(REVIEW BUKU) Orang-Orang Biasa: Cerita Para Pecundang yang Tak Biasa
Andrea Hirata berhasil menginspirasi jutaan orang lewat karya perdananya yang edar akhir 2005, Laskar Pelangi. Bagaimana dengan karyanya yang ke-10, Orang-orang Biasa?
Menarik memulai ulasan Orang-orang Biasa dengan menyimak bukunya menghabiskan 30 halaman lebih puja-puji untuk Laskar Pelangi dari seluruh dunia. Sebetulnya semua edisi baru novel-novel Andrea Hirata memuat prestasi internasional Laskar Pelangi.
Selain dua yang sudah disebut, Andrea telah menulis tiga novel lanjutan Laskar Pelangi, serta beberapa karya lain seperti Padang Bulan, Ayah, dan Sirkus Pohon. Punggung buku-buku Andrea lebih banyak memuat kiprah sang penulis alih-alih bicara soal isi bukunya sendiri. Tapi tak ada lembar puja-puji sebanyak di Orang-orang Biasa.
Berdasar info di sana, Laskar Pelangi telah terbit dalam berbagai edisi, tidak hanya bahasa Inggris atau edisi Malaysia, namun juga Jerman, China, Arab, Jepang, Italia, Bulgaria dan banyak lagi. Novelnya juga dapat pujian media besar seperti The Economist, Der Spiegel, Sydney Morning Herald hingga The Guardian. Banyak juga testimoni dari pembaca seluruh dunia yang begitu terinspirasi oleh Laskar Pelangi.
Segala puja-puji itu untuk apa? Sekadar membuktikan Andrea telah go international? Bisa jadi itu tujuan utama dari penerbitnya. Tapi kesan lain yang hendak disampaikan: Orang-orang Biasa punya kemiripan dengan Laskar Pelangi. Di cover buku pun ada endorsement dalam bahasa Inggris yang intinya mengatakan Orang-orang Biasa ditakdirkan jadi international best seller seperti Laskar Pelangi.
Namun benar kata pepatah, jangan menilai buku dari sampulnya. Atau dalam kasus Orang-orang Biasa: jangan mengira karena banyak bicara soal Laskar Pelangi di sampul, punggung buku dan halaman isi bagian belakang, kedua novel ini serupa. Kalau kamu mengira demikian, berarti kamu berhasil dikecoh penerbitnya.
Beda Laskar Pelangi dengan Orang-orang Biasa
Orang-orang Biasa justru kebalikan dari Laskar Pelangi. Untuk tahu dua novel ini berkebalikan kamu perlu diingatkan sedikit tentang cerita Laskar Pelangi. Tema besar Laskar Pelangi adalah from zero to hero, bagaimana orang kecil yang miskin dan bukan siapa-siapa pada akhirnya bisa meraih kesuksesan hidup. Jalannya lewat pendidikan.
Yang sudah baca tentu tahu Laskar Pelangi bercerita tentang Ikal dan kawan-kawannya, murid SD Muhammadiyah di Belitung. Hidup mereka miskin akut. Namun kemiskinan tak membuat mereka putus asa. Mereka justru memanggang asa untuk mengubah nasib keluar dari jerat kemiskinan. Ikal, misalnya, berhasil mewujudkan mimpinya kuliah di Universitas Sorbonne, Prancis. Selain Ikal, kita juga bertemu dengan Lintang, bocah jenius yang mampu membenamkan murid-murid kaya dari SD PN Timah di lomba cerdas cermat.
Ada pula Mahar, bocah kreatif dan berjiwa seni. Pendek kata, di Laskar Pelangi kita bersua dengan intan-intan yang menyembul dari bebatuan hitam kemiskinan. Orang-orang Biasa tak memiliki intan-intan semacam Ikal, Lintang atau Mahar. Yang dipunya justru arang-arang hitam, mereka yang dipermainkan nasib: jadi orang miskin sekaligus bodoh. Lewat novel antitesa ini, sang penulis, Andrea Hirata, seolah hendak bilang apa yang diceritakannya di Laskar Pelangi sebuah anomali.
Memang bisa saja ada manusia-manusia cerdas di tengah kemiskinan, tapi jumlahnya minim. Kebanyakan orang miskin terus hidup miskin hingga dipanggil Tuhan. Yang diceritakan di Laskar Pelangi adalah orang-orang istimewa, sedang di novel teranyarnya tentang orang miskin kebanyakan alias orang biasa.
Hanya Manusia Biasa?
Namun yang jadi tanya berikut, benarkah manusia-manusia di Orang-orang Biasa hanya manusia kebanyakan? Di novelnya kita bertemu sepuluh sekawan yang bernasib sial sejak kecil. Mereka murid-murid terbodoh di kelas sekaligus datang dari keluarga miskin. Lantaran bodoh dan miskin, mereka jadi sasaran empuk penindasan.
Di novel ini para pem-bully itu adalah Trio Bastardin dan Duo Boron. Nasib buruk itu berlangsung hingga mereka dewasa. Mereka tak bisa keluar dari lingkaran kemiskinan seperti sekawan di Laskar Pelangi. Ada yang jadi orangtua tunggal, membesarkan anak-anaknya sambil berjualan mainan. Ada yang menjadi supir dan pegawai rendahan. Ada yang membuka kios buku tapi sepi pembeli. Ada yang menjadi guru honorer bergaji kecil tapi punya banyak anak.
Ada yang berganti pekerjaan karena berbuat onar terus dan hobi dandan lalu selfie. Ada yang tak punya pendirian. Dan yang paling ajaib, ada yang mengklaim jadi motivator walau belum sekalipun ada yang mengundangnya jadi pembicara. Kalau cuma bicara tentang kesialan nasib orang miskin apa istimewanya?
Di sini Andrea sebagai pencerita menunjukkan kepiawaiannya. Dengan sudut pandang (point of view) yang serba maha tahu ia berkisah inti cerita Orang-orang Biasa adalah rencana perampokan bank. Alkisah, Dinah, salah satu dari sepuluh sekawan, punya anak perempuan yang diterima masuk perguruan tinggi fakultas kedokteran. Kita tahu biaya kuliah jadi dokter sangat mahal.
Sepuluh sekawan lalu bersepakat akan merampok bank untuk membiaya kuliah tersebut. Cara bercerita maha tahu memungkinkan Andrea berbual-bual mengeksplorasi kebodohan dan kesialan tokoh-tokohnya. Kerap kali ia menggambarkan kemalangan nasib mereka secara berlebihan. Tentu saja cara itu berhasil membuat kita terpingkal-pingkal maupun tersenyum getir. Namun bangunan itu membuat Andrea kena batunya.
Novel ini punya kelokan cerita (plot twist) yang tak diduga. Haram hukumnya mengungkap apa kelokannya. Hanya saja dengan bangunan cerita yang sudah disusun sebelumnya, kelokan cerita tersebut agak sulit membuat percaya pembaca. Novelis yang akrab disapa Pakcik ini tampak melanggar hukum logika dalam dan reka percaya (make believe). Logika dalam dimulai saat sang pencipta karya seni mengawali ciptaannya dalam bentuk apapun. Begitu awalan itu ditetapkan, maka terciptalah suatu logika tertentu.
Si pencipta harus mematuhi konsekuensi logis yang sudah ditetapkan. Dalam kasus Orang-orang Biasa ini, Andrea Hirata sudah menetapkan tokoh-tokohnya sedemikian dungu. Ketika kenyataan sebenarnya tak demikian bangunan logika dalam yang sudah didirikan jadi runtuh. Boleh saja bangunan logika dalam diruntuhkan, tapi proses ke situ harus membuat pembaca yakin alias make believe.
Kendati bagian tersebut bikin sedikit minus novelnya, bukan berarti Orang-orang Biasa tak bisa dinikmati. Justru sebaliknya. Andrea Hirata seorang pencerita ulung. Ia pandai memainkan kata yang mampu mengaduk emosi, entah haru, marah atau yang banyak di novel ini, bikin tertawa. Orang-orang Biasa sebuah bacaan yang sangat menghibur entah kamu penggemar Andrea Hirata atau bukan.
ORANG-ORANG BIASA
Penulis: Andrea Hirata
Penerbit: PT Bentang Pustaka, Februari 2019
Jumlah Halaman: xii + 300 halaman