Bahasa Jawa

Mengenal Geguritan Bahasa Jawa dan Contohnya!

Written by Laila Wu

Hai Grameds! Adakah di antara kalian yang keturunan Suku Jawa? Bagi masyarakat Suku Jawa tentu sudah tidak asing dengan istilah geguritan atau geguritan bahasa Jawa. Nah, apa sih yang dimaksud dengan geguritan? Buat kamu yang orang Jawa tetapi belum tahu apa itu geguritan bahasa Jawa, yuk, disimak tulisan berikut untuk menambah pengetahuan tentang kebudayaan Suku Jawa!

 

Apa itu Geguritan Bahasa Jawa?

Geguritan merupakan bahasa Jawa yang berasal dari kata “gurit” yang dalam bahasa Jawa Kuno artinya “tulis”, “gubah”, atau “karang”. Geguritan dalam bahasa Jawa juga memiliki arti puisi. Jadi, geguritan adalah karya sastra Jawa berupa puisi yang memiliki ciri khas tersendiri. Lebih spesifiknya, geguritan merupakan puisi Jawa modern. Inilah yang membedakannya dari bentuk puisi Jawa klasik lainnya.

Geguritan bahasa Jawa disampaikan dengan cara dinyanyikan dengan irama tertentu. Geguritan bahasa Jawa biasanya dinyanyikan oleh seorang penyanyi yang disebut “gambuh” dan diiringi dengan alat musik tradisional Jawa seperti gamelan. Geguritan bahasa Jawa memiliki beberapa ciri khas, seperti penggunaan bahasa Jawa yang khas, struktur puisi yang khusus, tema-tema yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, agama, dan budaya.

Geguritan merupakan puisi Jawa modern yang tidak terikat oleh aturan-aturan tradisional, seperti jumlah gatra, jumlah suku kata, dan bunyi vokal pada akhir baris. Geguritan biasanya berupa cerita yang dijadikan puisi dalam bahasa Jawa.

 

Jenis-jenis Geguritan Bahasa Jawa 

Geguritan merupakan karya sastra Jawa berupa puisi yang terdiri dari susunan kata-kata yang indah dan memiliki makna. Geguritan menjadi sarana bagi penyair untuk mengekspresikan perasaan dan isi pikirannya. Untuk lebih memahaminya, mari kita telusuri jenis-jenis geguritan berikut ini.

1. Geguritan Gagrag Lawas

Geguritan gagrag lawas atau disebut juga dengan puisi lama. Geguritan jenis ini biasanya masih terikat pada aturan baku, seperti guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan.  Bahasa yang digunakan dalam geguritan gagrag lawas adalah bahasa Jawa kuno atau Kawi. Geguritan gagrag lawas berbentuk kakawin, kidung (lagu), atau syair tembang (puisi lagu) macapat yang masih mengikuti aturan baku tradisional seperti guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan.

 

2. Geguritan Gagrag Anyar

Geguritan gagrar anayar atau disebut juga puisi baru. Geguritan jenis ini tidak terikat dengan aturan-aturan yang baku. Geguritan gagrag anyar biasanya lebih bebas dalam struktur dan bahasanya. Bahkan, penggunaan bahasa asing seperti bahasa Indonesia atau bahasa Inggris pun tidak jarang dijumpai dalam geguritan gagrag anyar.

Geguritan gagrag lawas dan gagrag anyar memiliki keunikan dan keistimewaan masing-masing. Geguritan gagrag lawas mencerminkan kekayaan tradisi dan kebijaksanaan masa lalu, sementara geguritan gagrag anyar membawa semangat kebaruan dan relevansi dengan kehidupan masa kini. Keduanya berperan penting dalam melestarikan dan mengembangkan sastra Jawa agar tetap hidup dan berkembang sesuai dengan zamannya.

Cathetan Kanggo Lintang : kumpulan geguritan

Kumpulan geguritan karya Irul S Budianto. Gegutitan dengan tema beraneka macam yang ada dalam buku ini ditulis antara tahun 1989 hingga 2009 dan seluruhnya pernah dimuat di berbagai media cetak dan beberapa antologi bersama seperti : Jaya Baya, Panjebar Semangat, Surabaya Post, Karya Darma, Mekar Sari, Djaka Lodhang, Pagagan, Panakawan, Jawa Anyar, Desa Kita, Solopos, dan Senthong. Bagi Irul S Budianto, “Cathetan Kanggo Lintang” Adalah karya kumpulan geguritan tunggal pertamanya.

 

Ciri-Ciri Geguritan Bahasa Jawa 

Geguritan bahasa Jawa memiliki ciri-ciri yang berbeda-beda sesuai dengan jenisnya. Berikut ciri-ciri geguritan gagrag lawas dan geguritan gagrag anyar:

1. Geguritan Gagrag Lawas

Berikut ciri geguritan gragag lawas:

  • Struktur dan Pola yang Ketat

Geguritan gagrag lawas memiliki struktur yang lebih ketat dan baku, dengan aturan tertentu mengenai jumlah baris per bait dan jumlah bait dalam satu geguritan. Pola metrum tradisional seperti tembang macapat sering digunakan, di mana setiap tembang memiliki aturan baku tentang jumlah suku kata dan pola rima.

  • Bahasa Kawi dan Jawa Kuno

Geguritan gagrag lawas menggunakan bahasa Kawi atau Jawa kuno, yang memberikan nuansa klasik dan formal. Banyak kata-kata yang digunakan sudah jarang ditemukan dalam bahasa Jawa modern.

  • Penggunaan Metafora dan Simbolisme

Penggunaan diksi dalam geguritan gagrag lawas kaya akan metafora, simbolisme, dan alegori yang sering berkaitan dengan filosofi hidup, agama, dan nilai-nilai moral. Maknanya sering kali tersembunyi di balik penggunaan bahasa yang puitis dan kiasan.

  • Tema Tradisional

Tema yang diangkat dalam geguritan gagrag lawas biasanya berkisar pada kehidupan kerajaan, cerita rakyat, nilai-nilai tradisional, dan ajaran moral. Geguritan gagrag lawas sering kali mengandung nasihat, petuah, dan refleksi kehidupan berdasarkan ajaran leluhur.

Contoh Geguritan Gagrag Lawas:

Mangsa ing wayah wengi

Srengenge sumunar padhang

Kalamun kita lenggah lir sinung

Mrih kang sarwa becik ing ati

2. Geguritan Gagrag Anyar

Berikut ciri geguritan gragag anyar:

  • Struktur Bebas

Tidak terikat pada pola metrum atau struktur baku tertentu, memberi kebebasan kepada penulis untuk berkreasi. Jumlah baris per bait dan jumlah bait dalam geguritan lebih fleksibel.

  • Bahasa Jawa Modern

Menggunakan bahasa Jawa modern yang lebih mudah dipahami oleh pembaca masa kini. Kadang-kadang menggabungkan bahasa Jawa dengan bahasa Indonesia atau bahasa asing untuk menambah ekspresi.

  • Ekspresi Bebas

Mengutamakan ekspresi pribadi dan perasaan penulis, sehingga lebih luwes dan dinamis dalam gaya penulisannya. Diksi yang digunakan lebih sederhana dan langsung, meskipun tetap mempertahankan keindahan bahasa.

  • Tema yang Beragam

Tema yang diangkat lebih beragam dan sering kali bersifat kontemporer, seperti isu sosial, politik, lingkungan, cinta modern, dan kehidupan urban. Lebih terbuka terhadap berbagai topik dan tidak terbatas pada nilai-nilai tradisional saja.

Contoh Geguritan Gagrag Anyar:

Ing pinggir kali kang resik

Gandheng tangan karo sliramu

Ngumandhang tembang tresna

Ngrungokake kidung angin sore

Bahasa Jawa Dasar. Edisi Revisi

Di wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa tengah, dan Jawa Timur, bahasa Jawa masih menjadi alat komunikasi yang efektif dalam berbagai keperluan. Bahasa Jawa juga sarat dengan nilai kearifan lokal. Selain itu, bahasa Jawa masih berperan sebagai penghela pengetahuan. Oleh karena itu, bahasa Jawa tetap diperlukan diajarkan di sekolah sampai tingkat perguruan tinggi.

Buku ini berisi pelajaran dasar bahasa Jawa, baik tulis maupun lisan, baik ragam ngoko maupun ragam krama, dan dilengkapi dengan instrumen latihan serta disusun dengan sistematika sederhana sehingga pelajar dapat menggunakannya secara mandiri. Materi buku ini merupakan rangkuman materi kuliah Penguasaan Bahasa Jawa I dan Penguasaan Bahasa Jawa II di Program Studi Sastra Daerah untuk Sastra Jawa (Program Studi Jawa) Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia (FIB Ul). Buku yang kemudian diberi judul Bahasa Jawa Dasar ini pun kemudian menjadi bahan ajar mata kuliah Bahasa Jawa Dasar yang diselenggarakan oleh Program Studi Jawa FIB Ul. Meskipun demikian, buku ini dapat digunakan oleh pembelajar bahasa Jawa pemula secara umum.

Bahasa Jawa Dasar Edisi Revisi ini merupakan perbaikan dari penerbitan terdahulu yang semula diterbitkan oleh Penaku, terutama dalam hal perwajahan agar lebih nyaman dibaca dan penyesuaian dengan kekinian.

 

Contoh Geguritan Bahasa Jawa

Berdasarkan buku Geguritan Tradisional dalam Sastra Jawa (2002), secara umum, geguritan dapat menjadi media untuk mengekspresikan isi hati atau perasaan seseorang melalui lirik puisi dengan menggunakan bahasa Jawa. Tema geguritan bahasa Jawa bisa sangat beragam, sama seperti tema puisi pada umumnya. Berikut ini merupakan contoh geguritan bahasa Jawa dengan berbagai tema:

1. Rembulan (Tema Alam)

Rembulan ing langit enjang,

Cahyane mbiru, penerang ati.

Enggal lintang padhang ilang,

Rembulan nekani jagad iki.

 

(Bulan di langit malam,

Cahayanya kebiruan, penerang hati.

Bintang-bintang yang terang perlahan menghilang,

Bulan menerangi dunia ini)

 

2. Sekolahku (Tema Pendidikan)

Sekolahku, bangunan kang megah,

Ayem, endah lan asri.

Gedhe ruangannya, apik tata letaknya,

Nggawa semangat para siswa.

 

(Sekolahku, bangunan yang megah,

Tenang, indah dan asri.

Ruangannya luas, penataannya bagus,

Membawa semangat para siswa)

 

3. Ibu (Tema Keluarga)

Ibu, lambamu singalus,

Tanganmu penuh kasih sayang.

Ngopeni awake dhewe saka cilik,

Tanpa keluh lan tanpa kesuwen.

 

(Ibu, wajahmu yang teduh,

Tanganmu penuh kasih sayang.

Merawat saya sejak kecil,

Tanpa mengeluh dan tanpa letih)

 

4. Tandur (Tema Kehidupan)

Urip ibarat nandur woh,

Apa sing ditandur, bakal oleh.

Yen nandur becik, bakal oleh becik,

Yen nandur ala, bakal oleh ala.

 

(Hidup ibarat menanam buah,

Apa yang ditanam, akan didapat.

Jika menanam kebaikan, akan dapat kebaikan,

Jika menanam keburukan, akan dapat keburukan)

 

5. Wayang (Tema Budaya)

Wayang kulit, pentas wayang,

Lakon carita sarat makna.

Dalang ngedali alur carita,

Gamelan ngiringi suarasuwara.

 

(Wayang kulit, pentas wayang,

Lakon cerita sarat makna.

Dalang mengendalikan alur cerita,

Gamelan mengiringi dengan suara merdu)

Puisi Jawa: Struktur Dan Estetika (Edisi Revisi)

Puisi atau pantun adalah ragam karya sastra yang bahasanya dibatasi oleh irama, mantra, pantun, dan susunan baris dan bait. Puisi biasanya berisi pernyataan penulis tentang perasaan, pengalaman, dan kesan, serta memiliki irama dan kata-kata yang baik agar mudah dibaca.

Setiap daerah di Indonesia memiliki sastra puisi tersendiri, termasuk dalam Kesusastraan Jawa. Berbicara mengenai kesusastraan Jawa dalam bentuk basa pinathok atau lebih awam dikenal dengan puisi ini memiliki tiga jenis kelompok yang hidup dalam masyarakat saat ini. Pengelompokan ini didasarkan pada sejarah perkembangannya. Kelompok pertama, puisi Jawa kuna, seperti saloka, kakawin, dsb. Kedua, puisi Jawa tengahan, seperti tembang tengahan atau kidung, dsb. Dan ketiga, puisi Jawa modern/baru, seperti tembang macapat, geguritan, dsb.

Buku ini secara singkat memaparkan secara teoritis pola-pola puisi Jawa, dari puisi Jawa kuno hingga puisi modern, meliputi kakawin, kidung, macapat, sekar ageng, sekar tengahan, singir, wangsalan, parikan, guritan, dan geguritan. Pemaparan secara sistematis meliputi aspek-aspek peruangan, kebahasaan, bunyi, dan pengujaran, di samping masalah kesejarahan berikut kedudukan setiap puisi dalam sastra dan budaya Jawa. Oleh karena itu, meskipun padat, buku ini penting untuk memahami aneka bentuk puisi Jawa secara mendasar, sehingga harus dibaca oleh mahasiswa dan pemerhati sastra Jawa.

 

Kesimpulan

Nah, Grameds, sekarang sudah tahu kan apa itu geguritan bahasa Jawa. Jadi, geguritan bahasa Jawa adalah karya sastra berbentuk puisi dalam bahasa Jawa. Greguritan memiliki peran penting dalam melestarikan warisan budaya dan bahasa Jawa. Dengan ciri khasnya yang meliputi struktur bebas, penggunaan bahasa Kawi dan Jawa modern, serta keindahan irama dan rima, geguritan mencerminkan kekayaan sastra dan filosofi hidup masyarakat Jawa. Meskipun menghadapi berbagai tantangan, peluang untuk melestarikan dan mengembangkan geguritan tetap terbuka luas melalui inovasi dan digitalisasi. Dengan demikian, geguritan akan terus hidup dan berkembang, menginspirasi generasi mendatang serta menjaga warisan budaya Jawa yang kaya dan beragam. Kamu bisa mempelajari lebih dalam terkait geguritan bahasa Jawa melalui kumpulan buku bahasa dan budaya Jawa yang tersedia di Gramedia.com.

About the author

Laila Wu