Sastra Wangi: Ideologi dan Sudut Pandang Penulis Novel Feminis
Hai, Grameds! Apa kabar hari inii? 💮
Mana, nih, penikmat sastra Indonesia dari zaman ke zaman? Sini-sini ngumpul! 👀
Sama seperti teknologi, sastra juga berkembang dari zaman ke zaman dan punya aliran masing-masing sesuai angkatannya. Kalau kamu yang ngikutin buku-buku sastra dari penulis yang karya-karyanya 'nyastra' banget kayak Pramoedya Ananta Toer, Chairil Anwar, Ahmad Tohari, bahkan sampai Eka Kurniawan, pasti tahu kalau mereka adalah sastrawan di rentang waktu yang berbeda.
Eh, tapi buat kamu yang belum tahu, sini Gramin kasih tahu, Grameds! 🙆🏻♀️
Sastra Indonesia mengalami pertumbuhan dari pertama kali muncul pada masa Melayu lama atau periode sebelum tahun 20-an. Nah, setelah tahun 20-an, sastra Indonesia mulai masuk ke periode modern yang kemudian terbagi lagi, ada yang namanya zaman balai pustaka, pujangga baru, angkatan 45, angkatan 66, sampai sastra masa kini yang bisa kamu lihat di sekitar.
Di periodisasi sastra itu, ada satu periode yang cukup ikonik dengan karya-karya sastranya yang kontroversial, loh, Grameds! Udah bisa tebak belum? Yap, seperti yang kamu lihat di judul, Gramin akan membahas sastra wangi yang muncul pada tahun 2000-an. Apa, sih, sastra wangi ituu? ❓
Tentang Sastra Wangi dan Feminisme
Sastra tahun 2000-an lahir karena terjadinya reformasi dan berakhirnya kekuasaan Soeharto yang juga berdampak pada perkembangan sastra. Sastra tahun ini didominasi oleh sastrawan perempuan dengan karya sastra yang lebih bebas dan lebih berani, serta estetika baru. 🌇
Pada masa ini, muncul sastra wangi dan sastra profetik. Sastra wangi adalah karya sastra oleh sastrawan perempuan dengan tema yang vulgar dan tabu, dilatarbelakangi oleh kemunculan novel kontroversial Saman karya Ayu Utami. Selain itu, ada pula Djenar Maesa Ayu dengan novel terkenalnya Nayla dan Mereka Bilang, Saya Monyet! juga Fira Basuki. Sedangkan sastra profetik adalah sastra yang merujuk pada pemahaman yang religius dan bersumber dari kitab-kitab suci.
Keunikan dari karya-karya pada angkatan sastra wangi ini adalah tema-tema feminisme yang diangkat dan ideologi feminis yang tertuang pada buku yang ditulis. Mereka–penulis-penulis sastra wangi–tidak segan-segan bermain dengan kata-kata dan terlarut ke dalam tema-tema seksualitas yang tabu, terlebih pada tahun 2000-an tersebut.
Meskipun begitu, sastra wangi bukanlah sebutan yang buruk bagi sejarah sastra Indonesia, tetapi sastra wangi adalah terobosan baru dan berani. Sastra wangi juga jadi sejarah dan warna baru untuk perkembangan sastra Indonesia yang menunjukkan bahwa sastra itu kaya. 💫
Deretan Penulis Beraliran Sastra Wangi
1. Ayu Utami
Ayu Utami selalu hadir dengan sastra wangi dan realisme magis pada karya-karyanya. Bergabung dengan sastrawan pada era 2000-an, penulis yang lulus dari jurusan Sastra Rusia ini terbilang menjadi pendobrak pada hal-hal tabu yang ada pada masa itu. Ayu Utami melalui karyanya seakan menyuarakan bahwa karya sastra itu bebas berbentuk apa saja dan untuk siapa saja.
Seksualitas, pembebasan dan ekspresi perempuan, juga otoritarianisme menjadi tema-tema yang biasa ia angkat dalam setiap novelnya. Seperti novel terkenalnya, Saman (1998) yang memenangkan sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 1998. Berikut ini adalah beberapa karya dari Ayu Utami:
Buku pemenang Sayembara Roman Dewan Kesenian Jakarta 1998 ini adalah alasan mengapa akhirnya muncul sebutan 'sastra wangi'. Ketika pertama kali terbit, Saman dibayangkan sebagai fragmen dari novel pertama Ayu Utami yang akan berjudul Laila tak Mampir di New York. Karya klasik ini wajib banget untuk kamu baca!
Bercerita tentang empat perempuan bersahabat sejak kecil: Shakuntala si pemberontak, Cok si binal, Yasmin yang selalu ingin ideal, dan Laila, si lugu yang sedang bimbang untuk menyerahkan keperawanannya pada lelaki beristri.
Tapi diam-diam dua di antara sahabat itu menyimpan rasa kagum pada seorang pemuda dari masa silam: Saman, seorang aktivis yang menjadi buron dalam masa rezim militer Orde Baru. Kepada Yasmin, atau Lailakah, Saman akhirnya jatuh cinta?
Pengakuan: Eks Parasit Lajang (Kepustakaan Populer Gramedia, 2013) adalah autobiografi seksualitas dan spiritualitas Ayu Utami. Seperti Cerita Cinta Enrico, kisah nyata ini ditulis dalam bentuk novel, dengan tokoh A, seorang perempuan yang memutuskan untuk melepas keperawanannya di usia dua puluh tahun, untuk sekaligus menghapus konsep keperawanan yang baginya tidak adil.
Selama tahun-tahun berikutnya, yang ia coba lakukan dalam hidup pribadinya adalah melawan nilai-nilai adat, agama, dan hukum negara yang patriarkal. Tapi, ia berhadapan dengan kenyataan bahwa patriarki adalah fakta sejarah.
Setelah sukses dengan Saman-nya, Ayu Utami kemudian memunculkan kelanjutan kisah empat sahabat perempuan dalam novel Larung. Tidak kalah bagus dari novel Saman, novel Larung ini seakan mengajak pembacanya untuk merefleksi moral dan keadilan hukum yang dimiliki oleh seluruh elemen masyarakat Indonesia, baik rakyat maupun penguasanya.
Dikisahkan, Larung ini adalah karakter baru yang akan membantu Saman, mereka berdua kemudian berusaha untuk menyelamatkan tiga aktivis yang dikejar-kejar karena peristiwa 27 Juli 1996. Novel Larung ini didominasi oleh pergolakan politik dan kekuasaan rezim militer yang berusaha merepresentasikan kekuasaan orde baru.
Selain mengenai politik, hal yang menjadi ciri khas Ayu Utami adalah tentang feminismenya yakni petualangan cinta dan perselingkuhan mewarnai tokoh-tokoh dalam novel Larung. Novel Larung ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda dan Jerman.
2. Djenar Maesa Ayu
Gak hanya menulis buku, Djenar Maesa Ayu juga berprofesi sebagai aktris, sutradara, dan produser! Ibu dari Banyu Bening dan Btari Maharani ini lahir di Jakarta, 14 Januari 1973. Ia telah menerbitkan lima kumpulan cerpen berjudul Mereka Bilang, Saya Monyet!, Jangan Main-main (dengan kelaminmu), Cerita Pendek Tentang Cerita Cinta Pendek, 1 Perempuan 14 Laki-laki, T(w)itit! dan sebuah novel berjudul Nayla.
Cerpennya yang berjudul Menyusu Ayah menjadi cerpen terbaik Jurnal Perempuan 2003, sementara Waktu Nayla meraih penghargaan Cerpen Terbaik Kompas di tahun yang sama. Selain menulis, Djenar juga menyutradarai film dari bukunya sendiri yaitu Mereka Bilang, Saya Monyet! (2008) dan SAIA (2009).
Ia mendapat Piala Citra dari kategori Skenario Adaptasi Terbaik bersama Indra Herlambang dan sebagai Sutradara Baru Terbaik pada Festival Film Indonesia 2009. Berikut ini adalah buku-buku karya Djenar Maesa Ayu:
Dalam kumpulan cerpen Jangan Main-Main (dengan Kelaminmu), Djenar menyajikan sebuah dunia yang dipenuhi karakter manusia yang terluka, termarginalkan oleh norma masyarakat, dan pengkhianatan. Aroma yang menyajikan bahwa hidup itu indah, seperti siklus manusia bahagia—lahir, remaja, dewasa, bekerja, menikah, bahagia punya anak kemudian meninggal segera ditampik jauh-jauh dalam kumpulan cerpen ini.
Meminjam istilah Seno Gumira Ajidarma, yang mengungkapkan cerita dengan sarkasme, yaitu memvisualisasikan hal yang membuat bergidik, tabu, menakutkan, kesakitan dengan hal yang biasa seolah hal itu sudah biasa terjadi. Hal itu dicoba digambarkan oleh Djenar Maesa Ayu dengan “nyentrik”—berani mendobrak pintu-pintu terlarang di ranah seksual dengan vulgar, apa adanya.
Buku Mereka Bilang, Saya Monyet! karya Djenar Maesa Ayu menjadi sebuah karya yang langsung merebut perhatian pembaca sejak pertama kali diterbitkan. Temanya yang berani, dengan cara bercerita yang lugas dan eksploratif membuat karya Djenar Maesa Ayu ini banjir pujian.
Tulisan Djenar yang begitu berani dalam mengungkapkan apa yang dirasa ini dibuat dengan gaya bahasa yang unik. Penuh diksi dan imajinatif. Melibatkan perasaan dan latar belakang kehidupan yang bebas. Khas kehidupan malam yang dikenal dengan bagaimana ingar bingarnya.
Dua dari cerpen dalam buku ini pun menjadi inspirasi bagi Djenar untuk film Mereka Bilang, Saya Monyet! yang disutradarainya sendiri. Film ini berhasil meraih perhatian media massa, bahkan menyabet beberapa penghargaan pada festival bergengsi di dunia, di antaranya Indonesian Movie Award 2008 (Winner for the Best Actress, Winner of The Best New Comer Actress, Nominated as The Most Favorite Movie), Singapore International Film Festival 2008 (Nominated as The Best Asian Feature Film, Silver Screen Award), dan Osian's Cinefan International Film Festival (Nominated as The Best First Feature Film).
Seperti judulnya, buku ini bercerita tentang Nayla, seorang perempuan muda, berusia 13 tahun, yang harus pergi meninggalkan rumah termasuk ibunya dan terpaksa belajar hidup mandiri di dunia luar.
Gadis itu memutuskan tidak tinggal dengan ibunya, setelah kecewa mengetahui ibunya menjebloskannya ke panti perawatan anak nakal dan narkotika. Hidup sendirian tak pernah jadi mudah: Nayla harus tidur di terminal, bertemu dua pria asing yang membuatnya patah hati, hingga bekerja sebagai penata lampu diskotek. Di tempat kerja barunya itulah, Nayla mulai mengenal kehidupan yang serba bebas, mulai dari cara berpakaian, berdandan, bergaul, hingga reaksi lingkungan sekitar terhadapnya.
3. Fira Basuki
Fira Basuki masuk ke angkatan sastra wangi melalui karya trilogi novelnya yang berjudul Jendela-Jendela, Pintu, dan Atap. Selama perjalanan hidupnya, Fira Basuki telah bekerja di berbagai media, termasuk majalah Dewi, serta menjadi kontributor di beberapa media asing seperti Sunflower, Collegia, dan Morning Sun.
Ia juga memiliki pengalaman sebagai pembawa acara di CAPS-3 TV di Pittsburg, Kansas, serta menjadi produser paruh waktu di Radio Singapore International. Fira Basuki juga sempat menjabat sebagai Pemimpin Redaksi majalah Cosmopolitan dan kontributor eksekutif di Harpers Bazaar Indonesia. Pada tahun 2001, Fira Basuki mulai aktif menulis novel. Kesuksesan novel pertamanya mendorong Fira untuk melanjutkan kisah tersebut dengan merilis novel-novel berikutnya, seperti Pintu (2002) dan Atap (2003).
Berikut ini merupakan beberapa karya dari Fira Basuki:
Tersaji dalam buku ini kisah 20 ibu dari berbagai latar belakang yang memiliki kebutuhan yang sama: keinginan untuk berkomunikasi dengan anak-anak mereka. Novelis Fira Basuki kemudian mengembangkannya agar lebih enak dinikmati.
Kendala terbesar untuk memahami anak-anak berkebutuhan khusus adalah cara berkomunikasi kita yang berbeda. Orang tua, pendamping, dan guru, seringkali putus asa ketika dihadapkan dengan anak-anak istimewa ini. Apakah ada yang salah? Tidak. Kita hanya memandang dunia dengan cara yang berbeda. Kabar baiknya, ada bahasa baru yang bisa menyatukan kita: bahasa sentuhan.
Kisah-kisah dalam Cerita di Balik Noda ini seolah menyadarkan kita betapa anak-anak adalah sumber kebijaksanaan hidup yang tak pernah kering jika kita mau melihatnya dengan cinta. Kenakalan mereka adalah kilau emas, dan kepolosan mereka adalah mentari pagi yang menghangatkan jiwa.
Fira Basuki mengembangkan cerita-cerita para ibu tersebut dengan tetap mempertahankan gaya tulisan aslinya. “Ketika saya diminta untuk mengembangkan buku Cerita di Balik Noda ini, saya seolah sedang bergelut dengan pekerjaan rumah tangga sehari-hari. Saya merasakan gairah sebagai seorang ibu,” tulis Fira dalam pengantarnya.
Baca juga: Asma Nadia dan Buku-Bukunya yang Menghangatkan Jiwa Raga
Nah, itu dia penjelasan dari sastra wangi dan deretan penulis-penulis novel feminis yang beraliran sastra wangi! Kamu sudah pernah baca buku-bukunya belum, Grameds? Kalau belum, Gramin sarankan sih cepat-cepat baca! Karena dari buku-buku sastra wangi, banyak banget kritik sosial kepada pemerintah, norma-norma masyarakat, juga ajaran moral. Jadi, kalau seumur hidup belum pernah baca novel sastra wangi, fix kamu akan menyesal, sih! 😅
Kamu dapat menemukan novel-novel sastra wangi hanya di Gramedia.com. Ingat, ya, Gramedia aja, Grameds! Jangan yang lain! 😆 Klik banner untuk lihat kumpulan promo spesialnya, yaa~
Header: Gramedia.com & goodreads
Referensi: gpu.id
Penulis: Btari Najwa Naila