(REVIEW BUKU) Heavier than Heaven: Kehidupan Kurt Cobain yang Ditulis bak Novel
Selasa, 5 April 1994, Kurt Cobain terbangun di tempat tidur rumahnya menjelang terang tanah. Dia mengenakan kaus bergambar Half Japanese (band punk dari Baltimore), dan celana jins Levi’s, dan sepatu Converse.
Sambil duduk di ujung tempat tidur, Cobain menulis surat terakhir untuk Courtney Love, istrinya. Dia telah mempersiapkan segalanya, seperti sudah direncanakan secara matang jauh-jauh hari.
“Dia mengambil senapannya yang berat, meletakkannya sedemikian rupa menghadap langit-langit mulutnya. Ini akan sangat keras; dia yakin itu. Kemudian dia pergi,”
Demikian Charles R. Cross menutup kronik hidup pentolan Nirvana, Kurt Cobain dalam Heavier than Heaven (Kepustakaan Populer Gramedia, 2018, terjemahan).
Pada bagian ini, Cross menggambarkan detik-detik mencekam yang dilalui Cobain secara begitu detail, bahkan menghabiskan delapan halaman untuk mengajak pembaca membayangkan suasana saat itu.
Ditulis layaknya novel
Penggambaran demikian detail biasanya hanya kita dapatkan dalam novel. Namun, ini bukanlah fiksi, melainkan kisah nyata. Cross menghabiskan waktu 4 tahun dan 400-an wawancara untuk mendapatkan gambaran paling utuh sosok Kurt Cobain.
Dia meneliti begitu banyak dokumen di dalam lemari arsip dan ratusan rekaman lagu, serta menempuh berkilo-kilometer perjalanan bolak-balik antara Seattle dan Aberdeen, kota kelahiran Cobain.
Fakta-fakta yang dia kumpulkan itu kemudian disusun rapi hingga menjadi cerita yang hidup layaknya novel. Yang tersaji di dalam Heavier than Heaven bukan sekadar kisah hidup subjek yang secara kronologis menceritakan kelahiran, tumbuh dewasa, hingga ajal menjemput.
Lebih dari itu, Cross mengajak pembaca larut dalam naik turunnya emosi dan pergulatan hidup Cobain. Dalam hal ini, sang penulis tampaknya tahu apa yang ada di belakang kepala subjeknya. Cobain seolah-olah menjadi tokoh utama sebuah novel yang kisahnya dikendalikan oleh Cross.
Cross bahkan telah memilah fakta, kebohongan, dan rumor. Dia tidak mau kita sibuk mengurusi kontroversi dan berbagai versi cerita, termasuk yang datang dari mulut Cobain sendiri: membeli gitar pertama usai menjual senapan pacar ibunya maupun sempat tidur di kolong jembatan, misalnya.
Dua cerita itu pun Cross uji kebenarannya. Dia lalu menentukan kisah-kisah tersahih berdasarkan fakta yang didapatkan di lapangan. Pilihannya itulah yang kemudian kita baca dengan begitu hidup dalam buku biografi ini.
Menjawab tuduhan hoaks
Lantaran penggambaran yang kelewat detail itu, edisi pertama Heavier than Heaven (Hyperion, 2001) malah dituduh menyebarkan hoaks. Cross mengatakan, salah satu reaksi publik usai bukunya terbit, ia dituding mereka-reka momen terakhir hidup Kurt Cobain.
Cross pun membantah tudingan itu dalam kata pengantar baru untuk edisi 2014 (yang diterbitkan KPG merupakan edisi 2014—red.). Dia menyatakan bahwa semua fakta telah diperiksa sebelum mulai menyusun biografi tersebut, termasuk membaca laporan investigasi pihak kepolisian.
Pada kata pengantar edisi 2014—andai bukunya ditulis ulang—Cross mengungkapkan bahwa ia akan memulai biografi ini dengan membeberkan momen ketika mendapatkan dokumen pribadi milik Kurt Cobain dan Courtney Love yang disimpan di lemari usai sang musisi tewas dan baru dibuka ketika hendak diteliti.
Tudingan lain, Heavier than Heaven disebut sebagai biografi yang direstui Love. Indikasinya, buku ini tidak menyinggung desas-desus yang menyebut Cobain tidak melakukan bunuh diri, melainkan dibunuh dan Love adalah dalangnya.
Cross membantah bahwa bukunya direstui pihak mana pun. Malahan, Love tidak menyukai beberapa hal tertentu yang disuguhkan dalam Heavier than Heaven. Di kesempatan lain, dalam majalah musik Q terbitan Inggris, edisi khusus 50 tahun rock ‘n roll (1954–2004), Cross mengesampingkan teori konspirasi kematian Cobain.
Setelah menghabiskan 4 tahun untuk meneliti setiap sisi kehidupan Cobain, dia mengatakan, “Jika ada sebuah bukti yang bisa meragukan perihal kematiannya, saya pasti orang yang pertama menuliskan dan memegang teguh fakta itu.”
Faktanya pula, seperti dimuat biografi tersebut, Kurt Cobain bukan sekali itu mencoba bunuh diri. Pada 1992, usai mencatatkan rekor sebagai band grunge pertama yang tampil di siaran langsung televisi nasional dan mendepak Michael Jackson dari puncak tangga lagu Billboard, Cobain mencoba mengakhiri hidupnya dengan cara mengonsumsi obat-obatan melebihi dosis aman; dia mengalami overdosis. Beruntung, Courtney Love berhasil menyelamatkan nyawanya.
Beberapa minggu sebelum tewas, awal Maret 1994, Cobain melakukan hal serupa saat tur konser di Roma, Italia. Dia sempat koma selama 20 jam dan dirawat selama 3 hari di rumah sakit di Roma.
Sisa jadwal tur Nirvana di Eropa pun dibatalkan. Cobain setuju masuk pusat rehabilitasi, tetapi kabur dan akhirnya ditemukan tewas oleh tukang listrik di rumahnya.
Klimaks hidup musisi yang kerap disebut sebagai juru bicara Generasi X ini berhulu pada masa kecilnya yang suram, keluarga yang berantakan, serta kecanduan obat-obatan sejak remaja.
Selain itu, Cobain mewarisi “gen bunuh diri”. Dia memilih jalan yang diambil kakek buyut dan dua pamannya. Dia juga bergabung dengan kumpulan elite “Club 27” bersama Jimi Hendrix, Janis Joplin, dan Jim Morrison, yang semuanya tewas secara tidak wajar pada usia 27 tahun.
Kendati demikian, teori konspirasi soal pembunuhan Cobain hingga kini masih banyak dipercaya. Dunia maya kian memperpanjang daur hidup cerita itu. Banyak penggemar Nirvana tidak bisa menerima idola mereka mengakhiri hidup dengan cara tragis.
Namun, seperti dikatakan Cross dalam majalah Q, “segala perilaku yang berujung pada akhir hidup Kurt—penggunaan narkoba, mengisolasi diri, dan bunuh diri—akhirnya hanya bisa disalahkan pada satu orang, dan sedihnya orang itu adalah Kurt Cobain”.
Kisah Kurt Cobain selengkapnya dapat kamu temukan dalam buku Heavier than Heaven. Segera dapatkan bukunya hanya di Gramedia.com.
Header image source: The Edge