(REVIEW BUKU) Fiersa Besari Melompat dari Zona Nyaman Lewat 11:11
Fiersa Besari melesat cepat menjadi salah satu penulis yang bukunya selalu laris. Hanya dalam waktu dua tahun ia telah melahirkan lima buku. Semuanya laris. Yang teranyar 11:11 (dibaca sebelas:sebelas), sebelumnya ia telah menulis Garis Waktu, Catatan Juang, Arah Langkah, dan Konspirasi Alam Semesta.
Jarang ada penulis yang begitu produktif dan di saat bersamaan buku yang lahir dari tangannya selalu laris. Itu artinya, ia sudah punya basis penggemar fanatik dan mereka menanti setiap karyanya.
Pertanyaannya kemudian, apa yang membuat karya Fiersa begitu disukai? Yang utama dahulu, Fiersa Besari membuat kita percaya bahasa Indonesia yang baik dan benar masih punya kekuatan untuk berlaga di era milenial.
Buku-bukunya tak lain adalah perayaan terhadap bahasa Indonesia. Pria yang akrab disapa Bung ini tak ikut tren menulis dengan bahasa percakapan ala orang Jakarta maupun menggado-gado bahasa Indonesia campur Inggris.
Ia tampak melawan itu dengan menyuguhkan percakapan para tokohnya dengan bahasa baku. Lantas, ia juga membuktikan bahasa baku tetap asyik dibaca. Tidak menambahi bahasa Inggris tak membuat karya seseorang jadi murahan ataupun tampak ketinggalan zaman.
Di sini kita patut bersyukur negeri ini masih punya sastrawan generasi muda yang peduli pada penggunaan bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Konsistensi menggunakan bahasa Indonesia baku satu hal, namun apa artinya bila bahasa yang digunakan bertutur itu tak mampu memikat pembaca. Di sini kita bertemu dengan kepiawaian si Bung yang lain, yaitu merangkai kata-kata biasa jadi luar biasa.
Fiersa seorang pengelana kata yang dijamin bakal bikin pembacanya terbawa perasaan alias baper. Buku-bukunya selalu berisi kalimat yang pas dikutip untuk di media sosial. Puitis tapi masih menjejak bumi. Romantis tapi tak murahan.
Satu lagi, si Bung ini begitu multitalenta. Sebagai penulis dan musisi, ia mengawinkan musik dengan sastra. Maka, membeli bukunya kita mendapat dua karya seni sekaligus.
Tidak banyak seniman kita yang model begini. Untuk menyebut nama ada Dewi Lestari alias Dee, si penulis Supernova hingga Aroma Karsa yang juga mantan personil group vokal RSD.
Dari sini kita beranjak ke 11:11, buku teranyar si Bung. Untuk seseorang yang menulis lima buku dalam dua tahun, risiko mengulang cerita-cerita bernada serupa tapi tak sama amat besar.
Di empat buku terdahulu, selain predikat si pengelana kata, Fiersa Besari telah meneguhkan diri sebagai petualang alias traveler.
Buku karyanya banyak bercerita tentang tokoh yang mencintai alam. Buku-bukunya tak melulu berisi kisah cinta laki-laki dan perempuan, tapi juga ajakan untuk mencinta Ibu Pertiwi yang indah ini.
Sebelas cerita, Sebelas lagu
Pertanyaan berikutnya adalah, di buku 11:11 apakah kita masih bertemu Fiersa yang sama seperti buku-bukunya terdahulu?
Pilihan paling aman tentu membuat buku serupa tapi tak sama. Ibarat musik, mirip album baru rasa lama. Namun, si Bung enggan melakukan itu. Buku 11:11 berisi sebelas cerita dan sebelas lagu. Setiap cerita punya lagu yang ibarat film adalah soundtrack pengiringnya. Pilihan judul 11:11 ini karena setiap cerita punya tema yang berbeda.
Buku ini sejatinya adalah kumpulan cerita pendek. Namun, bila pengarang lain menulis cerpen berbagai tema di koran untuk beberapa lama lalu dikumpulkan dalam buku, Fiersa kelihatannya menulis simultan satu per satu cerita serta lagunya dan membukukannya sekaligus.
Di 11:11 si Bung melompat dari zona nyamannya. Ia mengeksplorasi lebih jauh, menawarkan cerita yang tak lagi terbatas pada kisah di bumi atau kisah para manusia. Di 11:11 fantasinya melanglang buana hingga jauh ke alam lain dan merasuk ke sanubari makhluk lain.
Simak misalnya cerita “Acak Corak”. Kita diajak bertemu pria yang dikatakan “sang pengilham bagi para pencuri dan pembunuh”.
Meski tak disebut sepanjang cerita kita tahu pria itu adalah iblis yang tengah gundah lantaran tugasnya merayu manusia berbuat jahat telah diambil alih oleh manusia sendiri.
“Tugasku menjauhkan mereka dari mengingat-Nya. Jika itu mereka lakukan sendiri dengan sadar, lalu apa yang harus aku lakukan sekarang?”
Atau cerita “Samar” yang mengajak kita ke dunia khayangan. Jangan bayangkan khayangan seperti di cerita wayang. Khayangan versi si Bung berisi tempat bernama-nama aneh seperti Xoxoauhco yang berisi danau cokelat atau Nanatzcayan yang berisi sebuah restoran.
Bukan melulu cerita cinta
Di punggung bukunya memang terdapat petikan kalimat yang mengundang penasaran pembaca,
“Orang bilang jodoh takkan kemana. Aku rasa mereka keliru. Jodoh akan kemana-mana terlebih dahulu sebelum akhirnya menetap. Ketika waktunya telah tiba, ketika segala rasa sudah tidak bisa lagi dilawan, yang bisa kita lakukan hanyalah merangkul tanpa perlu banyak kompromi."
Kalimat itu bisa mengecoh kamu kalau yang kamu harap adalah buku yang melulu tentang cerita cinta laki-laki dengan perempuan.
Kalimat di punggung buku itu sebenarnya hanya petikan dari cerita pertama berjudul “Ainy” yang kisahnya memang tentang bertemu jodoh setelah kemana-mana dahulu.
Kebanyakan cerita di buku ini memang bertema cinta. Tapi cinta dalam arti yang lebih luas. Ada kisah tentang cinta ayah pada anak, kisah cinta masa lalu yang tak lekang dimakan zaman, hingga kisah cinta antara narapidana hukuman mati dengan pria yang dikenalnya lewat surat-menyurat.
Semua cerita itu diiringi lagu-lagu yang pas sebagai pengiringnya. Maka, cara terbaik menikmati buku yang dijamin sekali lahap langsung habis ini yaitu sambil mendengarkan musiknya.
Setiap cerita berakhir, putar lagunya dengan mata terpejam. Percaya deh, fantasi kamu akan melanglang jauh terbawa buaian kata-kata Fiersa Besari.
Silakan dicoba. Dan dapatkan buku 11:11 hanya di Gramedia.