(REVIEW BUKU) Rentang Kisah: Cerita Suka Duka Gita Savitri Kuliah di Jerman
Diterima di kampus Institut Teknologi Bandung yang keren dan jadi impian sejuta umat, justru reaksi ini yang didapat Gita Savitri Devi, seorang konten kreator di buku Rentang Kisah, dari sang ibu:
"Kamu mau kuliah di ITB atau di Jerman?"
Reaksi yang bikin kaget dan berbeda dari harapan. Gita menulis,
"Kebayang nggak perasaanku saat itu? Aku sudah belajar, jungkir balik, siang-malam demi tes [masuk ITB] ini, tapi seketika dengan santainya ibuku menawarkan opsi lain, bukannya memberi selamat."
(Rentang Kisah, hal. 33)
Sang ibu memang lebih kepengin ia kuliah di Jerman, tempat sang ibu dan ayahnya tinggal selama beberapa tahun, atau jurusan Teknik Perminyakan yang ketika kerja lulusannya bisa dapat gaji puluhan juta rupiah per bulan.
Gita merasa dilema dan seakan berada di jalan buntu. Ia sudah diterima di jurusan yang ia mau. Ia sebenarnya bisa saja yakin pada pilihannya, tak mendengarkan keinginan ibunya. Namun ia juga percaya ridha Tuhan adalah ridha orangtua.
"Bagaimana jalan menuju masa depanku mau lancar, kalau orangtua nggak mengizinkan?"
Belajar Ikhlas
Demikian Gita mengawali kisahnya melanjutkan sekolah ke negeri yang kesebelasan sepakbolanya dijuluki Tim Panser. Ternyata untuk bisa kuliah di Jerman tak gampang.
Yang bisa kuliah di Jerman harus yang sudah berumur 18 tahun. Di bawah umur itu boleh, tapi birokrasinya ribet dan semuanya harus pakai nama orangtua. "Jadi mendingan kau nunggu satu tahun saja," saran ibunya.
Kesempatan balik ke ITB sudah tertutup. Gita terpaksa menganggur setahun, ikut les ini-itu sambil melihat teman-temannya mulai sibuk kuliah. Semula ia kecewa, marah. Namun setelah merenung tak ada jalan lain selain menerima.
"Untuk kali pertama aku belajar caranya ikhlas dan berprasangka baik atas jalan yang Allah kasih. Mungkin ini cara Dia untuk mendewasakan aku, "
(Rentang Kisah, hal. 49)
Ujian untuk bisa kuliah di Jerman tak berhenti di situ. Calon mahasiswa tak bisa main daftar kuliah, ikut tes, lulus tes, lalu diterima di perguruan tinggi yang dituju. Proses pra-studi di Jerman cukup panjang.
Gita bercerita, seseorang harus memiliki sertifikat bahasa Jerman sampai level B2, barulah bisa mendaftar ke universitas. Maklum, bahasa pengantar kuliah S1 adalah bahasa Jerman.
Sistem pendidikan di Jerman juga berbeda dengan di sini. Bagi pelajar non-negara Uni Eropa harus mengikuti penyetaraan atau kelas persiapan sebelum kuliah yang sebenarnya.
Di kelas itu calon mahasiswa harus mengulang pelajaran SMA selama dua semester. Dan, diberi waktu hanya sampai dua tahun atau empat semester. Jika tidak lulus dalam jangka waktu itu, bakal dikeluarkan dan dipulangkan ke negara asal.
Bayangkan perjuangan Gita. Harus menganggur setahun biar genap berusia 18 tahun. Setelah sampai di Jerman harus masuk kelas persiapan yang lamanya paling cepat setahun.
Saat teman-teman sebayanya sudah mulai magang atau praktek kerja lapangan (PKL), ia baru mulai kuliah yang sebenarnya. Ia diterima di Freie Universitat Berlin, salah satu universitas paling bergengsi di Jerman.
Menemukan Tuhan dan Cinta
Di buku Rentang Kisah, Gita mengisahkan proses jatuh bangun kuliah dan tinggal di Jerman. Dari seorang yang biasa-biasa saja kepintarannya, ia berproses menjadi mahasiswi yang berprestasi.
Semua tak lepas dari kerja keras. Kuliah di negeri orang menuntutnya mandiri. Setiap persoalan dicari sendiri solusinya, karena guru atau dosen tak bertugas menyuapi murid atau mahasiswa.
Sangat berbeda dengan di Indonesia. Tentu saja persoalan yang ia hadapi bukan cuma perkuliahan. Hubungan asmara jarak jauhnya kandas. Berhari-hari ia menangis. Merasa kecewa dan dikhianati. Sampai akhirnya ia terlalu lelah untuk menangis.
Takdir lantas mempertemukannya dengan Paulus atau Paul, mahasiswa Indonesia yang tinggal di Hamburg. Dari kenalan, saling chat, merasa dekat lalu tersadar sama-sama ada rasa suka.
Tapi Gita bimbang. Ia dan Paulus beda agama. Lanjut pacaran atau putus hubungan sebelum lebih jauh melangkah?
Ibunya mengingatkan, "Pindah keyakinan hanya karena laki-laki itu nggak worth it?" Tapi Paulus juga taat dengan agamanya. Gita mendapat jawaban dari keresahannya dengan berserah diri pada Tuhan.
Ia tak ingin memaksa orang yang dicintainya pindah agama. Ia sadar hidayah datang bukan dari manusia melainkan dari Tuhan. Kalau Paulus diberi hidayah, alhamdulillah. Kalau nggak, memang sudah takdirnya.
Di Jerman pula Gita kian mendalami Islam. Ia ikut pengajian dan memutuskan berhijab.
Hidup Tak Seindah Instagram
Selain cerita soal kehidupan perkuliahan di Jerman disertai bumbu kisah cinta dan religi, Rentang Kisah memuat ulang beberapa postingan blog Gita. Ada dua postingan-nya yang layak jadi bahan renungan dan pemikiran kita.
Yang pertama berjudul "Generasi Tutorial". Di tulisan itu, ia sebal dan resah mendapati pertanyaan begini dari follower-nya: "Kak, gimana sih caranya biar bisa kritis kayak Kak Gita?"; "Kak, gimana caranya bisa banyak tahu?"; atau "Kak, biasanya baca berita di mana?"
Pertanyaan aneh-aneh itu, katanya, muncul karena orang Indonesia pemalas dan nggak ada inisiatif. Semua harus dicekoki, dikasih tahu, harus disuapin.
Ia merasa, karena sekarang banyak konten tutorial, orang pikir daripada buka browser, mengetik pertanyaan apapun di search engine, lalu pilih sendiri artikel yang mau dibaca, mereka lebih senang bertanya pada orang random di media sosial alias disuapin langsung jawabannya.
Ia lantas menyimpulkan:
"Masyarakat Indonesia ternyata harus selalu dituntun dan disuguhkan. Generasi kita adalah generasi tutorial. Masyarakat Indonesia ternyata harus dikasih ikan, karena mereka nggak tahu caranya memancing."
(Rentang Kisah, hal. 187)
Postingan kedua judulnya "Menjadi Seorang Diaspora". Di postingan itu ia mengatakan, nggak semua orang yang tinggal di luar negeri itu orang kaya. Ia contohnya.
Menjadikan Youtube sebagai sumber pendapatan. Yang lain, katanya, harus kerja di pabrik atau kafe. Gita dan banyak orang yang senasib harus menjalani proses pencarian jati diri dan pendewasaan tanpa bimbingan siapa-siapa, nggak ditemani keluarga dan orang-orang yang wajahnya familier.
Dan itu, katanya, susahnya minta ampun. intinya ia hendak bilang:
"Ternyata hidup sendiri di negara asing itu nggak seindah foto-foto turis Indonesia di Instagram."
(Rentang Kisah, hal. 194)
Nah, kamu harus camkan nasihatnya. Ini buku asyik yang banyak memberi pengetahuan kita soal kehidupan di Jerman. Walau sayangnya pada banyak segi cerita Gita kurang detil. Ia lebih sering "tell" dan bukannya "show".
Kendati begitu Rentang Kisah sedikit banyak sudah menguak pribadi Gita Savitri Devi. Kalau kamu follower-nya di Youyube atau medsosnya yang lain, buku ini wajib kamu baca.
Buat yang belum mengenalnya, buku ini bisa jadi jendela awal melongok dunia perkuliahan di Jerman.***
RENTANG KISAH
Penulis: Gita Savitri Devi
Tahun terbit: Cetakan keenam, 2018.
Penerbit: Gagas Media.
Halaman: viii + 208 halaman.