Transformasi Hujan Bulan Juni yang Tak Pernah Henti, Dari Lagu Sampai Novel Grafis
Walaupun seharusnya sudah menjadi musim kemarau, bulan Juni 2021 kini selalu dihadiri rintik rindu. Eh, rintik hujan melulu, hehe.. Bingung kenapa bisa begitu, hal ini sama seperti pengalaman bapak sastrawan kita, Almarhum Sapardi Djoko Damono (SDD), yang menjadi buah pemikirannya dalam puisi fenomenal nan melegenda, “Hujan Bulan Juni”.
Masa muda Eyang Sapardi di Yogya dan Solo, kala itu bulan Juni selalu dihadiri dengan musim kemarau. Tapi ketika ia ke Jakarta di bulan Juni, ia bingung mengapa malah hujan. Hal itu yang membuat Eyang menuliskan puisi indah ini.
“Tapi kemudian, setelah saya ke Jakarta, kok di bulan Juni malah hujan? Kalau sekarang nggak masalah, ya. Juni juga hujan. Tapi dulu nggak pernah begitu,” kata Eyang Sapardi dalam wawancara bersama Kumparan (2017)
Hujan Bulan Juni menjadi karya romantis yang tak akan lekang oleh waktu. Simbol hujan atau alam lainnya, menjadi penggambaran Eyang dalam puisi-puisinya sebagai sesuatu yang hidup dan berperasaan seperti yang dirasakan manusia.
Karya yang begitu impresif juga romantis ini dibuat pada tahun 1989, dikenang panjang dan sudah bertransformasi ke wahana lain, seperti menjadi prosa, novel, komik, lagu, hingga film. Buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni terbit pertama kali pada tahun 1994 oleh penerbit Grasindo. Di dalamnya ada 102 puisi yang ditulis oleh Eyang antara tahun 1964-1994.
Beberapa puisi di dalamnya pun merupakan penerbitan ulang dari puisi-puisi yang pernah diterbitkan, seperti dalam buku Duka-Mu Abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Kerennya lagi, buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni sudah diterjemahkan ke berbagai bahasa, seperti ke bahasa Inggris, Jepang, Arab, Mandarin, dan yang terbaru adalah akan diterjemahkan ke bahasa Rusia.
Kalau kamu mau coba baca buku kumpulan puisi Hujan Bulan Juni yang berbahasa Mandarin, sudah tersedia e-book-nya di Gramedia Digital yang bisa kamu akses dengan klik gambar di bawah ini.
Sebagai pujangga, tentunya Eyang senang membuat orang-orang lebih dekat dengan puisi dan menikmatinya dengan berbagai cara. Salah satunya dengan mengalihkan hal tersebut ke berbagai wahana. Walaupun ada perubahan karena struktur penyusunan karya yang berbeda, secara keseluruhan tema, amanat, dan inti dari karya sastra tersebut sama.
Seperti yang Eyang sampaikan pada buku non fiksinya, Alih Wahana, yang memberikan pemahaman bahwa satu kesenian, bisa diubah menjadi bentuk kesenian lain yang sama nikmatnya.
Lalu, untuk Hujan Bulan Juni sendiri sudah bertransformasi ke bentuk apa saja sih?
Berikut Macam-Macam Karya yang diadaptasi dari Buku Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni
1. Lagu
Dikutip dari Kumparan (2017), pada tahun 1980-an, puisi Hujan Bulan Juni sudah ditampilkan dalam bentuk musikalisasi oleh M. Umar Muslim, lalu direkam dan dinyanyikan oleh Ari Malibu dan Reda Gaudiamo. Lalu pada tahun 1990, album Hujan Bulan Juni lahir sebagai musikalisasi puisi dari sajak-sajak Eyang. Album ini cukup laku di pasaran dan membuat Hujan Bulan Juni begitu terkenal hingga sekarang.
Sampai saat ini, sudah banyak penyanyi berbakat Indonesia yang menjadikan puisi ini sebagai single lagu mereka. Lomba-lomba musikalisasi puisi pun banyak yang menjadikan puisi indah ini sebagai bahan utama peserta.
2. Novel Trilogi
Tidak menyangka pada tahun 2015 Eyang berhasil menyajikan Hujan Bulan Juni ke bentuk novel. Di dalamnya bercerita tentang kisah cinta manis pahit beda budaya dari Sarwono dan Pingkan. Novel ini digarap Eyang hanya dalam waktu 6 bulan dan dibuat hanya berdasarkan tafsiran puisinya saja.
Buku keduanya berjudul Pingkan Melipat Jarak rilis pada tahun 2017. Setelah diuji karena harus terpisahkan jarak karena studi dan pekerjaan, kini mereka lagi-lagi dihadapkan pada sakit yang diderita Sarwono, dan Pingkan tidak bisa menemuinya karena perawatan intensif yang tak memperkenankan siapapun menjenguk. Buku kedua ini lebih banyak menceritakan pada sisi Pingkan yang bergelut dengan pikiran serta keraguannya sendiri, tentang perasaan rindu dan cintanya kepada Sarwono.
Satu tahun setelahnya, buku Yang Fana Adalah Waktu menjadi penutup dari trilogi ini. Ada sajak-sajak kecil untuk Pingkan yang ditulis oleh Sarwono. Ikatan mereka berdua juga semakin jelas. Dengan berbagai badai yang menerpa mereka, akankah cinta dan usaha bisa mendekatkan mereka? Dan melipatkan ‘jarak’ yang terbentang?
Buku ketiga ini telah mendapatkan penghargaan dalam Anugerah Buku ASEAN 2018 di Malaysia dan dinilai sebagai karya sastra bermutu tinggi oleh para penilai professional (Tribunnews, 2020).
3. Film
Pada November tahun 2017, film yang dibintangi oleh Adipati Dolken dan Velove Vexia hadir sebagai penggambaran narasi cerita dalam novel Hujan Bulan Juni. Jika dilihat dari trailernya, kalian bisa merasakan puisi-puisi Eyang dalam dialog antara Sarwono dan Pingkan. Eyang Sapardi ikut beradu acting dalam filmnya juga lho, dan ia berperan sebagai ayah Sarwono.
Walaupun diangkat dari novel Eyang, penulis naskah dari film ini ditulis oleh Titien Wattimena dan disutradarai Reni Nurcahyo Hestu Saputra, yang juga mengarahkan film Merry Riana: Mimpi Sejuta Dolar.
Bercerita tentang Pingkan yang merupakan asisten dosen Sastra Jepang Universitas Indonesia, dan bertemu dengan Sarwono seorang dosen di tempat yang sama. Mereka menjalin ikatan, dan Sarwono sedih ketika ia harus jauh dari Pingkan yang akan berangkat ke Jepang untuk studinya. Apalagi Pingkan disana akan bersama Katsuo, mahasiswa Jepang yang sedang berkuliah di Indonesia.
Sementara itu, Sarwono harus bekerja ke Manado, dan ia ingin Pingkan menjadi guide-nya di sana sebelum ia pergi ke Jepang. Pingkan mengajak Sarwono bertemu keluarga besar ayahnya. Sayang, banyak yang memojokkan mereka terkait hubungan beda budaya dan suku.
Akankah mereka tetap bertahan mempertahankan cinta mereka?
4. Novel Grafis
Belum selesai dengan lagu, novel, hingga film, kini Hujan Bulan Juni beralih wahana ke novel grafis. Hal ini seperti yang diberitahukan pada Instagram bidang sastra Gramedia Pustaka Utama (@sastragpu), bahwa novel grafis ini akan segera hadir, bekerjasama dengan Desain Komunikasi Visual, Fakultas Seni Rupa, Institut Kesenian Jakarta.
Bagi pecinta karya Eyang Sapardi, kalian nggak boleh kelewatan sama transformasi baru Hujan Bulan Juni yang satu ini. Dapatkan segera novelnya dengan klik gambar di bawah ini!
Grameds, kalian tahu nggak Hujan Bulan Juni ini berbicara tentang apa? Tentu saja keistimewaan bulan Juni, hehe. Tentang kesabaran, kebijakan, serta ketabahan yang melebur jadi satu, dan tiada batas dari seseorang.
Hebatnya Eyang, ia telah membuat karya puisi berubah wahana menjadi novel, hingga film, dan hal ini jarang terjadi pada sastrawan lain. Eyang juga sudah mendapatkan begitu banyak penghargaan, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Mahakarya Eyang dijabarkan dengan bahasa yang mudah dimengerti tanpa istilah rumit. Puisi Eyang memang begitu sederhana, tapi banyak dari kita yang begitu mencintainya.
Hujan Bulan Juni jadi bukti, bahwa karya sastra tidak serumit itu, dan bisa dinikmati siapa saja, serta dalam bentuk apa saja, karena bisa bertransformasi ke wahana apa saja.
Sumber foto header: Dok. Gramedia