Sapardi Djoko Damono: Sebuah Ajakan Menikmati Puisi
“Yang fana adalah waktu. Kita abadi.”
Siapa yang tak kenal kutipan fenomenal dari seorang Sapardi Djoko Damono tersebut? Penyair berusia 76 tahun ini sudah mulai menulis sejak duduk di bangku SMP dan terus berkembang saat ia menempuh pendidikan di Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Inggris.
Selain melahirkan karya seperti puisi dan sajak yang meneduhkan jiwa, penyair kelahiran Solo, 20 Maret 1940 ini juga menulis opini, kolom dalam berbagai topik, cerita pendek, dan menerjemahkan berbagai karya penulis asing mulai dari esai hingga sejumlah artikel di surat kabar. Tak jarang pula beliau juga menulis tentang sepak bola.
Beberapa karya puisi Sapardi yang sangat populer adalah “Aku Ingin”, “Hujan Bulan Juni", "Pada Suatu Hari Nanti”, “Akulah si Telaga”, dan “Berjalan ke Barat di Waktu Pagi Hari”. Pujangga Indonesia ini bahkan telah mengemuka sampai ke negeri orang. Syair-syair indahnya telah dialihbahasakan ke dalam sejumlah bahasa.
Hujan Bulan Juni sebagai kumpulan puisi telah dialihbahasakan ke dalam bahasa Inggris, Jepang, Arab, dan Mandarin. Karya Sapardi lain berupa sajak dan esai juga diterjemahkan ke dalam belasan bahasa antara lain Inggris, Jerman, Prancis, Belanda, Arab, Jepang, Jawa, Italia, Bali, Portugis, Korea, Tagalog, Thai, Melayu, Rusia, dan Urdu.
Sebagai pakar sastra, Sapardi kini tak hanya merupa sebagai pujangga, tetapi juga sebagai agen yang mengajak kalangan yang belum dekat dengan puisi untuk lebih dapat menikmati dan mengapresiasi puisi. Mengapa apresiasi? Karena apresiasi berarti lebih dari sekedar mengagumi. Apresiasi juga berupa memahami makna terselubung dari setiap kata yang menguntai pada sajak.
Selain pengarang dan penyair karya sastra dan puisi, Sapardi juga membagikan untaian opini dan pemikirannya melalui buku. Tentu saja apa yang diungkapkannya juga masih berkaitan dengan kepenyairan dan karya tulis. Berikut adalah dua karya nonfiksi Sapardi yang harus dibaca para penggemar syair-syair dan karya sastranya.
Bilang Begini, Maksudnya Begitu
Konon, puisi adalah mahkota bahasa. Puisi lahir dari seseorang yang bermain dengan bahasa. Permainan bahasa inilah yang membuat puisi tidak bisa diartikan secara harfiah, maknanya bisa jadi lebih dalam dari yang tertulis. Gerimis belum tentu hujan, bunga pun belum tentu berarti kembang.
Hal-hal seperti inilah yang melahirkan pernyataan Bilang Begini, Maksudnya Begitu. Lalu bagaimana cara menangkap pesan sesuai dengan makna yang ingin disampaikan oleh penyair?
Bukan, Sapardi bukan membuat buku teori berpuisi. Buku ini lebih tepat dimaknai sebagai ajakan untuk lebih dapat mengapresiasi puisi. Anda akan dikenalkan kepada sejumlah alat, muslihat, atau gaya yang biasa digunakan penyair dalam puisinya yang dijelaskan dengan menyertakan contoh agar dapat lebih mudah memahami.
Bab pertama hingga kelima akan mengajak Anda untuk mengenali perbedaan puisi dengan jenis tulisan lain, kemudian membahas bunyi pada puisi yang tidak hanya dapat menegaskan makna, namun juga membangun suasana.
Beranjak pada jenis-jenis puisi, yang kemudian masuk ke dalam bab “Bilang Begini, Maksudnya Begitu”, penulis mengajak kita untuk dapat secara lebih baik melihat “gambar” yang dibuat oleh penyair dalam memahami maksud puisi. Hingga sampailah Anda pada bab pemilihan kata dalam berpuisi.
Sementara pada bagian keenam hingga kesepuluh, akan dijelaskan mengenai tema-tema yang umum dijadikan pilihan oleh penyair. Seperti, Puisi tentang Tuhan, Puisi mengenai Sikap Hidup, Puisi percintaan, Puisi Kritik Sosial, dan Puisi Dongeng.
Kemampuan seseorang untuk dapat menangkap pesan, gambar, atau makna dalam puisi jelas tentu berbeda sebab bergantung pada latar belakang yang terkadang membuat seseorang terkadang merasa “gelap” dengan puisi. Kabar baiknya, buku ini akan membantu Anda untuk dapat lebih mengapresiasi.
Alih Wahana
Lewat Alih Wahana, Sapardi ingin memberikan pemahaman bahwa puisi tidak hanya dapat dinikmati dari secarik kertas bertintakan kata-kata indah. Istilah "Alih Wahana" digunakan untuk menggambarkan perubahan dari satu jenis kesenian ke jenis kesenian lain. Cerita fiksi dapat diubah menjadi tari, drama, atau film, sedangkan puisi dapat diubah menjadi lagu, film, bahkan lukisan.
Kini menikmati puisi tak hanya dapat dilakukan dalam bentuk yang ‘sejati’, lirik-lirik puitis dalam lagu pun kini tak kalah nikmatnya. Tidak hanya lagu, peralihan ke dalam bentuk film, ataupun deklamasi pada teater pun terjadi. Semua berkat alih wahana. Dengan keadaan yang demikian, dapat dikatakan bahwa sebenarnya kita telah familiar dengan adanya perubahan karya sastra, bahkan telah menikmati kepuitisan dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu mahakarya dari Sapardi Djoko Damono ini diuraikan dengan menggunakan bahasa yang sederhana tanpa istilah-istilah rumit yang akan mematikan minat baca Anda. Buku ini menjadi sebuah harapan untuk membawa transformasi besar ke dalam cara berpikir bahwa sastra tidak hanya dapat dinikmati melalui satu wahana saja.