Pendudukan Jepang di Hindia Belanda – Secara resmi, Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang pada 8 Maret 1942. Penyerahan tersebut dilakukan oleh Gubernur Jenderal Alidius Tjarda van Starkenborgh Stachouwer dan Panglima Tertinggi Tentara Hindia Belanda Letnan Jenderal Hein ter Poorten kepada Letnan Jenderal Imamura di Kalijati, Subang pada 9 Maret 1942.
Dengan demikian, Hindia Belanda memasuki babak sejarah yang baru. Masa pendudukan Jepang di Hindia Belanda dianggap sebagai masa yang memprihatinkan, yang ditandai dengan adanya romusha, kelaparan, kekurangan bahan pakaian, dan pemaksaan di berbagai aktivitas peperangan.
Setelah Hindia Belanda resmi berada di bawah pendudukan Jepang, ditempatkanlah berbagai pasukan angkatan darat dan laut. Pemerintahan militer Jepang memberikan tindakan yang berbeda dibandingkan dengan pemerintah Belanda dalam menjajah Hindia Belanda.
Ketika Belanda menduduki Nusantara, hanya ada satu pemerintahan sipil. Namun, pada masa pendudukan Jepang, ada tiga pemerintahan militer, yaitu pemerintah militer angkatan darat untuk wilayah Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia, angkatan darat untuk wilayah Sumatra yang berpusat di Bukittinggi, dan angkatan laut untuk wilayah Kalimantan dan Indonesia bagian timur yang berpusat di Ujung Pandang.
Setiap pemerintahan militer tersebut memiliki ketentuan yang berbeda-beda untuk tiap wilayah pendudukan. Secara politik, Pulau Jawa dianggap paling maju dikarenakan memiliki pokok sumber daya manusia (SDM). Hal itu mengakibatkan Jepang lebih memusatkan perhatiannya di Jawa dibandingkan kedua daerah lainnya.
Daftar Isi
Latar Belakang Pendudukan Jepang
Masa pendudukan Jepang di Nusantara, yang saat itu masih bernama Hindia Belanda, diawali sejak 8 Maret 1942 dan berakhir pada 17 Agustus 1945 seiring dengan Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.
Secara resmi, Jepang menguasai Hindia Belanda sejak 8 Maret 1942 ketika Jenderal Hein ter Poorten menyerah di Kalijati. Saat itu, Jepang tidak menemui perlawanan yang berarti dari Belanda, bahkan masyarakat Hindia Belanda menyambut kedatangan militer Jepang dengan perasaan senang. Hal tersebut disebabkan mereka beranggapan jika Jepang akan membebaskan Hindia Belanda dari penjajahan Belanda.
Selanjutnya, Gubernur Jenderal Alidius Tjarda dan Panglima Letnan Jenderal Hein ter Poorten memulai perundingan dengan Jepang yang diwakili oleh Letnan Jenderal Imamura di Kalijati pada 9 Maret 1942.
Imamura menyebutkan jika Belanda harus menandatangani penyerahan tanpa syarat. Namun, ada sesuatu yang menarik dalam peristiwa tersebut. Perjanjian itu hanya ditandatangani oleh Hein ter Poorten saja sebagai wakil Belanda, sedangkan Alidius Tjarda tidak menandatanganinya.
Dia beranggapan jika Jepang tidak akan lama menguasai Hindia Belanda. Pandangan itu didasarkan karena Amerika Serikat telah bangkit setelah dikalahkan Jepang pada 1941, serta telah melakukan berbagai invasi terhadap berbagai wilayah yang dahulu dikuasai oleh Jepang.
Hein ter Poorten lantas memerintahkan agar seluruh pasukan Belanda menyerahkan diri kepada militer Jepang. Dengan demikian, sejak saat itu Jepang menguasai seluruh wilayah Hindia Belanda secara de facto dan de jure.
Tujuan utama Jepang menyerang dan menduduki Hindia Belanda adalah untuk menguasai ketersediaan sumber alam, khususnya minyak bumi, untuk menyokong perang yang dilakukan Jepang. Jawa dirancang sebagai pusat penyedia seluruh operasi militer di Asia Tenggara, sedangkan Sumatra dirancang sebagai sumber utama minyak.
Sistem Penjajahan Jepang di Hindia Belanda
Sistem penjajahan Jepang yang dilakukan di Hindia Belanda dilandasi kebutuhan sumber perang. Jepang beranggapan jika Jawa lebih maju dibandingan dengan wilayah lainnya. Jawa memiliki kekayaan tenaga manusia, sedangkan wilayah lainnya memiliki kekayaan sumber daya alam.
Hindia Belanda lantas dirancang menjadi tiga wilayah penguasaan menurut potensi dan kepentingan, baik itu segi politik dan pertahanan keamanan, yaitu pemerintah militer angkatan darat untuk wilayah Jawa dan Madura yang berpusat di Batavia, angkatan darat untuk wilayah Sumatra yang berpusat di Bukittinggi, dan angkatan laut untuk wilayah Kalimantan dan Indonesia bagian timur yang berpusat di Ujung Pandang.
Pembagian tersebut berimplikasi kepada berbagai kebijakan di masing-masing daerah. Jawa dan Madura diperlakukan istimewa karena sudah maju dalam bidang politik, sedangkan Sumatra, Kalimantan, dan bagian timur Indonesia dianggap masih sangat tertinggal dalam bidang politik. Inilah yang menyebabkan cara memerintah militer Jepang sangat kejam.
Pembagian ini juga menandakan jika Jepang menerapkan politik pecah belah seperti halnya yang dilakukan sebelumnya oleh Belanda, sebab ada wilayah yang diistimewakan dan ada pula yang dimarjinalisasi berdasarkan segi kebijakannya. Namun, kedatangan Jepang umumnya disambut dengan baik oleh masyarakat Hindia Belanda. Mereka beranggapan jika Jepang akan mengusir Belanda dan memberikan kemerdekaan bagi Hindia Belanda.
Propoganda populer yang diusung oleh Jepang adalah gerakan tiga A, yaitu Jepang Pelindung Asia, Jepang Pemimpin Asia, dan Jepang Cahaya Asia. Namun, gerakan tersebut tidak bertahan lama karena masyarakat Hindia Belanda kurang simpati terhadap gerakan itu.
Jepang semakin jelas menjajah Hindia Belanda dengan mengontrol secara ketat berbagai sumber ekonomi. Pengontrolan itu dilaksanakan untuk kemajuan industri dan kepentingan perang. Militer Jepang menerapkan romusha untuk membangun jembatan, jalan, lapangan udara, dan berbagai fasilitas lainnya. Masyarakat diawasi dengan ketat dan hasil pertanian harus diserahkan kepada pemerintah Jepang. Sementara itu, hewan peliharaan penduduk dirampas secara paksa untuk memenuhi kebutuhan konsumsi perang.
Pada 1943, Jepang memberikan latihan militer kepada masyarakat Hindia Belanda untuk membantu melawan kekuatan Amerika Serikat dan sekutunya. Organisasi kemiliteran yang dibentuk oleh Jepang antara lain:
- Kempeitai (Barisan Polisi Militer) pada 4 Januari 1881.
- Heiho (Barisan Tentara Pembantu) pada 2 September 1942.
- Seinendan (Barisan Pemuda) pada 9 Maret 1943.
- Pusat Tenaga Rakyat (Putera) pada 16 April 1943.
- Keibodan (Barisan Pembantu Polisi) pada 29 April 1943.
- Pembela Tanah Air (PETA) pada 3 Oktober 1943.
- Fujinkai (Barisan Perhimpunan Wanita) pada 3 November 1943.
- Jawa Hokokai (Himpunan Kebaktian Rakyat) pada 8 Januari 1944.
- Suishintai (Barisan Pelopor) pada 1 November 1944
- Jibakutai (Barisan Berani Mati) pada 8 Desember 1944.
- Kaikyo Seinen Teishintai (Hizbullah) pada 15 Desember 1944.
- Gakkutotai (Barisan Pelajar) pada 15 Desember 1944.
Itulah artikel terkait “Pendudukan Jepang di Nusantara” yang dapat kalian gunakan untuk referensi dan bahan bacaan. Jika ada saran, pertanyaan, dan kritik, silakan tulis di kotak komentar bawah ini. Bagikan juga tulisan ini di akun media sosial supaya teman-teman kalian juga bisa mendapatkan manfaat yang sama.
Untuk mendapatkan lebih banyak informasi, Grameds juga bisa membaca buku yang tersedia di Gramedia.com. Sebagai #SahabatTanpaBatas kami selalu berusaha untuk memberikan yang terbaik. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan dan pengetahuan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca. Semoga bermanfaat!
Rujukan
- Kartodirdjo, S. (1975). Sejarah Nasional Indonesia. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
- Moedjanto, G. (1988). Indonesia Abad ke-20: Dari Kebangkitan Nasional sampai Linggarjati. Yogyakarta: Kanisius.
- Notosusanto, N. (1964). Hakikat Sejarah dan Metode Sejarah. Bandung: Mega Bookstore dan Pusat Sejarah Angkatan Bersejanta.
- Puspoenegoro, M.D.; Notosusanto, N. (1990). Sejarah Nasional Indonesia VI. Jakarta: Balai Pustaka.
- Ricklefs, M.C. (2005). Sejarah Indonesia Modern 1200–2008. Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta.
- Sedana, K.; Magi, K. (2014). Sejarah Indonesia: Dari Proklamasi sampai Orde Reformasi. Yogyakarta: Graha Ilmu.
- Tjondonegoro, P. (1982). Merdeka Tanahku, Merdeka Negeriku 1. Jakarta: CV. Nugroho.
Rekomendasi Buku dan E-Book Terkait
1. Nusantara Sejarah Indonesia
Nusantara merupakan salah satu deskripsi sejarah Indonesia yang ditulis secara mendalam dan populer. Kendati buku ini terbit pertama pada 1943, banyak hal-hal yang disampaikan oleh Vlekke aktual sampai abad ke-21. Berbeda dengan buku sejarah selebihnya, Vlekke menampilkan proses sejarah Indonesia tanpa terlalu memusatkan proses perluasan kolonialisasi.
Vlekke dalam buku ini misalnya memaparkan bahwa perang agama sangat langka di Jawa dan boleh jadi penyebabnya adalah sinkretisme terpelihara sejak zaman dulu. Ada kisah kegagalan Sultan Agung menyatukan Nusantara karena tak punya angkatan laut yang memadai. Kisah lain yang langka adalah perubahan tabiat orang Belanda yang rajin di tanah airnya (Homo batavus), tetapi jadi pemalas ketika tinggal di Batavia (Homo bataviensis).
Edisi Indonesia buku ini merupakan terjemahan edisi revisi 1963. Penulis menyajikan sejarah Nusantara secara populer. Oleh karena itu, buku ini seolah-olah berisi dongeng Indonesia pada masa silam. Pembaca muda Indonesia dapat dengan mudah memahami kisah yang ditampilkan dalam buku ini.
2. Sejarah Indonesia Modern 1200–2008
“Masa depan negara kepulauan terbesar di dunia ini akan pelik, menarik, dan penting, sebagaimana sejarahnya,” tulis Ricklefs mengakhiri buku ini. Perjalanan panjang Indonesia sejak masuknya Islam hingga kini merupakan sebuah unit historis terpadu, yang dalam buku ini disebut Sejarah Indonesia Modern. M.C. Ricklefs menyuguhkannya secara mendasar sekaligus terperinci.
Terdapat tiga unsur fundamental menjadi perekat bagi periode historis. Satu, unsur kebudayaan dan keberagamaan islamisasi Indonesia yang dimulai sejak tahun 1200 dan berlanjut sampai sekarang. Dua, unsur topik keadaan saling memengaruhi antara orang Indonesia dan orang Barat yang masih berlangsung hingga sekarang sejak tahun 1500. Tiga, unsur historiografi sumber-sumber primer bagi sebagian besar periode ini ditulis dalam bahasa-bahasa Indonesia modern (Jawa dan Melayu, bukan dalam bahasa Jawa Kuno atau Melayu Kuno) dan bahasa-bahasa Eropa.
Roda sejarah terus berputar dan Ricklefs terus memperbarui bukunya. Segala hal dalam periode sejak 1999 telah ditulis ulang secara substansial atau sama sekali baru. Kehadiran versi Indonesia ini terasa semakin lengkap karena pengarangnya khusus menuliskan perkembangan Indonesia sejak pemilu 2004 sampai tragedi Monas pada 1 Juni 2008.
Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, tetapi tetap jelas dan mendalam, meskipun membahas sejarah dan perkembangan Indonesia. Selain itu, buku ini juga menyajikan gambar-gambar pendukung materi, sehingga pembaca dapat merasakan cerita yang disampaikan. Buku ini dapat dibaca oleh semua orang yang menyukai sejarah Indonesia.
Dengan mendasarkan penelitiannya pada puluhan jurnal dan lebih dari lima ratus buku, Ricklefs mengisahkan perjalanan bangsa Indonesia dari zaman ke zaman yang penuh warna, lengkap dengan aneka persoalan dan pertikaian, baik internal maupun eksternalnya. Buku ini di balik struktur narasinya berusaha menjawab pertanyaan langkah komunitas-komunitas dari berbagai kepulauan Indonesia, dengan rupa-rupa etnis, bahasa, dan dalam negara-negara kerajaan yang terpisah-pisah, dapat bersatu menjadi sebuah bangsa modern.
Edisi pertama buku ini diterbitkan dalam bahasa Inggris pada 1981 dan telah beberapa kali diperbarui. Buku yang ada di tangan Anda ini adalah edisi terbaru dengan perubahan di hampir setiap bab yang mencerminkan masukan-masukan dari penelitian baru. M.C. Ricklefs adalah Profesor Sejarah di Universitas Nasional Singapore. Dia pernah mengajar di Sekolah Kajian Oriental dan Afrika (Universitas London) dan Universitas Monash, serta menjadi Direktur Sekolah Penelitian tentang Asia dan Pasific (Universitas Nasional Australia).
3. Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah
Perang di Indonesia tetap saja membangkitkan emosi yang tinggi generasi berikutnya di Belanda. Situasi tersebut tidak mengherankan. Saat itu, Belanda mengerahkan 220.000 serdadunya untuk suatu perang yang tidak dimenangkan dan yang sesudahnya disebut “salah”. Dalam debat umum tentang operasi militer Belanda yang paling besar, dibahas tentang tindakan kejahatan perang Belanda. Para veteran mendengarkan banyak suara mereka dalam perdebatan ini. Itu masuk akal, mereka ada di sana waktu itu, mereka mengalami realita yang sebenarnya, mereka tahu apa yang dibicarakan.
Buku ini didasarkan atas pelbagai surat, buku harian, buku kenangan, dan memoar mereka. Apa yang terungkap tentang tindak kejahatan perang itu sering kali mengejutkan. Namun, juga menyangkut tema-tema lain: ketegangan antara misi Belanda dan realita di tempat yang sulit dikendalikan; sikap mengerti atau tidak mengerti tentang orang-orang Indonesia dan perjuangan mereka untuk merdeka; frustrasi-frustrasi terhadap pimpinan militer dan politik; ketakutan, rasa dendam dan malu; kebosanan dan seks; merasa asing di tanah Hindia dan juga di rumah sepulang mereka ke negeri Belanda; kemarahan atas tahun-tahun yang hilang dan rasa kurang dihargai.
Dalam buku berjudul Serdadu Belanda di Indonesia 1945–1950, cerita-cerita dari para serdadu ini dikemukakan dalam konteks perang dekolonisasi yang lebih luas dan cara mengatasinya di Belanda.
- Dewi Sartika
- Fatmawati
- Contoh Historiografi Kolonial
- Kelebihan dan Kekurangan Orde Lama
- Kelebihan Masa Orde Lama
- Kolonialisme dan Imperialisme: Dampaknya yang Masih Terasa Hingga Kini
- Kongres Pemuda Pertama
- Pahlawan dari Sumatera Barat
- Pahlawan dari Sumatera Utara
- Peninggalan Hindu Budha
- Penyimpangan pada Masa Orde Lama
- Perbedaan BPUPKI dan PPKI
- Perbedaan Kolonialisme dan Imperialisme
- Sejarah Pendudukan Jepang di Hindia Belanda 1942–1945