Mengenal Goenawan Mohamad Lewat 6 Karya Seninya
Seni atau kesenian secara garis besar terdiri atas empat jenis, yaitu seni rupa yang mencakup seni lukis hingga patung, seni suara seperti musik, seni sastra mulai dari cerpen hingga novel, dan seni pertunjukan, contohnya teater.
Penghasil karya seni disebut seniman. Sebutan seniman yang lengkap pun layak disematkan pada Goenawan Mohamad.
GM, demikian ia biasa disapa, tak hanya dikenal sebagai wartawan salah satu pendiri majalah Tempo. Setelah tak lagi aktif mengurusi Tempo, ia justru kian aktif berkesenian. Ia kini tak sekadar penyair penggubah ratusan puisi, atau esais yang saban minggu menulis Catatan Pinggir.
GM juga seorang pelukis, penulis naskah teater sekaligus sutradaranya, dan terakhir ia layak menyandang sebutan novelis menyusul terbitnya novel perdananya, Surti + Tiga Sawunggaling.
Nah, kini saatnya kamu berkenalan dengan karya seni dari pria kelahiran 29 Juli 1941 di Batang, Jawa Tengah ini. Berikut 6 jenis karya seni yang terlahir dari tangan seorang Goenawan Mohamad.
Esai
“Catatan Pinggir” di Tempo merupakan rubrik tetap terpanjang yang ditulis oleh satu orang di sebuah majalah hingga layak masuk rekor dunia Guinness. Rubrik itu hadir sejak 1976 dan terus ada hingga kini, ditulis Goenawan Mohamad seorang. Tulisan di rubrik yang akrab disebut “Caping” itu sudah dibukukan dalam 12 jilid.
Namun GM tak hanya menulis esai pendek di “Caping”. Ia telah menghasilkan banyak esai panjang yang juga telah berkali-kali dikumpulkan dalam buku sejak awal 1970-an. Esai-esai panjang GM antara lain dibukukan dalam Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972), Seks, Sastra, Kita (1980), Eksotopi (2002), dan Marxisme, Seni, Pembebasan (2011).
Buku esai terakhirnya, Si Mejenun dan Sayid Hamid, mengupas novel Don Quixote yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama sejak Maret 2018 lalu.
Puisi
Ketika Ayu Utami dan Sitok Srengenge mengumpulkan puisi lengkap Goenawan Mohamad, karya terdininya yang dapat ditemukan berasal dari tahun 1961, ketika usianya 20 tahun. GM sendiri ingat, ia menerjemahkan puisi Emily Dickinson ketika SMA dan dimuat Harian Abadi.
Telah ratusan sajak ia hasilkan sejak itu. Sajak-sajaknya dikumpulkan dalam Parikesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001), Don Quixote (2011), Tujuh Puluh Puisi (2011), dan Fragmen, Sajak-Sajak Baru (2017). Kamu sudah punya buku puisinya yang mana?
Seni Pertunjukan Teater dan Wayang
Goenawan Mohamad juga aktif di seni pertunjukan. Bersama komponis Tony Prabowo ia menghasilkan tiga buah opera. Dua di antaranya ditampilkan dalam bahasa Inggris.
Kali dikerjakan pada 1996 lalu direvisi tahun 2003. Naskahnya dipentaskan di Seattle, Amerika Serikat tahun 2001, dan Jakarta pada 2001.
Lalu The King’s Witch (1997-2000) dipentaskan di New York, Amerika Serikat tahun 1999, dan Jakarta pada 2006. Tahun 2010 dan 2011, bersama Tony ia mementaskan Tan Malaka, sebuah “opera-esai”.
Lakon lain yang ditulisnya adalah Visa (dipentaskan 2008), Surti dan Tiga Sawunggaling (2010), Surat-Surat tentang Karna (2011), Gundala Gawat (2013), dan Amangkurat, Amangkurat (2017).
Ia juga menulis teks untuk pertujukan wayang kulit yang dipentaskan Sujiwo Tejo, Wisanggeni pada 1995 dan Alap-Alap Surtikanti yang dipentaskan dalang Slamet Gundono pada 2002.
Seni Tari
Tidak hanya teater dan wayang, GM juga menulis teks dan tembang Jawa untuk tari Panji Sepuh, yang pertama dipentaskan tahun 1994 serta menggarap tari klasik Mangkunegaran, Dirodometo (2009).
Tempo memuji sendra tari GM. Dikatakan pada Dirodometa Goenawan mencoba mengembalikan esensi tari, yaitu gerak!
Jauh dari rayuan visual, GM ingin para penari menjelma bak roh orang yang gugur. Selaras dari tulisannya dalam katalog pertunjukan, "Inilah pentas sebuah ruang minimalis."
Seni Lukis
"Saya menggambar sudah sejak kecil. Sebenarnya, saya lebih sreg menggambar dibandingkan menulis," ujar Goenawan Mohamad saat membuka pameran tunggal lukisan-lukisan karyanya bulan Mei lalu.
Sebanyak 31 pilihan karya lukis GM dipamerkan dalam "The Solo Exhibition of Goenawan Mohamad" bertajuk Warna, yang berlangsung 30 Mei-20 Juni 2018 di Plaza Senayan, Jakarta.
Tahun sebelumnya, di Yogyakarta, ia memamerkan sketsa-sketsanya yang mengawinkan seni lukis dan tulisan.
Novel
Setelah sekian banyak novel ia bahas di esai-esainya, Goenawan Mohamad akhirnya menulis novelnya sendiri berjudul Surti + Tiga Sawunggaling. Novel yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama sejak September silam itu aslinya diadaptasi dari naskah dramanya.
Latar novel kecil ini berlangsung di sebuah kota fiktif di Pantai Utara Jawa Tengah, Juli 1947, saat Belanda melancarkan agresi militer pertama, dua tahun setelah Indonesia merdeka.
Novel ini berkisah tentang Surti yang menanti kepulangan suaminya, seorang gerilyawan. Kalau kamu pecinta sastra Indonesia, kamu wajib baca novel perdana dari sastrawan senior yang juga seniman paling lengkap ini.
Kamu bisa memesannya secara online di Gramedia.com, toko buku online terbesar di Indonesia.
Header image source: Salihara.org