Dunia Sepi Satine: Dilema Wanita Independen di Kehidupan Urban yang Sepi

Ditulis oleh: Gheani Kirani

"Satine pikir dia bisa menyelesaikan apa pun dalam hidupnya. Segalanya harus terkendali. Namun, realita menamparnya dan memberi tahu bahwa ia hanya “wanita kesepian” yang dipertemukan dengan lelaki asing bernama Ash."

Grameds, kamu pernah berpikir bisa mengendalikan segala hal dalam hidup? Kalau pernah, itu artinya Satine bukan tokoh fiksi yang hidup dalam novel terbaru karya Ika Natassa, tapi gambaran dirimu.

Sekilas Satine terlihat seperti wanita dengan hidup bagaikan kotak styrofoam makanan yang rapi dan kokoh. Namun, siapa yang tahu seperti apa rupa makanan di dalamnya. Mungkin saja ternyata berantakan dan tak seindah bungkusnya.

Perjalanan hidup Satine yang menemukan titik paling kesepian dalam hidupnya bukan fiksi, tetapi kenyataan yang melompat keluar dari buku terbaru Ika Natassa. Dengan penuh empati dan emosi, Ika merancang tokoh Satine sebagai perwakilan para wanita kesepian di luar sana.

Satine sebenarnya hidup di tengah-tengah kita. Satine hidup di dalam fasilitas umum yang selalu penuh, pusat hiburan yang berisik, dan gedung pencakar langit yang tak pernah tidur. Ya, Satine adalah perwujudan dari perempuan independen yang hari-harinya dipenuhi tuntutan untuk bekerja dan menjadi sempurna.

Namun, bisakah Satine dan ratusan ribu wanita independen di luar sana menjaga hidupnya selalu sempurna? Mungkinkah ada bagian dalam hidup mereka yang sejatinya berantakan, tetapi hanya tertutupi oleh “kotak styrofoam makanan” dan tidak terlihat oleh siapa-siapa?

Novel terbaru Ika Natassa akan menjawab dua pertanyaan ini dari sudut pandang wanita dengan cara yang menenangkan. Kamu akan diajak mengikuti Satine dari belakang dan menyelami dunia sepi yang Satine rasakan.

Siapkah kamu? Jika sudah siap, mari kita temui dunia sepi yang Satine lihat.

Baca Novel Satine di Sini!

Satine dan Jejak Masculine Energy dalam Perempuan Urban

Grameds, apakah kamu termasuk wanita yang bekerja untuk menghidupi diri dan keluarga? Atau kamu hanya menyaksikan fenomena ini? Faktanya, jumlah wanita yang bekerja terus bertambah setiap tahun. Fenomena ini bukan lagi cerita belaka, tetapi bagian baru dari kehidupan urban.

Data dari BPS di tahun 2023 pun menyoroti fenomena ini dengan mendalam. BPS mencatat sekitar 35,57% wanita masuk dalam sektor pekerjaan formal, loh. Angka ini hampir menyalip persentase pekerja pria yang menyentuh 44,19%. Berkaca dari data riset BPS di tahun-tahun sebelumnya juga akan membawa kita pada satu persepsi baru: jumlah wanita independen ternyata tidak sedikit.

Fenomena ini diperkuat dengan munculnya gagasan bahwa wanita harus berdiri di kaki sendiri dan mengejar karier. Pandangan bahwa hidup wanita hanya berputar di dapur, kasur, dan sumur pun tak lagi relevan. Kalau fenomena ini sering kamu temukan di dunia nyata maka novel Satine akan menjadi teman untuk berbagi ruang diskusi, Grameds.

Secara gamblang, Satine mencerminkan masculine energy dalam diri perempuan urban yang biasa kita temui di kota-kota besar, seperti Jakarta. Pergeseran hidup ke arah yang sulit membuat para wanita terjun ke dunia kerja yang kompetitif. Tak heran kalau kita melihat kaum wanita bekerja di berbagai sektor dan industri.

Namun, Satine dan kisahnya yang rumit tak hanya menyoroti sisi independen, tetapi upaya untuk mengatur segala hal tetap pada tempatnya, termasuk persoalan asmara. Sejak awal cerita, kita dibawa mengenal sosok Satine yang duduk berhadapan dengan Ash dan berupaya memenangkan gejolak batinnya.

Satine diwujudkan dalam sosok yang introspektif dan rasional, tetapi menyimpan harapan bahwa ia tidak sekebal itu dengan cinta. Melalui pola pikirnya yang rasional, Satine mengakui jika dirinya terkadang tidak diinginkan. Dengan upaya menerima perasaan itu, Satine menyadari bahwa segala sesuatu tentang perasaan dapat ambigu sehingga dirinya memilih bertahan.

Selama berbincang dengan Ash, kita dapat menemukan energi maskulin yang terpancar kuat dari diri Satine. Ia tidak mudah terseret oleh emosi dan nostalgia tentang Ash. Sebaliknya, Satine selalu mengedepankan logika dan memegang prinsip dalam hal asmara. Tanpa terbawa arus oleh emosi sesaat, Satine mempertimbangkan arah hubungannya berdasarkan “benar” atau “tidak benar”.

Sekilas, Satine memang terlihat seperti wanita kaku yang tidak menarik, tetapi sosok Satine banyak ditemukan dalam diri wanita urban. Energi maskulin yang dipancarkan Satine ini dapat diartikan sebagai sisi dari manusia yang selalu percaya diri dan fokus pada tujuan.

Sisi maskulin ini tidak memandang gender, Grameds. Kamu bisa menemukan sisi feminine pada pria dan masculine pada wanita. Semua ini bergantung pada lingkungan sekitar yang membentuk sisi maskulin atau feminin dalam diri kamu. Mungkin kamu pernah dengar kata-kata yang bilang kalau pribadi manusia itu kompleks? Ya, kompleksitas itu diuraikan dengan runut oleh Ika Natassa melalui tokoh Satine.

Ada beberapa kepribadian Satine yang menunjukkan sisi maskulin dan membawa Satine masuk ke dunia sepi. Mari kita kupas satu per satu, Grameds!

Satine dan Upaya Menemukan Validasi Tanpa Teman Bicara

dok. Gramedia

Satine tidak hanya bersikap rasional, tetapi juga mandiri dalam hal validasi perasaan. Kehidupan urban yang ketat memaksa banyak orang hidup dalam kesendirian, tak terkecuali Satine. Isu ini diutarakan dengan gamblang oleh Ika dalam dua cuplikan:

I just need a proper date.
Saya cuma butuh teman bicara.

Apa yang dialami Satine pun langsung ditunjukkan lewat narasi getir di awal buku. Bukan dengan kata-kata yang lugas, tetapi melalui sudut pandang Satine tentang penolakan dan cara orang-orang memperlakukan manusia yang tak lagi diingkan.

When you’re not wanted, people make sure that you know. Di atas meja kayu di depanku, itu tulisan yang diukir dengan ujung pena tajam, seperti anak-anak yang dulu suka menorehkan macam-macam di meja belajarnya di sekolah.

Dengan metafora melalui “tulisan anak-anak di meja kayu”, Satine mencurahkan pendapat perihal penolakan yang secara tak langsung memvalidasi perasaannya. Setelah validasi itu terbentuk kuat, Satine dapat menghadapi realita dan berhadapan dengan Ash. Upaya Satine menemukan validasi terhubung dengan kehidupan urban yang kerap terisolasi Tidak jarang ada manusia urban yang kesulitan menemukan pendengar dan teman meski dikelilingi oleh banyak orang.

Grameds, kamu pernah kesulitan menemukan pendengar yang baik di dunia yang berisik? Satine pun demikian, terutama saat ia harus menyeimbangkan rasa sepi dengan kesibukan yang dipenuhi ambisi. Ambisi? Ya, Satine merepresentasikan wanita karier yang sukses, tetapi harus berkorban dalam banyak hal.

Tak hanya perihal upaya memvalidasi diri, Satine dengan segala kompleksitasnya berusaha keras mencapai titik tertentu dalam hidup. Sejalan dengan konsep will to power yang dicetuskan oleh Friedrich Nietzsche, perjalanan Satine mencapai puncak karier adalah perwujudan dari keinginan manusia untuk menjadi “sesuatu”.

Apa maksudnya? Mari kita kupas lebih lanjut, ya, Grameds!

Baca Novel Satine di Sini!

Satine dan Penolakan untuk Sekadar Bertahan Hidup

Dalam konsep will to power, Nietzsche menjelaskan bahwa manusia terdorong untuk mencapai sesuatu yang lebih besar daripada sekadar bertahan hidup. Manusia sejatinya punya keinginan untuk menegaskan keberadaannya di dunia, seperti mencapai aktualisasi diri melalui kebajikan dan pencapaian pribadi.

Konsep ini relevan dengan Satine yang kerap dijahili oleh para koleganya menggunakan julukan “Miss Forbes 40 Under 40”. Julukan itu adalah bagian dari kenyataan karena Satine memang mencapai banyak hal dalam kariernya. Sebagai wanita karier, Satine bukan hanya mengejar uang untuk nafkah, tetapi pengakuan dan penghargaan. Meski ada banyak yang harus dikorbankan, tapi Satine memandang hidup dengan logis dan memahami ada konsekuensi di balik pilihannya.

Iya, oke, ada harga yang harus dibayar untuk setiap pilihan yang kita ambil dalam hidup. Harga yang kubayar buat ini? Waktu. Energi. Merelakan isi pikiranku adalah kerjaan, kerjaan, kerjaan, kerjaan, kerjaan, kerjaan, dan kerjaan—tujuh kali cukup kan untuk menegaskan yang kumaksud—dari bangun sampai menjelang tidur.

Dari cuplikan di atas, kita dapat memahami cara Satine memandang hidupnya berdasarkan logika yang selaras dengan masculine energy. Satine mengorbankan waktu tidur dan haknya untuk rehat, tetapi ia memenangkan keinginan untuk mencapai aktualisasi diri. Di sisi lain, upaya keras Satine tak pelak membuatnya jatuh dalam peperangan batin.

Hidup Satine yang “sibuk” dipenuhi oleh usaha untuk menjalani lika-liku kehidupan.

Ia berusaha menerima rasa-rasa sakit yang datang dan memahami bahwa itulah cara kerja dunia yang sebenarnya. Tak hanya menerima, Satine berusaha melalui semua penderitaan dengan terus menguatkan diri. Seperti manusia yang percaya bahwa “badai pasti berlalu”, begitulah yang Satine rasakan hingga ia dengan entengnya dapat berkata, “Life happens, shit happens”.

Satine bukan tokoh fiksi yang menjalani alur hidup dan mencapai ending, tetapi wujud yang akan kamu temukan dalam dirimu. Grameds, sebagai manusia yang suatu saat akan dewasa, kamu pasti dipenuhi kegelisahan tentang tujuanmu hidup di dunia. Sebagai manusia yang akan dewasa, kamu pasti dipenuhi keinginan untuk membuktikan diri dan menjadi “orang” agar mampu menikmati dunia. Namun, benarkah hidup yang dirancang demikian akan berakhir bahagia? Satine dengan sukarela membuktikannya.

Satine dan Kehidupan Asmara di Dunia Sepi

dok. Gramedia

Satine mungkin unggul dalam karier, tapi begitu rapuh dalam hal asmara. Energinya yang berkobar bagai api seketika padam saat ia bertemu dengan “cinta”. Berawal dari hubungan di atas kontrak bersama Ash, Satine pun terlibat dalam hubungan yang ternyata lebih rumit dari dugaannya.

Bisa dibilang, novel Satine ingin mengajak pembaca mengenal kehidupan wanita independen yang sukses dalam karier, tetapi terjebak dalam dinamika hubungan yang mengacak-acak kesempurnaan dalam dirinya. Bukan sekadar cerita, premis ini sesungguhnya adalah realita, Grameds. Di era sekarang, tren menikah muda mengalami penurunan selama enam tahun terakhir.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa di tahun 2023, ada 68,29% anak muda yang berstatus “belum menikah”. Mengapa hal ini bisa terjadi? Lagi dan lagi, selaras dengan isu yang diangkat oleh Ika Natassa dalam Satine, hubungan asmara dan pernikahan bukan lagi perkara gampang.

Satine membuktikan fenomena ini melalui hubungannya yang berkembang menjadi sesuatu yang lebih kompleks. Dinamika ini membawa Satine dan Ash ke ranah yang lebih emosional. Tanpa disangka, ini membuka ruang bagi perasaan yang sebelumnya mungkin mereka tahan atau anggap tidak relevan.

Hubungan mereka mengalami transisi dari sekadar kesepakatan rasional menuju keterikatan emosional yang lebih dalam. Sejatinya ini adalah perpaduan antara masculine energy dengan feminine energy. Keduanya merupakan campuran dari orientasi pada rasionalitas yang penuh kontrol dengan perasaan yang terhubung melalui intuisi.

Tak heran jika dunia yang Satine lihat adalah dunia sepi. Dunia yang diisi oleh kekosongan dan ketakutan terhadap rasa asing. Mungkinkah Satine yang mewakili para wanita independen akan menemukan jalan keluar dari rintangan ini?

Satine dan Jalan Keluar dari Dunia Sepi di Kehidupan Urban

Hanya ada satu jalan keluar, yaitu memahami bahwa kesepian sebenarnya bukan kelemahan, tetapi ruang refleksi untuk memahami diri sendiri. Pekerja perempuan seperti Satine yang mandiri dan selalu menghadapi tantangan kerap merasa harus kuat setiap saat.

Padahal menerima kesepian justru bisa menjadi cara untuk tumbuh. Misalnya, melalui upaya menikmati momen bersama diri sendiri, seperti membaca, journaling, atau sekadar minum kopi tanpa distraksi. Semua upaya kecil ini bisa jadi bentuk self-care yang sederhana dan penuh arti.

Selain itu, membangun koneksi yang berkualitas lebih penting daripada sekadar memiliki banyak relasi. Hubungan yang otentik, baik dengan teman maupun pasangan, bisa menjadi ruang aman untuk berbagi tanpa harus mengorbankan independensi. Tentu menjadi kuat bukan berarti menekan emosi, tetapi keberanian untuk jujur dengan perasaan dan memberi ruang untuk merasakan emosi tanpa beban. Kabar baiknya, keberanian ini valid dan sangat layak dilakukan sama siapa saja.

Akhir kata, Satine terperangkap dalam rasa sepi akibat pilihan dan prinsipnya tentang kehidupan sempurna. Namun, Satine yang “rapuh” ini menunjukkan bahwa perempuan mandiri juga mampu menemukan keseimbangan antara kemandirian dan koneksi emosional.

Grameds, apakah kini kamu sudah memahami “dunia sepi” Satine?

Temukan Semua Promo Spesial di Sini!


Penulis: Gheani Kirani (@gheaniikirani)

Penyunting: Laila

Header: Dok. Gramedia