Sosiologi

Konsep dan Dampak Labeling pada Diri Seseorang

Written by Aris

Sesama manusia seharusnya tidak saling melabeli yang liyan dengan hal buruk. Misalnya, seorang anak narapidana akan disebut sebagai “anak penjahat” padahal ia sesungguhnya memiliki sifat lemah lembut, ramah, dan baik kepada semua orang.

Manusia gemar sekali melabeli sesamanya tanpa melihat dirinya terlebih dahulu. Apakah ia lebih baik dari orang yang dilabeli? Apa haknya melabeli orang lain? Jika ia dilabeli dengan suatu label yang diberikana apakah akan marah?

Pelabelan manusia ini dapat dikasi melalui teori labeling. Teori tersebut akan mengupas secara tuntas mulai dari pengertian sampai dampak labeling. Grameds dapat menyimak penjelasannya yang telah dirangkum dari berbagai sumber sebagai berikut.

Konsep Teori Labeling

Labeling merupakan suatu teori yang muncul karena reaksi masyarakat terhadap perilaku seseorang yang dianggap menyimpang. Kemudian, ia akan dicap atau diberi label oleh lingkungan sosialnya.

Menurut Lemert, labeling merupakan pemberian julukan, cap, etiket, merek yang diberikan masyarakat kepad seseorang. Lebih lanjut Lemart mengatakan bahwa awal seseorang melakukan penyimpangan, disebut sebagai penyimpangan primer (primary deviation).

Sebagai tanggapan terhadap pemberian cap oleh orang lain maka si pelaku penyimpangan primer kemudian mendefinisikan dirinya sebagai penyimpang dan mengulangi lagi perbuatan menyimpang yang kemudian melakukan penyimpangan sekunder (secondary deviation), sehingga mulai menganut suatu gaya hidup menyimpang (deviant life style) yang menghasilkan karir menyimpang (deviant career).

Teori labeling memaparkan mengenai penyimpangan terutama ketika perilaku telah sampai pada tahap penyimpangan sekunder (second deviance). Teori ini tidak berusaha untuk menjelaskan alasan individu-individu tertentu tertarik atau terlibat dalam tindakan menyimpang. Namun, lebih difokuskan pada pentingnya definisi-definisi sosial negara.

Definisi-definisi tersebut telah dihubungan dengan tekanan-tekanan individu untuk masuk dalam tindakan yang lebih menyimpang. Analisis mengenai pemberian cap difokuskan pada reaksi orang lain.

Artinya ada orang-orang yang memberi definisi, julukan, atau pemberi label (definers/labelers) pada individu-individu atau tindakan yang menurut penilaian orang tersebut adalah negatif. Penyimpangan tidak ditetapkan berdasarkan norma, tetapi memalui reaksi atau sanksi dari penonton sosialnya.

Dengan adanya cap atau labeling yang diberikan kepada diri seseorang maka ia akan cenderung mengembangkan konsep yang menyimpang (disebut juga sebagai proses reorganisasi psikologis) dan kemungkinan akan berakibat pada suatu karier yang menyimpang di masa depan.

“Menurut para ahli, teori labeling mendefinisikan penyimpangan merupakan sesuatu yang bersifat relatif dan bahkan mungkin juga membingungkan. Karena untuk memahami apa yang dimaksud sebagai suatu tindakan menyimpang harus diuji melalui reaksi orang lain. Oleh karena itu, becker salah seorang pencetus teori labeling, mendefinisikan penyimpangan sebagai suatu konsekuensi dari penerapan aturan-aturan dan sanksi oleh orang lain kepada seorang pelanggar”.

Perspektif labeling mengetengahkan pendekatan interaksionisme dengan berkosentrasi pada konsekuensi interaksi antara penyimpang dengan agen kontrol sosial. Teori ini memperhitungkan bahwa pelaksanaan kontrol sosial berdampak pada penyimpangan karena pelaksanaan kontrol sosial tersebut menyebabkan mendorong orang masuk ke dalam peran penyimpang.

Ditutupnya peran konvensional bagi seseorang dengan pemberian stigma dan label, menyebabkan orang tersebut dapat menjadi penyimpang sekunder, khususnya dalam mempertahankan diri dari pemberian label. Untuk masuk kembali ke dalam peran sosial konvensional yang tidak menyimpang adalah berbahaya dan individu merasa teralienasi.

Menurut teori labeling, pemberian sanksi dan label yang dimaksudkan untuk memberikan kontrol terhadap penyimpangan, tetapi ternyata menghasilkan sebaliknya. Teori labeling memberikan tawaran mengenai pemahaman bagaimana anggota masyarakat mengadopsi peran menyimpang. Kemudian, dibentuklah lembaga-lembaga sosial sebagai fungsi kontrol sosial untuk menghentikannya.

Sosiologi Gender

https://www.gramedia.com/products/excel-troubleshooting-100-masalah-microsoft-excel-dan-solusinya?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

Contoh Labeling

Melansir dari laman kompas.com, berikut contoh labeling yang sering dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.

  • Anak yang tidak sengaja mengambil barang milik orang lain akan dicap sebagai “pencuri”.
  • Anak dari seorang narapidana akan dicap sebagai “anak penjahat”.
  • Anak yang lahir di luar pernikahan dicap sebagai “anak haram”.
  • Remaja yang sesekali melanggar peraturan diberikan label sebagai “anak bandel”.
  • Siswa yang sering mengerjakan tugas dilabeli sebagai “anah rajin”.
  • Pekerja yang selalu menyelesaikan pekerjaan sesuai dengan tenggat waktu dilabeli sebagai “pekerja keras yang rajin”.

Dampak Labeling Bagi Korban

Labeling memberikan dampak bagi orang tersebut. Melansir dari laman kompas.com, berikut dampak labeling yang berkonotasi negatif (maka memberikan dampak yang sifatnya negatif pula).

  • Memberikan Pengaruh Mental

Labeling memberikan dampak ke mental orang yang diberikan label. Seperti kehilangan kepercayaan diri, merasa selalu dipandang sebelah mata atau diremehkan, selalu berpikiran negatif, dan lain sebagainya.

  • Membuat Pihak yang Diberi Label Semakin Merasa Diasingkan

Labeling membuat pihak yang diberikan label akan merasa diasingkan atau dianggap tidak ada. Hal ini dapat terjadi karena label itu akan membatasi interaksi serta hubungan sosial antara yang diberi label dengan masyarakat sekitarnya.

  • Menyimpang Secara Terus Menerus

Labeling secara negative dapat membuat pihak yang diberikan label terus menerus berbuat hal yang sama atau terus menyimpang. Tidak peduli dengan label buruk yang disematkan pada dirinya.

  • Menciptakan Stigma Buruk

Labeling yang sifatnya negatif akan secara terus menerus melahirkan stigma buruk bagi pihak yang diberikan label. Akibatnya, orang tersebut akan semakin dikucilkan dari kehidupan sosial. Ia akan dicap sebagai orang yang buruk bagaimanapun usahanya untuk mengubah hal tersebut berpotensi mengalami kesia-siaan.

Dampak Labeling Terhadap Kesehatan Mental

Secara khusus, labeling pada seseorang berdampak pada kesehatan mental. Berikut dampak labeling terhadap kesehatan mental yang telah dirangkum dari laman sehat1.com.

1. Merasa Diri Kurang Berharga

Ketika label negatif telah melekat maka rasa rendah diri akan muncul. Label tersebut akan membuat orang percaya bahwa cap yang dilekatkan kepadanya (orang yang terlabeli) adalah kenyataan yang harus diterima.

2. Terbawa Stigma yang Melekat

Label yang melekat akan melahirkan sebuah stigma. Seseorang yang dilabeli dengan stigma negatif akan merasakan berbagai emosi negatif. Seperti rasa malu, rasa bersalah, bahkan depresi.

3. Membuat Seseorang Mengisolasi Diri dari Kehidupan Sosial

Seluruh emosi negative yang dirasakan akan memicu orang yang dilekatkan dengan satu atau lebih label, menarik diri dari kehidupan sosial. Hal ini dilakukan sebagai salah satu cara melindungi diri dari berbagai konsekuensi menyakitkan yang akan atau telah terjadi.

Labeling yang berujung pada stigma dapat memicu adanya diskriminasi pada banyak hal. Labeling negatif dapat membuat seseorang sulit mencari pekerjaan, dianggap sebelah mata oleh orang lain, bahkan lebih rentan menerima persekusi.

4. Kemampuan Tidak Berkembang dan Tidak Bebas Melakukan Aktivitas

Ketika rasa percaya diri telah hilang maka akan membuatnya juga kehilangan kesempatan, termasuk untuk belajar. Dalam jangka panjang, labeling dapau membuat seseorang malu untuk belajar. Sehingga, kemampuannya tidak berkembang.

Hal tersebut juga berdampak pada ketidakbebasan seseorang untuk mengeskplorasi diri. Sehingga, kemampuannya tidak berkembang dan membuatnya memiliki keterbatasan kemampuan.

5. Rasa Percaya Diri Menjadi Rendah

Salah satu hal negatif dari labeling adalah menurunkan bahkan menghilangkan kepercayaan diri baik orang dewasa ataupun anak-anak. Sebagai contoh, anak yang salah menjawab pertanjaan di kelas. Kemudian, huru dan teman-temannya menertawakan.

Hal tersebut, secara tidak langsung memberikan label bodoh. Tentu, hal ini akan membuat anak tidak memiliki keberanian lagi untuk menjawab pertanyaan guru di depan teman-temannya. Rasa percaya diri telah hilang.

Statistik Non-Parametrik Model Analisis Diskriminan Berganda

https://www.gramedia.com/products/excel-troubleshooting-100-masalah-microsoft-excel-dan-solusinya?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

Strategi Membangun Kepercayaan Diri

Labeling membuat kepercayaan diri seseorang akan hilang. Namun, ia tentu dapat dibangun meskipun susah payah. Berikut tips atau strategi untuk membangun kepercayaan diri yang telah dirangkum dari laman alodokter.com.

1. Bangun Pola Pikir Positif

Berpikir positif dapat membantu seseorang yang terlabeli mampu untuk mengubah pandangan dirinya menjadi lebih baik. Jika ragu untuk membentuk pola pikir positif dan growth mindset dalam diri dengan mengatakan. “Saya bisa belajar dan melakukan ini jika saya mau”.

2. Kenali Kekurangan dan Kelebihan Diri

Dengan menanamkan pada diri bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masng-masing maka akan membuat hidup menjadi lebih damai. Ketika melakukan sebuah kesalahan atau memiliki kekurangan harus diterima dan menganggap bahwa hal tersebut bukan kebodohan.

Setiap orang pernah melakukan kesalahan dan tidak ada orang yang benar-benar sempurna. Ketika melakukan kesalahan maka yang diperlukan hanya belajar dan memperbaikinya sehingga tidak akan terluang lagi di masa depan.

Sementara itu, fokus pada kelebihan yang dimiliki dan mengembangkan kemampuan tersebut justru yang harus mendapat fokus eksplorasi lebih banyak. Sehingga, kelebihan-kelebihan tersebut akan berkembang.

3. Fokus pada Langkah atau Perubahan Kecil

Membangun kepercayaan diri tidak dapat dilakukan dalam waktu singkat. Ia butuh perjalanan panjang dan memakan waktu yang lebih lama. Oleh sebab itu, setiap proses harus dihargai sekecil apapun perubahan yang dapat diraih dan dilakukan.

Jangan berkecil hati ketika keadaan tidak kunjung membaik secepat yang dibayangkan. Mungkin ketika ketika itu, rasa percaya diri belum matang. Tetapi, harus dingat bahwa setiap langkah dan perubahan kecul harus terus dilakukan sampai akhirnya akan tumbuh menjadi perubahan yang besar. Sampai membuat Grameds terus maju dan berkembang.

4. Lakukan Hal yang Disukai

Salah satu cara untuk meningkatkan kepercayaan diri adalah dengan menghabiskan waktu luang dengan kegiatan-kegiatan yang disukai. Jika memungkinkan, Grameds dapat mencoba mempelajari keterampilan baru atau menggeluti hobi baru yang disukai.

Selain menimbulkan rasa bahagia, aktivitas baru juga mampu membuat Grameds mengusai keterampilan baru. Dengan begitu, fokus Grameds akan pada hal-hal baru yang lebih positif. bukan fokus kepada kekurangan diri.

5. Berhenti Membandingkan Diri dengan Orang Lain

Berhentilah membandingkan diri dengan orang lain, baik penampilan, prestasi, maupun pencapaian yang telah diraih. Kita harus selalu mengingat bahwa setiap orang memiliki jalan hidup sendiri. Serta hidup juga bukan perlombaan. Start dan finish setiap orang berbeda-beda.

6. Bergaul dengan Orang-Orang yang Positif

Berhentilah bergaul dengan orang-orang toxic. Misalnya seseorang yang senang menjatuhkan, sering pamer, mengunggulkan diri sendiri, dan hal-hal toxic lainnya. Lebih baik, Grameds menjalin hubungan sehat. Misalnya dengan orang-orang yang mampu menghargai, tidak menjatuhkan, dan suportif untuk memupuk rasa percaya diri.

7. Menerapkan Pola Hidup Sehat

Dengan menerapkan pola hidup sehat maka akan membentuk pola pikir yang sehat. Rasa percaya diri sendiri menjadi salah satu bentuk pola pikir yang sehat. Oleh sebab itu, dengan menjaga kesehatan tubuh, caranya menerapkan pola makan sehat dan olahraga secara rutin. Setidaknya selama 30 kenit setiap hari.

8. Bergabung dalam Kegiatan Sosial

Bergabung dalam kegiatan sosial sebagai sukarelawan dapat membantu meningkatkan rasa percaya diri dan kesehatan mental secara menyeluruh. Hal tersebut dikarenakan, ketika bergabung dengan kegiatan sosial atau menjadi relawan maka akan timbul rasa bangga terhadap diri sendiri.

Dengan perasaan ini, Grameds dapat membangun pandangan positif pada diri sendiri sekaligus mampu melihat diri sebagai orang uang baik dan memiliki kemampuan untuk melakukan hal-hal baik pula.

Maaf Tuhan, Aku Hampir Menyerah

https://www.gramedia.com/products/excel-troubleshooting-100-masalah-microsoft-excel-dan-solusinya?utm_source=literasi&utm_medium=literasibuku&utm_campaign=seo&utm_content=LiterasiRekomendasi

About the author

Aris

Saya sangat dengan dunia menulis karena melalui menulis, saya bisa mendapatkan banyak informasi. Karya yang saya hasilkan juga beragam, dan tema yang saya suka salah satunya adalah sosiologi. Tema satu ini akan selalu melekat dalam kehidupan sehari-hari, sehingga akan selalu menarik untuk dibicarakan.

Kontak media sosial Twitter saya M Aris