Dampak Fanatisme – Fanatisme merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin fanaticus, yang memiliki arti amarah atau gangguan jiwa. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa amarah yang terdapat dari seseorang yang fanatisme merupakan luapan karena tidak memiliki faham yang sama dengan orang orang lain. Fanatisme adalah paham atau perilaku yang menunjukkan ketertarikan terhadap sesuatu secara berlebihan.
Menurut Winston Churchill, seseorang fanatisme tidak akan bisa mengubah pola pikir dan tidak akan mengubah haluannya. Seseorang yang fanatik dapat dikatakan memiliki standar yang ketat dalam pola pikirnya dan cenderung tidak mau mendengarkan opini maupun ide yang dianggapnya bertentangan.
Daftar Isi
Pengertian Fanatisme
Fanatisme berasal dari bahasa Latin “fanaticus” (ekstasi, antusiasme, menggebu-gebu), “fanum” (tempat suci, kuil, tempat pemujaan), dan “fano” (pengabdian). Berdasarkan terminologi, fanatisme dapat diartikan sebagai pengabdian kepada tempat suci atau kuil secara antusias dan menggebu-gebu.
Para pakar psikologi kemudian merumuskan kembali definisi fanatisme, yaitu usaha untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara yang ekstrem dan penuh hasrat, melebihi batas kewajaran (Solehah, 2014).
Hal senada dinyatakan oleh Achmad Mubarok, yang menyatakan fanatisme adalah suatu istilah yang digunakan untuk menyebut suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan, tetapi dianut secara mendalam, sehingga susah diluruskan atau diubah. Fanatisme biasanya tidak rasional, bahkan argumen rasional pun susah digunakan untuk meluruskannya (Mubarok, 2006).
Fanatisme dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang memengaruhi seseorang dalam hal sebagai berikut.
- Berbuat sesuatu, menempuh sesuatu, atau memberi sesuatu;
- Berpikir dan memutuskan;
- Mempersepsi dan memahami sesuatu; dan
- Merasa.
Berdasarkan kamus psikologi, dibuat rumusan sederhana tentang fanatisme, yaitu suatu sikap penuh semangat yang berlebihan terhadap suatu segi pandangan atau suatu sebab, biasanya ditujukan untuk maksud menghina (Chaplin, 1968).
Secara psikologis, seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak paham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti paham atau filsafat selain yang mereka yakini.
Tanda-tanda yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidakmampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada di luar kelompoknya, benar atau salah.
Fanatisme di sisi lain sering disebut sebagai paham atau sebuah konsekuensi logis dari kemajemukkan sosial atau heterogenitas dunia dan merupakan bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sepaham, dan tidak menyukai kepada orang-orang yang berbeda.
Suatu kekeliruan jika masyarakat menganggap fanatisme adalah sesuatu yang benar, seseorang yang terlalu fanatik biasanya dikarenakan dia hanya menafsirkan sesuatu hanya dari satu sudut pandang ilmu saja, bisa dikatakan kurangnya pemahaman mengenai ilmu lain dari masyarakat tersebut.
Fanatik agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau kelas sosial. Pada hakikatnya, fanatisme merupakan usaha perlawanan kepada kelompok dominan dari kelompok-kelompok minoritas yang pada umumnya tertindas. Minoritas bisa dalam arti jumlah manusia (kuantitas), bisa juga dalam arti minoritas peran (kualitas).
Saat ini, kehidupan umat beragama dinilai masih belum dapat mencapai titik kedewasaan. Dalam kurun waktu yang singkat banyak terjadi konflik, bahkan menimbulkan peperangan hanya karena satu alasan perbedaan suatu pandangan dalam peribadatan dan kurangnya toleransi untuk menjaga keharmonisan hubungan sosial.
Ditilik lebih mendalam, konflik umat beragama tidak dimulai baru-baru ini saja, tetapi sudah terjadi sejak zaman lampau (1095–1291). Pada saat itu, terjadi Perang Salib, yaitu perang antara umat kristiani dengan umat muslim untuk merebut kembali Yerusallem dan tanah suci. Dalam konteks sosial, Perang salib merupakan konflik agama yang terbesar hingga abad ini, walaupun bukan konflik karena fanatisme (Iditya, 2012).
Faktor terbesar yang menciptakan kisruh dalam kehidupan umat beragama adalah fanatisme. Paham ini dapat mencederai kerukunan masyarakat sosial. Fanatisme adalah musuh dari adanya sebuah kebebasan.
Artinya, saling menghormati dalam aspek kepercayaan dan keyakinan yang lainnya. Kehidupan umat beragama sendiri merupakan suatu konsep tatanan perbedaan keyakinan yang dianut dalam suatu kehidupan sosial masyarakat yang sebenarnya kehidupan itu harus berjalan seiring dan tidak saling mengganggu.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat ditarik benang merah bahwa fanatisme merupakan sikap senang yang diekspresikan secara berlebihan. Reaksi individu kemudian terakumulasi dengan sistematis dan membentuk energi yang sangat besar, sehingga tingkah laku tersebut tidak dapat terbendung lagi.
Jenis-Jenis Fanatisme
1. Fanatisme Agama
Fanatisme agama adalah sikap meyakini agama secara dalam dan kuat. Hal tersebut sering mengakibatkan konflik di masyarakat, dan sulit untuk meredakannya. Pandangan orang lain yang fanatik terhadap beragama menganggap orang-orang yang berbeda keyakinan dengan mereka sebagai ancaman.
2. Fanatisme Idola
Mengidolakan terhadap sesuatu tentu merupakan hal yang wajar. Namun, hal tersebut bisa menjadi ancaman ketika kebiasaan tersebut berubah menjadi aktivitas yang mengganggu keamanan hingga melanggar privasi, menipu, hingga menyakiti diri sendiri dan orang lain demi orang yang diidolakan.
Seseorang yang mengidolakan sesuatu pasti akan mencontoh perilakunya, hingga gaya berpakaian. Hal tersebut juga memiliki dampak hilangnya identitas diri sendiri, juga mengancam kesehatan mental.
3. Fanatisme Ideologi
Fanatisme terhadap suatu ideologi disebarkan oleh kelompok radikal dan ekstemis yang kini dimulai dengan media internet yang mudah diakses oleh berbagai golongan. Hal tersebut mengakibatkan masyarakat menjadi cemas dan mudah dipengaruhi oleh kelompok-kelompok radikal tersebut.
4. Fanatisme Etnis
Fanatisme etnis merupakan sikap mengunggulkan suatu enis tertentu dan menganggap etnis lain rendah. Mereka menilai manusia dari warna kulit dan asal sukunya. Hal tersebut berdampak terhadap rasa cemah dan takut apabila melihat orang asing (xenofobia) dan membuat generalisasi bagi kelompok etnis yang disebut dengan stereotip.
Fanatisme terhadap suatu etnis jika terus bergulir bisa berdampak menjadi pemicu pemecah kesatuan terhadap suatu bangsa.
5. Fanatisme Olahraga
Fanatisme olahraga merupakan bentuk kecintaan kepada tim olahraga, salah satu contohnya suporter sepak bola yang menunjukkan rasa cintanya terhadap tim dengan cara menyaksikan pertandingan secara langsung di stadion maupun di luar stadion untuk mendukung tim tersebut.
Ciri-Ciri Fanatisme
1. Sulit Menerima Pendapat dari Orang Lain
Fanatisme adalah kondisi seseorang yang sulit menerima pendapat yang berbeda dari orang lain. Mereka lebih tertutup untuk mendengar pendapat dari orang lain, juga condong menentang kepada suatu hal yang tidak sejalan dengan pemikirannya.
Perseteruan dan konflik sering terjadi karena perbedaan pendapat tersebut. Mereka tidak bisa berpikir secara logis dan rasional, juga sulit mengevaluasi terhadap pemikiran mereka.
2. Memiliki Pandangan yang Sempit
Orang yang memiliki sifat fanatisme tidak memiliki pemikiran yang rasional. Mereka juga memiliki pandangan yang sempit. Mereka cenderung menanggapi sesuatu dengan emosi, bukan dengan pemikiran yang berdasarkan fakta. Mereka menganggap kelompok mereka adalah yang paling benar.
Dampak Fanatisme
1. Gangguan Psikologis
Apabila seseorang yang fanatik terhadap suatu hal mulai mengganggu kepada orang lain, hal tersebut bisa termasuk fanatisme menuju gangguan psikologis. Seseorang yang fanatisme akan menganggap diri mereka benar dan berdampak merugikan terhadap orang lain, misalnya membuat orang lain merasa terluka, baik fisik dan mental.
2. Perilaku Agresif
Sikap fanatisme mengakibatkan perilaku yang agresif. Fanatisme membuat seseorang tidak bisa mengontrol diri atas sikapnya terhadap orang lain. Mereka tidak sadar apa yang mereka katakan dan lakukan bisa menyakiti dan merugikan orang lain.
3. Dijauhi oleh Teman
Seseorang yang fanatik akan dijauhi oleh lingkaran sosial peretemanannya karena tidak mau menerima perbedaan. Hal tersebut dipilih karena menghindari konflik hingga perseteruan.
Pencegahan Fanatisme
1. Hindari untuk Berdebat
Dengan mengajak seseorang yang fanatisme berdialog, ambil manfaat sebanyak-banyaknya dari diskusi tersebut, tetapi hindari untuk berdebat karena orang yang fanatisme memiliki pertahanan yang kuat untuk pendapatnya.
2. Berpikir Secara Rasional
Untuk menghindari fanatisme, bisa dicegah dengan pikiran yang rasional, kritis, dan logis. Hal ini dikarenakan fakta dan dogma menjadi kunci untuk menghindari dari fanatisme.
Pandangan Psikologi tentang Fanatisme
Fanatisme dapat dijumpai di setiap lapisan masyarakat, di negara maju maupun negara terbelakang, di kelompok intelektual maupun kelompak awam, di masyarakat beragama maupun masyarakat atheis. perbincangan yang sering muncul adalah sumber fanatisme, sifat bawaan manusia atau karena direkayasa. Ahli psikologi berbeda pandangan mengenai hal ini.
Beberapa pendapat ahli di antaranya sebagai berikut.
Sebagian ahli ilmu jiwa mengatakan bahwa sikap fanatik itu merupakan sifat natural (fitrah) manusia, dengan alasan bahwa lapisan masyarakat manusia di mana saja dapat dijumpai individu atau kelompok yang memilki sikap fanatik.
Dikatakan bahwa fanatisme itu merupakan konsekuensi logis dari kemajemukan sosial atau heteroginitas dunia, karena sikap fanatik tak mungkin timbul tanpa didahului perjumpaan dua kelompok sosial.
Dalam kemajemukan itu manusia menemukan kenyataan ada orang yang segolongan dan ada yang berada di luar golongannya. Kemajemukan itu kemudian melahirkan pengelompokan “in group” dan “out group“.
Fanatisme dalam persepsi ini dipandang sebagai bentuk solidaritas terhadap orang-orang yang sepaham dan tidak menyukai kepada orang yang berbeda paham. Ketidaksukaan itu tidak berdasarkan argumen logis, tetapi sekadar tidak suka kepada dislike of the unlike (apa yang tidak disukai).
Sikap fanatik itu menyerupai bias ketika seseorang tidak dapat lagi melihat masalah secara jernih dan logis, disebabkan karena adanya distorsion of cognition (kerusakan dalam sistem persepsi).
Jika ditelusuri akar permasalahannya, fanatik – dalam arti cinta buta kepada yang disukai dan antipati kepada yang tidak disukai – dapat dihubungkan dengan narcisisme (perasaan cinta diri yang berlebihan), yakni bermula dari kagum diri, kemudian membanggakan kelebihan yang ada di dalam dirinya atau kelompoknya, dan selanjutnya pada tingkatan tertentu dapat berkembang menjadi rasa tidak suka, kemudian menjadi benci kepada orang lain, atau orang yang berbeda dengan mereka. Sifat ini merupakan perwujudan dari egoisme yang sempit.
Pendapat kedua mengatakan bahwa fanatisme bukan fitrah manusia, tetapi merupakan hal yang dapat direkayasa. Alasan dari pendapat ini adalah bahwa anak-anak, di mana saja dapat bergaul akrab dengan sesama anak-anak, tanpamembedakan warna kulit atau pun agama. Anak-anak dari berbagai jenis bangsa dapat bergaul akrab secara alami sebelum ditanamkan suatu pandangan oleh orang tuanya atau masyarakatnya.
Seandainya fanatik itu merupakan bawaan manusia, pasti secara serempak dapat dijumpai gejala fanatik di sembarang tempat dan disembarang waktu. Nyatanya, fanatisme itu muncul secara berserakan dan berbeda-beda sebabnya.
Teori lain menyebutkan bahwa fanatisme berakar dari tabiat agresi seperti yang dimaksud oleh Sigmund Freud ketika dia menyebut instinc eros (ingin tetap hidup) dan instinc tanatos (siap mati). Namun, ada teori lain yang lebih masuk akal, yaitu fanatisme itu berakar dari pengalaman hidup secara aktual. Pengalaman kegagalan dan frustrasi, terutama pada masa kanak-kanak dapat menumbuhkan tingkat emosi yang menyerupai dendam dan agresi kepada kesuksesan. Kesuksesan itu kemudian dipersonifikasi menjadi orang lain yang sukses.
Seseorang yang selalu gagal terkadang merasa tidak disukai oleh orang lain yang sukses. Perasaan itu kemudian berkembang menjadi merasa terancam oleh orang sukses yang akan menghancurkan dirinya. Munculnya kelompok ultra ekstrim dalam suatu masyarakat biasanya berawal dari terpinggirkannya peran sekelompok orang dalam sistem sosial (ekonomi dan politik) masyarakat ketika orang-orang itu tinggal.
Ketika kelompok Islam dipinggirkan di Indonesia secara politik pada zaman Orde Baru, terutama pada masa kelompok elite Kristen Katolik secara efektif mengontrol pembangunan Indonesia, banyak kelompok Islam merasa terancam dan mereka menjadi fanatik.
Ketika menjelang akhir Orde Baru, kelompok Kristen Katolik mulai tersingkir, sehingga kabinet dan parlemen disebut ijo royo-royo (banyak orang Islamnya). Giliran orang Kristen yang merasa terancam, mereka kemudian menjadi ekstrim, agresif, dan destruktif seperti yang terjadi di Kupang, Ambon, dan Poso.
Jalan pikiran orang fanatik itu bermula dari perasaan bahwa orang lain tidak menyukai dirinya, bahkan mengancam eksistensi dirinya. Perasaan ini berkembang sedemikian rupa, sehingga dia menjadi frustrasi.
Frustrasi menumbuhkan rasa takut dan tidak percaya kepada orang lain. Selanjutnya, perasaan itu berkembang menjadi rasa benci kepada orang lain. Sebagai orang yang merasa terancam, secara psikologis dia terdorong untuk membela diri dari ancaman. Dengan prinsip lebih baik menyerang lebih dahulu daripada diserang, orang itu menjadi agresif.
Teori ini dapat digunakan untuk menganalisa perilaku agresif. Menurut beberapa teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa untuk mengurai perilaku fanatik seseorang atau sekelompok orang, tidak cukup dengan menggunakan satu teori karena fanatik bisa disebabkan oleh banyak faktor, bukan oleh satu faktor saja.
Munculnya perilaku fanatik dalam diri seseorang atau sekelompok orang di suatu tempat atau di suatu masa. boleh jadi merupakan akibat lagis dari sistem budaya lokal, tetapi boleh jadi juga merupakan perwujudan dari motif pemenuhan diri kebutuhan kejiwaan individu atau sosial yang terlalu lama tidak terpenuhi.
Kesimpulan
Psikologi memandang fanatisme sebagai reaksi kompleks yang merupakan akumulasi dari potensi diri, lingkungan, dan pengetahuan yang umumnya berkonotasi negatif. Cara mengobati perilaku fanatik dilakukan secara sistematis oleh seorang ahli psikologi.
Pendekatan yang dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu menelusuri sumber atau muara permasalahan fanatisme, memilah alternatif yang mungkin dipilih sebagai jalan keluar, pembinaan atau pelayanan terapetis, menilai hasil pelayanan, serta memberikan rekomendasi dan melakukan tindak lanjut.
Itulah artikel terkait “fanatisme” yang bisa kalian gunakan sebagai referensi. Jika ada saran, pertanyaan, dan kritik, silakan tulis di kotak komentar bawah ini. Bagikan juga tulisan ini di akun media sosial supaya teman-teman kalian juga bisa mendapatkan manfaat yang sama.
Untuk mendapatkan lebih banyak informasi, Grameds juga bisa membaca buku yang tersedia di Gramedia.com. Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan dan pengetahuan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca. Semoga bermanfaat!
- Beda Karakter dan Kepribadian
- Cara Menghilangkan Stres karena Masalah Keluarga
- Cabang Ilmu Psikologi
- Contoh Bullying
- Computational Thinking
- Confess
- Contoh Kebutuhan Individu
- Contoh Konflik Individu
- Contoh Sabotase
- Ekshibisionisme
- ENTP
- Iri Adalah
- Jati Diri
- Kapabilitas Diri
- Kekurangan Diri Sendiri
- Krisis Identitas
- Motivasi
- Perilaku Adaptif
- Perilaku Kolaboratif
- Perilaku Akuntabel
- Psikologi
- Rasional
- Reward
- Silsilah Keluarga Besar
- SWOT Diri
- Watak