Terpukau Lihat Pekuburan Tua, Sitor Situmorang Lahirkan Sajak “Malam Lebaran”
Salah satu sajak paling terkenal karya Sitor Situmorang adalah "Malam Lebaran" yang terdapat dalam buku Dalam Sajak (1955). Penyebab ia bisa terkenal tak tunggal, tapi yang paling sering dibicarakan lantaran sajak tersebut hanya terdiri dari empat kata saja.
"Bulan di atas kuburan"
Pujangga terkenal Indonesia ini mengakui, "Malam Lebaran" adalah sajaknya yang terpendek. Akan tetapi, proses lahirnya sajak itu tidaklah pendek. Ia juga tercipta karena Sitor mengalami satu peristiwa yang tak disangka-sangka malah memicu datangnya ilham. Dalam buku Proses Kreatif: Mengapa dan Bagaimana Saya Mengarang Jilid 1 (2009), Sitor menguraikannya.
Peristiwa tersebut terjadi beberapa hari setelah Hari Raya Idulfitri pada 1954. Suatu sore, Sitor pergi ke rumah Pramoedya Ananta Toer untuk halalbihalal. "Apa lacur, rumah (gubuk)-nya di daerah Kober sepi orang dan hari sudah malam ketika saya sampai. Kecewa amat rasanya!" ia bercerita.
Sitor lalu berjalan pulang dari perkampungan di Kober yang selokan-selokannya mampet dan berbau busuk itu. Namun, ia malah tersasar ke suatu tempat yang dikelilingi rerimbunan pohon-pohon tua dan tembok. Ia mendongak ke langit malam, ada bulan di sana. Saat itu, Sitor dilanda rasa penasaran ingin tahu ada apa gerangan di balik tembok. Lalu, di atas seonggok batu di kaki tembok, ia berdiri berjingkat dan melongok.
Ternyata di balik tembok itu ada areal pekuburan tua yang berisi berbagai bentuk nisan berwarna putih dengan tanda salib. Sinar bulan menimpa pekuburan itu lewat sela-sela bayangan dedaunan pepohonan.
"Saya terpesona, sejenak saja, mungkin hanya beberapa detik, mengamati tamasya itu! Bahkan terpukau seperti tersihir. Saya lalu berpaling, turun dari onggokan batu. Rasa kecewa kini diharu biru oleh kesan," ujar penyair kelahiran 2 Oktober 1924 di Harianboho, Sumatera Utara ini.
Kesan itu terumus dalam kata-kata secara spontan dan terekam di ingatannya. Kata-kata berbunyi "bulan di atas kuburan" terucap terus dalam hati dan ingatan. Kata-kata itu tidak lenyap sekalipun sempat melemah karena Sitor kemudian mendekati jalan raya yang riuh. Di tengah bunyi kesibukan seperti itu, ia merasa terasing. Ia kemudian menyetop oplet untuk menuju pulang ke rumahnya.
"Pulang? Tujuan rutin, ke rumah sendiri, terasa hilang arti. Bulan itu, kuburan itu. Kematian, sedang di atas dan di sekelilingnya: dunia, ya, jagat yang berjalan dan beredar terus, di hari baik, di bulan baik orang percaya!" tulis Sitor, yang pernah diganjar Hadiah Sastra Nasional BMKN berkat buku kumpulan cerpennya, Pertempuran dan Salju di Paris (1956).
Terciptanya sajak "Malam Lebaran", menurut Sitor, tak bisa dilepaskan dari iklim tertentu, yakni situasi dan kondisi budaya. Penulis sajak lantas bertugas mencerap dan mengolah apa yang diperoleh dari iklim itu. Ia mencerap segala rupa dan jenis kesan sesuai kepekaan budaya manusia. Karenanya, lanjut Sitor, penyair berfungsi sebagai medium lalu memberinya bentuk, yaitu sastra.
Penulisan sajak dilakukan seseorang dalam iklim budaya dan sastra. Penyair bukan membuat sesuatu dari yang tiada. "Sajak adalah jadi-jadian, lewat kemampuan menggunakan segala faktor budaya yang dicerap, dimiliki, dan dibina oleh si penyair," ungkap peraih Hadiah Sastra Pusat Bahasa dan Sea Write Award 2006 ini.
Sajak juga dikembangkan dari sesuatu ide oleh penyair dengan bahasanya sendiri dan dituangkan dalam perlambang lingkungannya sendiri. Sebab, supaya dapat diungkapkan dan dikomunikasikan, ide harus tertuang dalam bahasa.
Kata Sitor, "'Malam Lebaran' mengandung berbagai ide, yang lantas bermula pada peristiwa di pekuburan itu, bertumbuh menjadi ilham sajak pendek."
Sumber foto header: Berdikari Online