Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) merupakan salah satu Perguruan Tinggi Kedinasan (PTK) yang di bawah naungan Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional mempunyai misi, yaitu menghasilkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul dan mempunyai karakter di bidang Agraria, Tata Ruang, dan Pertanahan sebagai pengemban undang-undang pokok Agraria dan peraturan pertanahan lainnya.
Sebagai institusi pendidikan kedinasan Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional bertanggung jawab untuk meningkatkan kapasitas sumber daya manusia. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional harus berkoordinasi dengan Biro Organisasi dan kepegawaian selaku unsur yang bertanggung jawab secara organisatoris dalam pengadaan dan pengembangan sumber daya manusia di Kementerian Agraria dan Tata Ruang atau Badan Pertanahan Nasional. Kemudian, selaku pelaksana tridharma perguruan tinggi, Sekolah Pertanahan Nasional harus bekerja sama dengan jajaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi.
Melihat sejarahnya, Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN) termasuk salah satu perguruan tinggi kedinasan tertua di Indonesia. Pasalnya, jika dihitung dari awal tahun pendirian yaitu pada tahun 1963, perguruan tinggi kedinasan tersebut telah berdiri selama 59 tahun. Berikut sejarah lengkap terbentuknya Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional.
Berawal dari Akademi Agraria yang terbentuk pada tahun 1963, terbentuknya akademi tersebut dilatar belakangi dengan Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang sudah membawa dampak perubahan yang besar dalam hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia. Undang-Undang Pertanahan Indonesia mengemban lima misi utama dalam proses Reforma Agraria di Indonesia. Lima misi utama tersebut diantaranya:
- Perombakan Hukum Agraria
- Pelaksanaan Landreform
- Penataan Penggunaan Tanah
- Likuidasi hak-hak Asing dalam Bidang Agraria
- Penghapusan sisa-sisa “Feodal” dalam Bidang agraria
Demi mewujudkan misi besar tersebut lahirlah lembaga pendidikan Akademi Agraria dengan harapan dapat mempercepat proses pelaksanaan lima misi utama yang diembankan oleh Undang-Undang Pertanahan Agraria 1960 tersebut.
Demi melaksanakan PP 224 tahun 1961 tentang Landreform, secara khusus pemerintah bergegas melahirkan serangkaian kebijakan. Di antaranya, dibentuknya pengadilan landreform, panitia pelaksana landreform, pendanaan landreform, dan pendataan guna menetapkan subyek dan obyek landreform. Pada poin terakhir, tepatnya menetapkan subyek dan obyek landreform. Diperlukan tenaga-tenaga ahli yang spesifik dan handal, nantinya tenaga-tenaga ahli tersebut akan berkolaborasi dengan panitia landreform untuk menetapkan siapa yang layak ditetapkan sebai subyek landreform dan tanah mana yang pantas dijadikan sebagai obyek. Selain itu, mereka juga harus mengukur dan mendaftar legalitasnya. Sayangnya, Indonesia belum memiliki tenaga ahli di bidang tersebut. Pada saat itu hanya ada pencatat akta tanah di bawah naungan menteri kehakiman yang ang mewarisi sistem kenotariatan Belanda.
Saat itu peraturan mengenai pertanahan termasuk peraturan pemerintah, masih dikeluarkan oleh Presiden dan Menteri Mudah Kehakiman. Kebijakan tersebut diambil karena Indonesia masih dalam keadaan darurat. Maka dari itu, lahirnya Undang-Undang Pertanahan Agraria menjadi angin segar di Departemen Agraria yang berada di bawah naungan Menteri Kompartemen Agraria di bawah kepemimpinan Mr. Sadjarwo, sekaligus membawahi departemen kehutanan, perkebunan, dan pertanian.
Untuk menjawab persoalan tersebut, terbentuklan Akademi Agraria di Yogyakarta dengan Jurusan Agraria pada tahun 1963. Kemudian, menyusul dibukanya Jurusan Pendaftaran Tanah di Semarang pada tahun 1964. Mahasiswa di Akademi Agraria diberikan pemahaman yang baik mengenai aspek keagrariaan,maupun aspek teknis pengukuran dan pendaftaran tanah. Sejak awal, Akademi Agraria tidak memisahkan kedua aspek tersebut apalagi menetapkan persentase pengetahuan di antara aspek teoritis dan praktis.
Pada dasarnya, sejarah Akademi Agraria merupakan sejarah yang terbentuk karena lima misi utama di atas, bukan karena sejarah sertifikasi tanah yang sebagaimana dipahami pada umumnya. Sertifikat tersebut juga bukan menjadi tugas utamanya melainkan hanya konsekuensi dari agendan landreform. Maka dari itu, mahasiswa Agraria harus memahami masalah-masalah agraria serta dituntut memikirkan kebijakan yang tepat sebagai jawaban atas masalah tersebut.
Agenda utama landreform, secara sosial memiliki arti perombakan struktur sosial berbasis penguasaan tanah, jika dilihat secara politik mentransformasikan warga negara yang semula merupakan warga tempatan yang terikat dalam hubungan feodal-kolonial atas tanah, juga tumbuhnya kesadaran politik warga, dan terakhir, secara ekonomi merupakan peletakan dasar alat produksi bagi tenaga kerja dan pemerataannya atau penetapan batas maksimum demi terbentuknya negara industrial berbasis pembangungan desa.
Melalui Surat Keputusan Menteri Pertanian dan Agraria 5 Mei 1964, terbentuklah Jurusan Pendaftaran Tanah pada Akademi Agraria di Semarang. Institusi tersebut juga menyelenggarakan program pendidikan Sarjana Muda.
Kemudian, pada tanggal 24 September 1971, Akademi Agraria di Semarang diintegrasikan dengan Akademi Agraria di Yogyakarta dengan nama Akademia Agraria yang bertempat di Yogyakarta, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri dibentuk Jurusan Tata Guna Tanah pada Akademi Agraria di Yogyakarta.Pada tanggal 16 Juli 1983. Akademi tersebut mempunyai empat jurusan, yaitu Jurusan Pendaftaran Tanah, Jurusan Tata Guna Tanah, Jurusan Hak Atas Tanah, dan jurusan Landreform. Namun, Akademi Agraria tersebut hanya bertahan selama tiga tahun, tepatnya hingga tahun 1986. Bersamaan dengan itu, program sarjana mudah berubah menjadi Program Diploma III.
Pada tahun 1987, Akademi Agraria dihapuskan dan berganti dengan nama Akademi Pertanahan Nasional. Setelah itu, Akademi Pertanahan Nasional mencoba untuk merumuskan kembali dan meningkatkan status pendidikannya menjadi Sekolah Tinggi PertanahanNasional pada tahun 1993. Setelah resmi menyandang nama baru, yaitu Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional, terdapat beberapa perubahan di antaranya, perubahan Diploma III menjadi Diploma IV (setara strata I) yang terdiri dari dua jurusan, yaitu Jurusan Manajemen Pertanahan dan Jurusan Perpetaan.
Kemudian, pada tahun 1996 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No. 12 tahun 1996, juga Surat Direktorat Jenderal Pendidkan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional menyelenggarakan Program Pendidikan Diploma I Pengukuran dan Pemetaan Kadasteral. Berbeda dengan Diploma IV, yang menerima dari kalangan PNS murni yang sudah mengabdi di wilayah masing-masing. Diploma I, merekrut lulusan SMA atau sederajat melalui jalur terbuka.
Visi dan Misi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
Visi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
Menjadi Perguruan Tinggi Kedinasan yang Unggul dan Terkemuka pada tahun 2025 dalam Mengemban Visi Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional
Misi Sekolah Tinggi Pertanahan Nasional (STPN)
- Menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran di bidang pertanahan yang menuntut pengembangan diri dosen dan mendorong kemandirian mahasiswa dalam memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap;
- Menyelenggarakan penelitian di bidang pertanahan yang mengarah pada pengembangan dan penemuan baru di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi;
- Menyelenggarakan kegiatan pengabdian masyarakat di bidang pertanahan yang berorientasi pada upaya pemberdayaan masyarakat;
- Menyelenggarakan tata administrasi umum akademik dan kemahasiswaan yang berstandar nasional.