya, novel ini telah mendunia, ia bahkan mendapat penghargaan sebagai Keynote Speaker dalam festival bergengsi di Jerman. Mulanya novel ini diterbitkan di tahun 2012 dalam bahasa Inggris, dengan judul The Question of Red, barulah kemudian terbit dalam versi bahasa Indonesia.
Amba merupakan kisah tragedi yang disampaikan melalui kisah cinta, dari Amba dan Bhisma di hari-hari mencekam pada bulan September 1965, yang dipaksa harus berpisah karena situasi politik. Di mana hingga satu juta orang yang dituduh sebagai Komunis di Indonesia dibantai. Kamu akan melihat gambaran kehidupan tahanan yang diasingkan di Pulau Buru.
Laksmi mengajak kita memahami yang sebenarnya terjadi, dari sudut pandang mereka yang tidak sepenuhnya mengerti bahwa Pulau Buru mungkin adalah saksi bisu mereka yang diburu.
5. Gadis Kretek
Buku dari Ratih Kumala ini juga mengusung tema PKI dengan gaya penyampaian yang lebih ringan bila dibandingkan dengan novel lainnya di atas. Selain dilatari kisah cinta dari Gadis Kretek, adu sikut para pengusaha kretek juga turut mewarnai rangkaian peristiwa pasca G30S ini. Masa di mana partai Komunis dan semua jaringan di dalamnya ditangkap, ditembak, dan dibuang tanpa ampun.
Diiringi Soeraja, pembaca akan diajak melihat kembali bahwa seorang yang buta politik pun dapat menjadi korban keganasan penduduk, dan aparat yang tidak terima dengan PKI. Selain itu, kamu juga akan dibawa berkenalan dengan perkembangan industri kretek di Indonesia.
6. Kubah
Tidak mudah bagi seorang lelaki mendapatkan kembali tempatnya di masyarakat setelah dua belas tahun tinggal dalam pengasingan di Pulau Buru. Apalagi hati masyarakat memang pernah dilukainya. Karman, lelaki itu, juga telah kehilangan orang-orang yang dulu selalu hadir dalam jiwanya. Istrinya telah menikah dengan lelaki lain, anaknya ada yang meninggal, dan yang tersisa tidak lagi begitu mengenalnya.
Karman memikul dosa sejarah yang amat berat dan dia hampir tak sanggup menanggungnya. Namun di tengah kehidupan yang hampir tertutup baginya, Karman masih bisa menemukan seberkas sinar kasih sayang. Dia dipercayai oleh Pak Haji, orang terkemuka di desanya yang pernah dikhianatinya karena dia sendiri berpaling dari Tuhan, untuk membangun kubah masjid di desa itu. Karman merasakan menemukan dirinya kembali, menemukan martabat hidupnya.
7. Entrok
Marni dan Rahayu, dua orang yang terikat darah namun menjadi orang asing bagi satu sama lain selama bertahun-tahun. Bagi Marni, Rahayu adalah manusia tak punya jiwa. Bagi Rahayu, Marni adalah pendosa. Keduanya hidup dalam pemikiran masing-masing tanpa pernah ada titik temu.
Lalu bunyi sepatu-sepatu tinggi itu, yang senantiasa mengganggu dan merusak jiwa. Mereka menjadi penguasa masa, yang memainkan kuasa sesuai keinginan. Mengubah warna langit dan sawah menjadi merah, mengubah darah menjadi kuning. Senapan teracung di mana-mana.
8. Namaku Alam
Meski tidak sepenuhnya berfokus pada Peristiwa 1965, spin-off dari buku Pulang karya Leila S. Chudori ini merupakan kisah perjalanan hidup Segara Alam, anak dari seorang simpatisan PKI, yang sepanjang hidupnya mengalami imbas dari 'dosa' sang ayah. Segara Alam ditempa oleh setiap luka yang ia derita dari usianya tiga, hingga membentuknya menjadi seorang pemuda yang penuh prasangka.
Baca juga: Menguak Kebenaran Sejarah G30S/PKI dari Buku Ini
Hingga kini, perihal PKI masih selalu menarik untuk dibicarakan. Berkenalan kembali dengan sejarah tidak lagi membosankan karena novel-novel di atas siap menjadi mesin waktu, yang membawamu kembali kepada suasana menegangkan, di mana tumpah darah sungguh masih terjadi. Bahkan setelah Indonesia telah merdeka sekali pun.
Tertarik untuk mengenali sejarah Indonesia dengan cara yang lebih menyenangkan? Cek langsung buku-bukunya di Gramedia.com!
Mau tahu promo yang sedang berlangsung di Gramedia.com? Diskon menarik, special price, harga spesial pre-order, dan penawaran spesial lainnya? Coba tengok di bawah ini ya!
Penulis: Meutia Ersa Anindita, Puteri C. Anasta