Biografi

Biografi Sultan Hamid II: Riwayat Keluarga dan Karier Politiknya

Biografi Sultan Hamid II
Written by Fandy A

Biografi Sultan Hamid II – Sahabat Gramed, apakah kalian mengenal sosok yang satu ini? Namanya memang kerap dianggap sebagai sosok antagonis dalam sejarah Indonesia. Segelintir orang saja yang tahu jika dia adalah perancang lambang negara Elang Rajawali–Garuda Pancasila, yang saat ini menjadi lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Garuda Pancasila.

“Mungkin inilah yang dapat saya sumbangkan kepada bangsa saya, dan mudah-mudahan sumbangan pertama saya (lambang negara) ini bermanfaat bagi negara yang dicintai oleh kita”.

Itulah kata-kata yang diucapkan Sultan Hamid II ketika menyerahkan arsip Rancangan Lambang Negara kepada Mas Agung, Ketua Yayasan Idayu, Jakarta pada 18 Juli 1974. Republik Indonesia Serikat (RIS) sendiri menetapkan Elang Rajawali–Garuda Pancasila sebagai lambang negara pada 11 Februari 1950.

Selanjutnya, gambar rancangan asli Lambang Negara Indonesia itu kemudian ditetapkan sebagai Benda Cagar Budaya Nasional lewat Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 204/M/2016 pada 26 Agustus 2016 lalu. Kini, posisi lambang negara sejajar dengan bendera kebangsaan merah putih dan lagu kebangsaan Indonesia Raya.

Perjalanan karier politik dari Sultan Hamid II memang terbilang singkat dan penuh dengan lika-liku. Hal ini dikarenakan dia merupakan sosok pro Belanda maupun Indonesia, terlebih ketika bangsa ini ingin mendapatkan kemerdekaannya atas pendudukan Belanda di Indonesia.

Anggapan umum yang terbentuk mengenai dirinya adalah seseorang yang pernah “terseok dalam kecelakaan sejarah” atau bahkan lebih ekstrim lagi seorang “mantan terpidana kasus politik”. Namun, benarkah demikian “cap sejarah”?

Tidak adakah sisi positif atas sumbangsihnya yang patut diakui dan mendapatkan penghargaan secara jujur dalam perjalanan sejarah bangsa? Apakah fakta-fakta sejarah atas karya kebangsaannya memang telah tenggelam bersama kemelut politik masa lalu, sehingga perannya tidak terangkat ke permukaan?

Sultan Hamid II memang berwajah ganda dalam karier politiknya. Dia pro untuk Belanda ketika beberapa jabatan yang cukup prestisius mampu dicapainya. Salah satunya adalah menjadi Ketua Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) atau Permusyawaratan Negara-Negara Federal, yang menjadi produk Belanda.

Namun, perannya bagi Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) tidaklah semata-mata memperjuangkan BFO dan federalisme. Dia mampu membujuk Ratu Juliana agar Belanda bersedia menyerahkan kedaulatan seluruh wilayah bekas jajahannya di Hindia Belanda kepada RIS.

Pada 27 Desember 1949, Ratu Juliana secara resmi menyerahkan kedaulatan Hindia Belanda kepada ketua delegasi Indonesia, yaitu Mohammad Hatta, dalam pertemuan di Istana Dam, Amsterdam.

Itulah sedikit bukti kelihaian diplomasi dari Sultan Hamid II, yang juga pernah menjadi Ajudant in Buitenfgewone Dienst bij HN Koningin der Nederlanden (Ajudan dalam Pelayanan Luar Biasa kepada Paduka Ratu Belanda), yaitu sebuah pangkat tertinggi sebagai asisten ratu Kerajaan Belanda.

Setelah diakui keberadaannya oleh dunia internasional, transisi berdirinya Indonesia kemudian memang menuai konflik pemikiran dalam menggagas bentuk negara. Konflik pemikiran tersebut lahir dari adanya ketidaksepahaman antara konsep “negara persatuan” (federalis) dan konsep “negara kesatuan” (unitaris).

Sultan Hamid II dalam berpolitik dan memperjuangkan kemerdekaan sebuah bangsa dan negara, percaya bahwa Kepulauan Melayu (Indonesia saat ini) lebih tepat menggunakan sistem federal dalam sistem ketatanegaraannya.

Namun, dia memperoleh tentangan dari kaum republiken (unitaris) saat itu yang banyak berada di Pulau Jawa (terutama Yogyakarta) yang menginginkan dominasi sentralistik atau sistem kesatuan (unitarisme).

Untuk lebih jelas dalam mengenal sosok yang satu ini, mari kita simak bersama-sama penjelasan singkat mengenai riwayat hidup dari Syarif Abdul Hamid Alkadrie atau Sultan Hamid II berikut.

Riwayat Keluarga Sultan Hamid II

Jika kita membicarakan Sultan Hamid II dalam tataran sejarah kenegaraaan Indonesia, kita sebenarnya tak dapat memisahkan keberadaan Kesultanan Qadriyah Pontianak, yang merupakan satu-satunya kesultanan termuda di kawasan Nusantara, khususnya di Kalimantan Barat. Kesultanan ini didirikan pada 23 Oktober 1771.

Sultan Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie atau yang biasa disebut dengan nama Sultan Hamid II dan Syarif Hamid II dari Pontianak, adalah sultan ke-7 Kesultanan Qadriyah Pontianak (1945–1978). Dia dilahirkan di Pontianak, Kalimantan Barat pada 12 Juli 1913, bertepatan  dengan 7 Sya’ban 1331 H.

Dia adalah putra dari Sultan Pontianak ke-6, Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie dari istri ketiganya yang bernama Syecha Jamilah Syarwani. Sultan Hamid II mempunyai saudara kandung bernama Syarif Machmud Al-Qadrie, ayah dari Syarif Abubakar Al-Qadrie yang kini menjadi Sultan Pontianak. Selain itu, dia masih mempunyai tujuh orang saudara seayah dari lain ibu.

Sewaktu masih kecil, dia diasuh oleh seorang gouvernante (pengasuh pendidik) wanita kebangsaan Inggris bernama Miss Fox, yang selalu memanggilnya dengan nama Max. Sultan Hamid II dibesarkan di lingkungan Istana Qadriyah, Kesultanan Pontianak. Dia adalah keturunan dari pendiri Negeri Pontianak bernama Sultan Syarif Abdurrahman Al-Qadrie.

Syarif Abdurrahman Al-Qadrie menjadi sultan pertama Kesultanan Pontianak sejak 1 September 1778 hingga 28 Februari 1808. Gelarnya sebagai sultan kemudian digantikan oleh anaknya, Sultan Syarif Kasim Al-Qadrie (1808–1819).

Selanjutnya, berturut-turut digantikan oleh Sultan Syarif Usman Al-Qadrie (1819–1855) sebagai sultan ketiga, Sultan Syarif Hamid Al-Qadrie (1855–1872) sebagai sultan keempat, Sultan Syarif Yusuf Al-Qadrie (1872–1895) sebagai sultan kelima, dan Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie (1895–1944) sebagai sultan keenam.

Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie bertakhta dari 15 Maret 1895 hingga ditangkap dan dibunuh tentara Jepang pada 24 Juni 1944. Setelah masa interregnum (kekosongan pemerintahan) dari 24 Juni 1944–23 Oktober 1945, karena kedudukan Jepang di Kalimantan Barat dan bersamaan dengan masa Perang Dunia II, Syarif Abdul Hamid Al-Qadrie (Sultan Hamid II) diangkat menjadi Sultan Pontianak ketujuh.

Ketika Jepang mengalahkan Belanda dan Sekutu pada 10 Maret 1942, dia turut tertawan sampai bulan Agustus 1945. Dia dibebaskan ketika Jepang menyerah kepada Sekutu dan mendapat kenaikan pangkat menjadi kolonel.

Ketika ayahnya mangkat karena korban agresi Jepang, dia diangkat menjadi Sultan Pontianak menggantikan ayahnya pada 29 Oktober 1945 dengan gelar Sultan Hamid II. Pengangkatannya sebagai sultan ketujuh Kesultanan Pontianak dikarenakan dia memang satu-satunya putra dari Sultan Syarif Muhammad Al-Qadrie yang selamat dari penangkapan dan pembunuhan Jepang.

Karier Politik dan Sumbangsih Sultan Hamid II bagi Indonesia

1. Dewan Formatur Kabinet RIS dan Menteri Negara Portofolio Tahun 1949

Foto Kabinet Republik Indonesia Serikat (RIS).

Melalui Surat Keputusan Presiden RIS No. 1 Tahun 1949 tanggal 18 Desember 1949, Sultan Hamid II ditunjuk sebagai salah seorang kabinet formatur bersama-sama dengan Drs. Mohammad Hatta, Ide Anak Agung Gde Agung, dan Sri Sultan Hamengkubuwana IX.

Selanjutnya, melalui surat Keputusan Presiden RIS No. 2 Tahun 1949 tanggal 20 Desember 1949, Sultan Hamid II diangkat menjadi Menteri Negara Portofolio bersama-sama dengan:

  • Drs. Mohammad Hatta sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Luar Negeri;
  • Ide Anak Agung Gde Agung sebagai Menteri Dalam Negeri;
  • Sri Sultan Hamengkubuwana IX sebagai Menteri Pertahanan;
  • Prof. Mr. Dr. Soepomo sebagai Menteri Kehakiman;
  • Arnold Mononutu sebagai Menteri Penerangan;
  • Mr. S. Prawiranegara sebagai Menteri Keuangan;
  • Ir. Djuanda sebagai Menteri Kemakmuran;
  • Ir. H. Laoh sebagai Menteri Perhubungan, Tenaga, dan Pekerjaan Umum;
  • Mr. Wilopo sebagai Menteri Perburuhan;
  • Mr. Mohammad Kosasih Purwanegara sebagai Menteri Sosial;
  • Dr. Abu Hanifah sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan;
  • Dr. Johannes Leimena sebagai Menteri Kesehatan;
  • K.H. Wahid Hasjim sebagai Menteri Agama;
  • Mr. Mohammad Roem sebagai Menteri Negara;
  • Dr. Suparmo sebagai Menteri Negara.

Pada 14 Desember 1949, diadakan sidang pemilihan Presiden RIS di Gedung Kepatihan, Yogyakarta oleh wakil dari 16 Negara Bagian. Sidang itu dipimpin oleh Mohammad Roem dan Ide Anak Agung Gde Agung. Selanjutnya, diadakan pemilihan Presiden RIS dengan calon tunggal Ir. Soekarno pada 16 Desember 1949.

Ir. Soekarno akhirnya terpilih sebagai Presiden RIS, yang kemudian dilantik dan diambil sumpahnya pada 17 Desember 1949 di Bangsal Sitinggil, Yogyakarta.

Pada 23 Desember 1949, delegasi RIS yang diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta dengan anggota Sultan Hamid II, Sujono Hadinoto, Dr. Suparno, Dr. Kusumaatmaja, dan Prof Dr. Supomo berangkat ke Belanda.

Pemerintah Belanda kemudian menyerahkan kedaulatan atas Indonesia kepada RIS pada 27 Desember 1949. Acara penyerahan kedaulatan dilangsungkan di dua tempat, yaitu di Belanda oleh Ratu Juliana selaku Ratu Belanda, Perdana Menteri Willem Dress, dan Menteri Seberang Lautan A.M.J.M. Sassen kepada Drs. Mohammad Hatta selaku pemimpin delegasi Indonesia (RIS).

Adapun penyerahan kedaulatan kedua dilakukan di Jakarta. Pesertanya terdiri atas Wakil Tinggi Mahkota A.H.J. Lovink yang menyerahkan kedaulatan kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IX selaku wakil pemerintah RIS.

Bersamaan dengan itu, Ir. Soekarno di Yogyakarta menerima penyerahan kedaulatan Republik Indonesia ke dalam RIS dari Pejabat Presiden RI Mr. Assaat.

Terhitung sejak tanggal 28 Desember 1949 pusat pemerintahan RIS (ibu kota) berada di Jakarta, sedangkan ibu kota Negara Republik Indonesia (NRI) sebagai salah satu negara bagian RIS tetap berada di Yogyakarta.

Memasuki awal tahun 1950, dicatat sebagai masa-masa yang penting bagi Sultan Hamid II, karena sangat menentukan kariernya di pentas percaturan politik nasional di kemudian hari.

2. Panitia Lambang Negara Tahun 1949

Sultan Hamid II ditetapkan menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio atau tanpa tugas khusus (tanpa departemen) dalam Kabinet Perdana Menteri Mohammad Hatta, berdasarkan Surat Keputusan Presiden RIS, Ir. Soekarno, Nomor 2 Tahun 1949, tanggal 20 Desember 1949.

Sebagai Menteri Negara Zonder Portofolio, Sultan Hamid II hanya diberi tugas mempersiapkan berbagai kebutuhan sidang kabinet dan ditugaskan mengkoordinasikan perancangan Lambang Negara. Penetapan personel anggota kabinet dilakukan Ir. Soekarno tujuh hari sebelum dilakukan penyerahan kedaulatan secara resmi dari Kerajaan Belanda kepada RIS.

Selaku Menteri Negara, Sultan Hamid II teringat ucapan Ir. Soekarno, bahwa hendaknya lambang negara mencerminkan pandangan hidup bangsa dan dasar negara Indonesia. Sila-sila dari dasar negara, yaitu Pancasila, divisualisasikan dalam lambang negara.

Pada 10 Januari 1950, dibentuk panitia teknis dengan nama Panitia Lambang Negara di bawah Koordinator Menteri Negara Zonder Portofolio Sultan Hamid II dengan susunan panitia teknis, yaitu Muhammad Yamin sebagai ketua serta Ki Hajar Dewantara, M.A. Pellaupessy, Mohammad Natsir, dan R.M. Ng. Poerbatjaraka sebagai anggota.

Panitia ini bertugas menyeleksi usulan rancangan lambang negara untuk dipilih dan diajukan kepada pemerintah.

3. Perancang Lambang Negara Tahun 1949

Ir. Soekarno pada 22 Juli 1958 berpidato di hadapan sidang di Istana Negara dalam rangka sosialisasi Peraturan Pemerintah No. 43 Tahun 1958 tentang Penggunaan Lambang Negara, yang diundangkan oleh Menteri Kehakiman G.A. Maengkom.

Dalam Lembaran Negara No. 71 Tahun 1958 dan penjelasannya dalam Tambahan Lembaran Negara No. 1636 Tahun 1958, dengan bangga beliau berkali-kali menunjuk lambang yang tergantung di depan para hadirin:

Saudara-saudara, lihatlah Lambang Negara kita di belakang ini. Alangkah megahnya. Alangkah hebatnya dan cantiknya. Burung Elang Rajawali, Garuda yang sayap kanan dan sayap kirinya berelar 17 buah, dengan ekor berelar 8 buah, tanggal 17 bulan 8, dan yang berkalungkan perisai yang di atas perisai itu tergambar Pancasila, yang di bawahnya tertulis seloka buatan Empu Tantular “Bhinneka Tunggal Ika”, Bhinneka Tunggal Ika “berjenis-jenis tetapi tunggal”.

Garuda Pancasila yang diresmikan 11 Februari 1950, tanpa jambul dan posisi cakar masih di belakang pita.

RIS menetapkan Elang Rajawali–Garuda Pancasila sebagai Lambang Negara terhitung sejak 11 Februari 1950. Empat hari kemudian pada 15 Februari 1950, Ir. Soekarno memperkenalkan untuk pertama kali lambang negara tersebut kepada khalayak umum di Hotel Des Indes (sekarang Pertokoan Duta Merlin, Jalan Gadjah Mada, Jakarta Pusat).

Inilah karya terbesar Sultan Hamid II yang ditugaskan secara khusus oleh Ir. Soekarno untuk merancang lambang negara, setelah diangkat menjadi Menteri Negara Zonder Portofolio, terhitung 20 Desember 1949.

Dalam kaitan penetapan Lambang Negara tersebut dilaksanakan pameran di Hotel Des Indes, Jakarta. Pameran itu digagas langsung Ir. Soekarno sebagai rasa puas yang teramat dalam darinya terhadap proses pembuatan Lambang Negara Elang Rajawali–Garuda Pancasila oleh Sultan Hamid II, Sultan Pontianak–Kalimantan Barat.

Hotel Des Indes dipilih sebagai tempat pameran karena pada masa itu dikenal sebagai hotel paling mewah dan bergengsi di Jakarta. Beroperasi mulai tahun 1856 sampai 1950 di Weltevreden, Batavia (Jakarta). Banyak peristiwa penting yang dilaksanakan di Hotel Des Indes, antara lain sebagai tempat ditandatangani perjanjian Roem-Roijen pada 7 Mei 1949.

Dikarenakan alasan politik, cukup lama Sultan Hamid II tidak diakui sebagai perancang Lambang Negara Indonesia (Elang Rajawali–Garuda Pancasila).

Pengakuan resmi Pemerintah Republik Indonesia terhadap karya Sultan Hamid II sebagai Perancang lambang Negara Indonesia, ditandai dengan langkah Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia dan Museum Konferensi Asia Afrika, di Bandung, Provinsi Jawa Barat, menerbitkan buku kecil berwarna, ukuran 11 sentimeter x 20 sentimeter, setebal 48 halaman pada awal tahun 2012.

Buku saku itu menyebutkan bahwa rancangan yang dibuat oleh Sultan Hamid II dipilih oleh Ir. Soekarno sebagai Lambang Negara, yang kemudian dikenal dengan Garuda Pancasila.

Ada empat pihak yang paling berperan dalam memperkuat bukti sejarah bahwa Sultan Hamid II merupakan Perancang Lambang Negara Garuda Pancasila, antara lain:

Pertama, Ketua Dewan Pembina Yayasan Sultan Hamid II (Sultan Hamid II Foundation), yang juga seorang Sekretaris Pribadi Sultan Hamid II, yaitu Max Yusuf Al-Qadrie yang masih sangat rapi menyimpan data dan dokumen-dokumen pendukung peninggalan Sultan Hamid II.

Kedua, Solichin Salam, seorang Wartawan Harian Pagi Buana Jakarta, yang mendapat dokumen penting dari Sultan Hamid II. Sultan Hamid II memintanya agar  bahan yang dikirim dapat dipublikasiskan di Harian Berita Buana.

Djangan pasang lambang negara di rumahmu sebelum diakui lambang itu oleh negara gambar rantjangan saja,” tulis surat Sultan Hamid II kepada Solichin Salam di Jakarta pada 15 April 1967.

Nah, itulah penjelasan singkat mengenai Riwayat Keluarga, Karier Politik, dan Sumbangsih Sultan Hamid II bagi Indonesia. Menghargai jasa para tokoh-tokoh bangsa, seperti halnya Sultan Hamid II tidak hanya dengan mengenang dalam hati dan berterima kasih, melainkan juga dengan meneladani sikap dan perbuatan mereka.

Grameds dapat mengunjungi koleksi buku Gramedia di www.gramedia.com untuk memperoleh referensi tentang para pahlawan-pahlawan yang lain, mulai dari latar belakang kehidupannya, pendidikan, dan riwayat perjuangannya.

Berikut ini rekomendasi buku Gramedia yang bisa Grameds baca untuk mempelajari tentang sejarah Indonesia agar bisa memaknainya secara penuh. Selamat membaca.

Temukan hal menarik lainnya di www.gramedia.com. Gramedia sebagai #SahabatTanpaBatas akan selalu menampilkan artikel menarik dan rekomendasi buku-buku terbaik untuk para Grameds.

Penulis: Fandy Aprianto Rohman

Rekomendasi Buku & Artikel Terkait

About the author

Fandy A

Mengetahui hal-hal terbaru sangatlah menarik dan juga tidak ketinggalan dengan informasi terbaru. Ada banyak informasi terbaru yang selalu menarik untuk ditulis, salah satunya adalah biografi.