Agama Islam

Bagaimana Bacaan Bilal Pada Shalat Idul Adha?

Written by Yufi Cantika

Bacaan Bilal Idul Adha – Apakah Grameds merasa tidak asing dengan istilah “bilal” dalam ibadah shalat? Yap, asal muasal istilah “bilal” ini berkaitan dengan sejarah sahabat Nabi Muhammad SAW yang merupakan seorang budak bernama Bilal bin Rabah. Memang, sosok Bilal bin Rabah ini awalnya adalah budak berkulit hitam yang berasal dari kaum Quraisy, yang kemudian dimerdekakan oleh Abu Bakar. Kala itu, Bilal disiksa oleh majikannya secara terus-menerus hanya karena dirinya ketahuan memeluk agama Islam. Nama Bilal kemudian diabadikan sebagai orang pertama yang sosok pertama yang mengumandangkan adzan.

Seiring perkembangan agama Islam, nama “Bilal” dianggap menjadi seseorang yang bertugas untuk mengumandangkan adzan sebelum dimulainya shalat fardhu. Bilal juga biasa disebut sebagai muadzin, sehingga tugasnya tidak hanya mengumandangkan adzan saja, tetapi juga memberi tahu tanda shalat alias iqomah. Keberadaan bilal ini tidak hanya pada shalat fardhu saja, tetapi juga pada shalat sunnah muakkad, salah satunya adalah shalat Idul Adha. Apabila dalam shalat Idul Adha ini, seorang bilal akan bertugas untuk melafalkan bacaan doa tertentu ketika “mengantarkan” khatib untuk naik ke mimbar. Lantas, bagaimana sih bacaan bilal saat diselenggarakannya shalat Idul Adha? Nah, supaya Grameds memahaminya, yuk simak ulasan berikut ini!

https://www.aljazeera.com/

Apa Itu Bacaan Bilal Idul Adha?

Pada dasarnya, bacaan bilal Idul Adha adalah sebuah bacaan pengantar yang dilakukan seorang bilal atau muadzin sebelum seorang khatib naik ke mimbar untuk menyampaikan khotbahnya pada saat shalat Idul Adha. Namun, tidak semua orang dapat menjadi seorang bilal ya, harus mereka yang memiliki suara jelas, lantang, dan enak didengar saja supaya para jamaah juga akan senang ketika mendengarkannya. Tidak hanya itu saja, ketika seorang bilal membacakan doa khusus ketika pelaksanaan shalat, harus secara tegas dan penuh semangat. Hal tersebut supaya para jamaah juga akan ikut bersemangat untuk beribadah. Jika pelaksanaan shalat Idul Adha itu diibaratkan sebagai acara, maka sosok bilal adalah MC alias pembawa acaranya. Sehingga bilal haruslah berapi-api untuk menyampaikan bacaannya sebelum khatib naik ke mimbar.

Baik pada shalat Jumat, shalat Idul Fitri, maupun shalat Idul Adha, sosok bilal diharuskan mereka yang memahami bacaan tarqiyyah. Menurut bahasa, istilah “tarqiyyah” ini memiliki definisi sebagai ‘menaikkan’, yang mana dapat diartikan sebagai ‘sebuah awalan sebagai penanda untuk menaikkan sang khatib untuk naik ke mimbar demi menyampaikan khotbahnya’. Tradisi pembacaan tarqiyyah ini sebenarnya adalah bid’ah hasanah (positif) dan sudah ada hukum yang mengaturnya ya…

Yap, pada zaman Nabi dan tiga khalifah setelahnya, memang tidak ada pelaksanaan bacaan bilal ini. Namun, seiring berkembangnya agama Islam, tradisi bacaan bilal ini dilakukan sebab isi kandungan bacaan tarqiyyah juga mengarah pada hal-hal yang positif. Dalam bacaan tarqiyyah ini selalu mencakup mengenai dalil-dalil akan anjuran umum yang mana telah ditegaskan oleh para ulama. Ada beberapa ulama yang menegaskan adanya bacaan bilal ini dapat diterapkan pada pelaksanaan shalat berjamaah yang terdapat kegiatan khotbah.

Menurut Syekh Syihabuddin al-Qalyubi

Syekh Syihabuddin al-Qalyubi telah mengatakan bahwa:

“(Sebuah cabangan permasalahan). Mengangkat muraqqi sebagaimana tradisi yang terlaku adalah bid’ah yang baik karena mengandung hal yang positif berupa anjuran membaca shalawat kepada Nabi dengan membaca ayat Al-Qur’an, anjuran diam saat khutbah dengan menyebutkan dalil hadits shahih yang dibaca Nabi dalam beberapa khutbahnya. Tidak ada dalil yang menyebutkan bahwa Nabi dan tiga khalifah setelahnya mengangkat seorang muraqqi.” (Syekh Syihabuddin al-Qalyubi, Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, Beirut, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2009, juz 1, halaman 419).

Menurut Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli

Lalu, ada juga Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli yang menegaskan mengenai tradisi dilakukannya muraqqi alias orang yang melafalkan bacaan tarqiyyah. Selain muadzin, seorang bilal juga dapat disebut sebagai muraqqi ya… Kala itu, Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli mengatakan bahwa,

“Maka dapat diketahui bahwa tarqiyyah adalah bid’ah akan tetapi bid’ah yang baik. Dalam pembacaan ayat suci Al-Qur’an (yang berkaitan anjuran membaca shalawat) merupakan sebuah peringatan dan motivasi untuk membaca shalawat kepada Nabi di hari Jumat ini yang dianjurkan untuk memperbanyak bacaan shalawat. Pembacaan hadits setelah adzan dan sebelum khutbah mengingatkan mukallaf untuk menjauhi perkataan yang diharamkan atau dimakruhkan pada waktu ini (saat khutbah) sesuai dengan ikhtilaf ulama dalam masalah tersebut. Dan sesungguhnya Rasulullah membaca hadits tersebut saat menyampaikan khutbahnya di atas mimbar”. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Ramli, Fatawa al-Ramli Hamisy al-Fatawa al-Kubra, juz.1, hal.276, Beirut-Dar al-Fikr, cetakan tahun 1983, tanpa keterangan cetak).

Menurut Syekh Sulaiman al-Jamal

Dilansir dari islam.nu, mengungkapkan bahwa Syekh Ibnu Hajar berpandangan bahwa tradisi adanya bilal atau muraqqi ini tidak bisa disebut sebagai bid’ah, bahkan keberadaan bacaan tarqiyyah pun hukumnya adalah sunnah. Hal tersebut karena tradisi ini ternyata memiliki dalil dalam hadits, yakni ketika tengah melakukan khutbah haji wada’. Kala itu, Nabi Muhammad SAW telah memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk memberikan instruksi kepada para jamaah supaya mendengarkan khutbah Nabi secara seksama. Pandangan tersebut dikutip oleh Syekh Sulaiman al-Jamal yang menegaskan bahwa:

“Syekh Ibnu Hajar berkata, saya mengatakan, dalil mengangkat muraqqi dari sunnah Nabi adalah bahwa Rasulullah memerintahkan seseorang untuk menginstruksikan manusia untuk diam saat beliau Nabi hendak menyampaikan khutbah Mina di Haji wada’, yang demikian ini adalah ciri khas dari seorang muraqqi, maka tradisi tarqiyyah sama sekali tidak masuk dalam kategori bid’ah.” (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal ‘ala Fath al-Wahhab, Beirut, Dar al-Fikr, tanpa tahun, juz 2, halaman 35).

Dari beberapa pandangan ahli tersebut, disimpulkan bahwa tradisi pembacaan tarqiyyah yang dilakukan oleh seorang bilal adalah harus dilestarikan, sebab bukanlah hal yang tercela. Maka dari itu, tidak ada dasar yang kuat yang melarang pelaksanaan bacaan bilal ini ketika shalat Idul Adha.

Bagaimana Bacaan Bilal pada Pelaksanaan Shalat Idul Adha?

Pada umumnya, terdapat tata cara khusus pada pelaksanaan shalat Idul Adha yang disertai pula dengan bacaan bilal, yakni sebagai berikut:

  1. Ketika imam sudah sampai di masjid, bilal akan segera berdiri untuk memberi aba-aba kepada jamaah bahwa shalat Idul Adha akan segera dimulai, yakni dengan bacaan:

  1. Imam segera menuju ke tempat imam (mihrab), lalu segera niat shalat Idul Adha disertai dengan bacaan takbiratul ihram. Untuk seorang imam, maka bacaan niat shalat Idul Adha adalah:

  1. Setelah bacaan takbiratul ihram, segera lanjutkan dengan doa iftitah. Lalu, mengumandangkan bacaan takbir sebanyak 7 kali pada rakaat pertama, kemudian 5 kali pada rakaat kedua. Setelah itu, membaca bacaan tasbih di sela-sela takbir, yakni:

  1. Setelah selesai mengumandangkan takbir sebanyak 7 kali, dilanjutkan dengan bacaan ta’awudz (bacaan untuk meminta perlindungan kepada-Nya dari gangguan setan). Lalu, surah Al-Fatihah dan surah-surah yang telah disunnahkan, biasanya adalah surah Qaf atau Al A’la pada rakaat pertama. Sementara surah Al-Qamar atau Al-Ghasyiyah pada rakaat kedua.
  2. Selesai melaksanakan shalat Idul Adha ini, bilal harus segera berdiri untuk memberikan aba-aba akan dimulainya khotbah. Disusul pula dengan bacaan shalawat sambil menyerahkan tongkat kepada imam. Bacaannya adalah sebagai berikut:

  1. Setelah itu, sang khotib menuju ke mimbar untuk berkhotbah kepada para jamaah.
  2. Kemudian, bilal membaca doa terlebih dahulu. Bacaan doanya adalah sebagai berikut:

  1. Selesai membaca doa, sang khotib mengucapkan salam kemudian duduk. Bacaan salam adalah sebagai berikut:

  1. Lalu, bilal harus mengumandangkan takbir sebanyak 3 kali. Bacaan takbir adalah sebagai berikut:

  1. Kemudian, sang khotib akan melaksanakan khutbah pertamanya. Lalu, setelah selesai, khotib akan duduk sejenak. Disusul bilal membaca shalawat,

  1. Setelah bacaan shalawat sudah selesai, maka sang khotib akan melanjutkan khutbahnya yang kedua hingga selesai.

Hikmah Melaksanakan Shalat Idul Adha

Secara tidak langsung, peristiwa besar yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail tersebut dimaknai sebagai pesan simbolik agama, yang pasti mengandung tiga hal pembelajaran, yakni:

1. Ketaqwaan

Pengertian “taqwa” itu berkaitan dengan ketaatan seorang Hamba kepada Sang Pencipta dalam upaya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam hal ini, Nabi Ibrahim memiliki tingkat rasa ketaqwaan yang tinggi, sebab dirinya tetap melaksanakan perintah-Nya, sekalipun itu menyembelih anaknya sendiri. Atas ketaqwaan Nabi Ibrahim, kemudian Allah SWT menggantikan anaknya untuk disembelih dengan seekor domba.

2. Aspek Sosial (Hubungan Antar Manusia)

Dalam hal ini, dapat dilihat melalui proses pembagian daging kurban kepada para fakir miskin. Agama Islam mengajarkan kita untuk tetap mengedepankan rasa solidaritas dengan sesama manusia. Ketika puasa, kita secara tidak langsung merasakan bagaimana susahnya seorang dhuafa untuk memenuhi urusan perutnya.

Lalu, ketika kita memberikan hewan kurban untuk disembelih, daging hewan tersebut nantinya akan dibagikan kepada para fakir miskin sebagai bentuk kepedulian sosial seorang muslim kepada sesamanya. Hal ini juga memperlihatkan bahwa ciri khas dari agama Islam adalah mengajarkan untuk saling tolong-menolong.

3. Peningkatan Kualitas Diri

Dalam hal ini berkaitan dengan sikap empati, kesadaran diri, hingga pengendalian diri sebagai akhlak terpuji seorang Muslim.

Hal-Hal Mengenai Penyembelihan Hewan Kurban

1. Disyariatkan Bagi Setiap Keluarga

Dalam hal ini mengacu pada sebuah hadis. Imam Ahmad, Abu Dawud dan An-Nasa’i dari hadis Mikhna bin Salim, bahwa dia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda: “Wahai sekalian manusia atas semua keluarga pada setiap tahun wajib ada sembelihan (udhiyah).”

2. Kurban Paling Sedikit Adalah Seekor Kambing

Hal ini berdasarkan pada hadis Al-Mahally yakni “unta dan sapi cukup untuk tujuh orang. Sedangkan seekor kambing mencukupi untuk satu orang.”

3. Waktu Penyembelihan Kurban Adalah Setelah Melaksanakan Shalat Ied Idul Adha

Hal ini berdasarkan pada hadis Nabi Muhammad SAW yang bersabda: “Barangsiapa menyembelih sebelum salat, hendaklah menyembelih sekali lagi sebagai gantinya, dan siapa yang belum menyembelih hingga kami selesai salat, maka menyembelihlah dengan Bismillah.”

4. Sembelihan Terbaik Adalah yang Paling Gemuk

Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Rafi’ yang bersabda: “Bahwa Nabi Muhammad SAW bila berkurban, Beliau membeli dua gibas (kambing) yang gemuk.”

5. Umur Kambing Harus Kurang Dari Satu Tahun

Hal ini berdasarkan pada hadits Jabir dalam riwayat Muslim, yang berkata, Bersabda Rasulullah: “Janganlah engkau menyembelih melainkan musinnah (kambing yang telah berumur dua tahun) kecuali bila kesulitan maka sembelihlah Jadzu (kambing yang telah berumur satu tahun.)

6. Tidak Mencukupi Selain dari Ma’zun

Ma’zun adalah sejenis kambing yang kurang dari dua tahun. Hal ini berdasarkan pada hadits Abu Burdah dalam shahihain dan lainnya, yang berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya saya mempunyai hewan ternak ma’zun jadz’u. Lalu Beliau berkata: Sembelihlah, dan tidak boleh untuk selain mu…”

7. Hewan Kurban Tidak boleh Sakit dan Cacat

Dalam hal ini, hewan kurban tidak boleh buta sebelah, sakit, pincang, kurus, hingga hilang setengah tanduk atau telinganya. Berdasarkan pada hadits Al-Barra yang berkata, bersabda Rasulullah SAW: “Empat yang tidak diperbolehkan dalam berkurban,  (hewan kurban) buta sebelah yang jelas butanya, sakit yang jelas sakitnya, pincang yang jelas bengkoknya dan tidak sanggup berjalan, dan yang tidak mempunyai lemak (kurus)”.

8. Bersedekah dari Udhiyah, Memakan, dan Menyimpan Dagingnya

Berdasarkan hadits Aisyah RA “Bahwa Nabi saw bersabda Makanlah, simpanlah dan bersedekahlah”

9. Menyembelih di Mushalla

Tepatnya di lapangan yang digunakan untuk salat ied, adalah hal utama. Untuk menampakkan syi’ar agama, berdasarkan hadits Ibnu Umar dari Nabi saw: Bahwa beliau menyembelih dan berkurban di Mushola”. 

10. Bagi Pemilik Hewan Kurban, Tidak Diperbolehkan Untuk Memotong Rambut dan Kukunya

Larangan tersebut tepatnya dilakukan setelah masuknya 10 Dzulhijjah hingga waktu dia berkurban. Berdasarkan hadits Ummu Salamah, bahwa RA bersabda.”Apabila engkau melihat bulan Dzul Hijjah dan salah seorang kalian hendak berkurban, maka hendaklah dia menahan diri dari rambut dan kukunya”.

Sumber:

https://islam.nu.or.id/

Ta’mir Masjid Baitus Salam (http://tmbsalamjunwangi.wordpress.com/)

Baca Juga!

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika