Puisi W.S Rendra – Puisi, seni tertulis menggunakan keragaman bahasa dengan tambahan semantis dan metaforis untuk menambahkan kualitas keindahan tulisan itu. Puisi merupakan bait-bait yang berisi sebuah kalimat indah yang tersusun dan dikemas dengan semenarik mungkin. Puisi memiliki keunikan yang utuh disertai majas, sehingga tak bosan dinikmati bagi para penikmat sajak.
Dalam dunia sastra, di Indonesia sendiri telah lahir banyak sastrawan terkemuka yang melegenda. Nama-namanya pun telah mendunia dan dapat menginspirasi bagi siapapun yang membaca dan merenungi puisi-puisinya.
Salah satunya, ialah W.S Rendra. Siapa yang tak tahu dengan penyair kenamaan Indonesia yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto ini? Melihat nama Rendra saja, Grameds sudah pasti langsung mengetahui sosok penyair ini, karena karya sastranya yang begitu populer.
Rendra dikenal sebagai penyair paling kaya di Indonesia. Tak heran, karena ia sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam sajak-sajaknya.
Bahkan, W.S Rendra juga mendapatkan julukan sebagai Si Burung Merak atas penampilannya sebagai penyair yang selalu mempesona penonton. Seorang pencinta, layaknya merak yang merentangkan ekor cantiknya untuk menarik perhatian sang kekasih. Untuk merekalah, para kekasih, W.S Rendra menuangkan cintanya lewat puisi dalam bukunya yang berjudul Puisi-Puisi Cinta yang bisa ditemukan di Gramedia.
Namun, sebelum mengintip beberapa puisi cinta karangannya. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Yuk, Grameds, kita kenalan dulu dengan W.S Rendra melalui biografi singkatnya.
Daftar Isi
Mengenal Sekilas Sosok W.S Rendra
W.S. Rendra alias Willibrordus Surendra Broto, lahir di Solo pada 7 November 1935. Ia adalah anak dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Keluarga Rendra merupakan keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa.
Ayahnya adalah seorang guru di salah satu sekolah Katolik di Solo yang mengajarkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Selain itu, ayah Rendra pun dikenal sebagai pelaku seni drama atau dramawan tradisional.
Bakat seni yang dimiliki Rendra tak hanya berasal dari sang ayah. Ibunya juga sebagai pelaku seni, yakni seorang penari serimpi di Istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Selain itu, bakat-bakat seni Rendra tumbuh karena kebiasaan keluarganya. Terlahir dalam lingkungan keluarga Jawa berdarah biru, tentu pada momen-momen khusus diadakan pertemuan antar keluarga.
Di acara tersebut, satu per satu anggota keluarga disuruh untuk menembang secara spontan. Akan tetapi, biasanya hal itu lebih diutamakan kepada anak-anak atau anggota keluarga yang masih muda. Pada saat itulah bakat Rendra mulai terlihat, meskipun waktu itu ia baru berusia lima tahun.
Di tahun 1942, Rendra memulai pendidikannya dengan memasuki taman kanak-kanak (TK). Sampai 10 tahun kemudian, di tahun 1952 ia masuk SMA di sekolah Katolik, Solo tempat ayahnya mengajar. Sementara itu, selama sekolah, bakat sastranya mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu Rendra sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya.
Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mulai membacakan puisi-puisi karangannya di pentas sekolah. Tak hanya itu, Rendra pun mementaskan salah satu dramanya yang berjudul Kaki Palsu ketika ia SMP. Tumbuh dengan semua kebiasaan serta lingkungan yang penuh akan seni dan budaya itu, maka tidak heran jika Rendra menjelma sebagai sosok seniman yang telah menghasilkan seabrek karya sastra, dari puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya.
Ketika SMA, Rendra kembali mementaskan drama karyanya berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan. Dari pentas drama itulah, pertama kalinya ia mendapat penghargaan dan hadiah utama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk terus berkarya.
Ia mulai mempublikasikan puisinya pertama kali di media massa tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru.
Setamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dengan niat untuk bersekolah di Akademi Luar Negeri. Sayangnya, ternyata akademi tersebut telah ditutup. Ia pun memutuskan pergi ke Yogyakarta dan masuk Fakultas Sastra di Universitas Gadjah Mada.
Selama berkuliah di Yogyakarta, Rendra gemar mengikuti kegiatan teater Yogyakarta. Namun, pada tahun 1954, Rendra mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk mengikuti seminar kesusastraan di Universitas Harvard, sehingga ia tak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Gajah Mada. Meskipun begitu, Rendra mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari kampusnya tersebut.
Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika, Rendra pun mulai mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi kembali ke Amerika di tahun 1964, karena mendapat beasiswa untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang drama dan seni tari dari American Academy of Dramatical Art (AADA).
Keberangkatannya ke Amerika saat itu membuat kegiatan teaternya di Yogyakarta terhenti. Rendra menyelesaikan pendidikan luar negeri itu pada tahun 1967.
Usai menyelesaikan pendidikannya itu, tahun 1968 Rendra mendirikan ulang teaternya dengan nama baru, yaitu Bengkel Teater. Drama yang menjadi pentas pertamanya adalah Bip-Bop. Komunitas teater buatannya itu pun menjadi perbincangan seluruh masyarakat Indonesia, karena memberi warna dan suasana baru dalam kehidupan teater di Tanah Air, khususnya Yogyakarta.
Dalam teater barunya, di situlah Rendra menemukan pasangan hidupnya. Rendra mengalami cinta lokasi dengan Sunarti Suwandi, salah seorang pemain drama dalam Bengkel Teater yang banyak memberikan inspirasi kepada Rendra dalam berkarya.
Namun, meski telah menikah dengan Sunarti. Tahun 1970, Rendra menikah lagi dengan Sitoresmi Prabuningrat dan beralih agama dari Katolik ke Islam. Sejak saat itu juga, ia mulai memakai nama Surendra Broto saja.
Puisi-Puisi Cinta W.S Rendra
Dari sekilas perjalanan hidupnya, tentunya sastrawan Indonesia yang satu ini memang mahir memainkan kata-kata cinta. Lewat bukunya berjudul Puisi-puisi Cinta yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, W.S. Rendra membukukan 30 judul puisi cintanya.
Puisi-puisi cinta tersebut ia bagi ke dalam tiga masa, yakni Puber Pertama (1954-1958) yang ia tulis pada masa kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Puber Kedua (1968-1977), yaitu puisi-puisi yang ditulis selepas ia kuliah di New York. Terakhir, Puber Ketiga (1992-2003), berisi puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa reformasi 1998.
Puber Pertama (1954-1958)
Pada Puber Pertama terdapat 24 puisi, berisi tentang kisah percintaan remaja yang apa adanya. Manis dan romantis sekali. Disajikan berbentuk pendek, ringan, dan sederhana, tetapi sangat menunjukkan perasaan orang yang sedang dilanda cinta.
Puisi-puisi itu berjudul Permintaan, Rambut, Kangen, Baju, Papaya, Sepeda, Rok Hijau, Kami Berdua, Kegemarannya, Tempramen, Pahatan, Kepada Awan Lewat, Tobat, Sepeda Kekasih, Dua Burung, Telah Satu, Optimisme, Pantun, Ayam Jantan, Janganlah Jauh, Kekasih, Angin Jahat, Membisiki Telinga Sendiri, dan Bunga Gugur.
Permintaan
Wahai, rembulan yang bundar
jenguklah jendela kekasihku!
Ia tidur sendirian,
hanya berteman hati yang rindu.
Rambut
Rambut kekasihku
sangat indah dan panjang.
Katanya,
rambut itu untuk menjerat hatiku.
Kangen
Pohon cemara dari jauh
membayangkan panjang rambutnya
maka aku pun kangen kekasihku.
Kami Berdua
Karena sekolah kami belum selesai
kami berdua belum dikawinkan.
Tetapi di dalam jiwa
anak-cucu kami sudah banyak.
Kegemarannya
Pacarku gemar
mendengar aku mendongeng.
Dalam mendongeng selalu kusindirkan
bahwa aku sangat mencintainya.
Temperamen
Batu kali
ditimpa terik matahari.
Betapa panasnya!
Ketika malam kembali membenam
kali pun tenteram.
Bulannya sejuk
dan air bernyanyi
tiada henti.
Jika kita marah
pada kekasih
selamanya.
Pahatan
Di bawah pohon sawo
di atas bangku panjang
di bawah langit biru
di atas bumi kelabu
–Istirahlah dua buah hati rindu.
Dua Burung
Adalah dua burung
bersama membuat sarang.
Kami berdua serupa burung
terbang tanpa sarang.
Telah Satu
Gelisahmu adalah gelisahku.
Berjalanlah kita bergandengan
dalam hidup yang nyata,
dan kita cintai.
Lama kita saling bertatap mata
dan makin mengerti
tak lagi bisa dipisahkan.
Engkau adalah peniti
yang telah disematkan.
Aku adalah kapal
yang telah berlabuh dan ditambatkan.
Kita berdua adalah lava
yang tak bisa lagi diuraikan.
Optimisme
Cinta kita berdua
adalah istana dari porselen.
Angin telah membawa kedamaian
membelitkan kita dalam pelukan.
Bumi telah memberi kekuatan,
kerna kita telah melangkah
dengan ketegasan.
Janganlah Jauh
Janganlah jauh
bagai bulan
hanya bisa dipandang.
Jadilah angin
membelai rambutku.
Dan kita nanti
akan selalu berjamahan.
Kekasih
Kekasihku seperti burung murai.
Suaranya merdu.
Matanya kaca.
Hatinya biru.
Kekasihku seperti burung murai.
Bersarang indah di dalam hati.
Muraiku,
hati kita berdua adalah pelangi selusin warna.
Bunga Gugur
Bunga gugur
di atas nyawa yang gugur
gugurlah semua yang bersamanya
Kekasihku.
Bunga gugur
di atas tempatmu terkubur
gugurlah segala hal ikhwal antara kita.
Baiklah kita ikhlaskan saja
tiada janji ‘kan jumpa di sorga
karena di sorga tiada kita ‘kan perlu asmara.
Asmara cuma lahir di bumi
(di mana segala berujung di tanah mati)
ia mengikuti hidup manusia
dan kalau hidup sendiri telah gugur
gugur pula ia bersama sama.
Ada tertinggal sedikit kenangan
tapi semata tiada lebih dari penipuan
atau semacam pencegah bunuh diri.
Mungkin ada pula kesedihan
itu baginya semacam harga atau kehormatan
yang sebentar akan pula berantakan.
Kekasihku.
Gugur, ya, gugur
semua gugur
hidup, asmara, embun di bunga –
yang kita ambil cuma yang berguna.
Puber Kedua (1968-1977)
Berbeda dengan Puber Pertama yang berisi puisi-puisi cinta pendek. Di Puber Kedua puisi yang disajikan lebih panjang dan kompleks mengenai kehidupan. Puber kedua terdapat 3 puisi yang berjudul Surat Seorang Istri (Siasat, 30 April 1968), Balik Kamu Balik (1972), dan Bukannya di Madrid (1977).
Puisi Bukannya di Madrid menceritakan tentang sebuah dialog. Sebuah epos percintaan melalui dialog antara lelaki dan wanita. Terdapat juga beberapa simbol yang selalu terlihat, salah satunya simbol plus (+).
Sementara itu, dalam puisi Surat Seorang Istri menceritakan tentang pengalaman Rendra yang saat itu akrab dipanggil Willy. Waktu SMP seorang teman lelakinya meminta bantuan kepada Rendra, agar dibuatkan puisi curahan hati untuk teman perempuannya. Keesokan harinya si perempuan tersebut datang kepada Rendra, supaya dibuatkan juga surat balasan untuk teman lelakinya itu. Rendra merasa geli karena si perempuan tidak tahu, bahwa perempuan tersebut meminta Rendra untuk menjawab tulisannya sendiri.
Lucu sekali ya. Grameds, apakah kamu juga mengalami masa-masa kirim surat cinta di sekolah?
Selanjutnya, di puisi ketiga pada Puber Kedua ini berkisah tentang kehidupan menua dari seseorang bernama Rusman. Rangkaian katanya disusun begitu sederhana nan romantis.
Sebetulnya, ketiga puisi tersebut telah dimuat pertama kali di koran dan majalah saat Rendra masih berada di bangku SMP dan SMA. Penerbitan puisi-puisinya di surat kabar itu pun bermula dari keisengan sahabat baiknya, D.S. Mulyanto yang mengirimkan puisi-puisinya ke koran dan majalah.
Puber Ketiga (1992-2003)
Puber Ketiga, yaitu puisi-puisi cinta yang Rendra tulis pada tahun 1992-2003. Terutama di masa reformasi 1998, hal itu karena Rendra juga semakin terbuka dengan wajah negara dan ketatanegaraan. Maka dari itu, ketiga puisi terakhir pada Puber Ketiga berisi penyadaran kritis ketatanegaraan dan antropologis kebangsaan Indonesia.
Ketiga puisi-puisi cinta itu berjudul Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57, Hai Ma!, dan Barangkali Karena Bulan.
Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57
Setiap ruang yang tertutup akan retak
karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi
Dan akhirnya akan meledak
bila tenaga waktu terus terhadang
Cintaku kepadamu Juwitaku
Ikhlas dan sebenarnya
Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa
Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada
Cintaku kepadamu Juwitaku
Kemudian meruang dan mewaktu
dalam hidupku yang sekedar insan
Ruang cinta aku berdayakan
tapi waktunya lepas dari jangkauan
Sekarang aku menyadari
usia cinta lebih panjang dari usia percintaan
Khazanah budaya percintaan…
pacaran, perpisahan, perkawinan
tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta
Dan kini syairku ini
Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu
Syair bermula dari kata,
dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu
lepas dari kamus, lepas dari sejarah,
lepas dari daya korupsi manusia
Demikianlah maka syairku ini
berani mewakili cintaku kepadamu
Juwitaku
belum pernah aku puas menciumi kamu
Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca
Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku
Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut,
gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi
Kamu sulit menghadapi diri sendiri
Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu
kamu takut kepada dunia
Juwitaku
Lepas dari kotak-kotak analisa
cintaku kepadamu ternyata ada
Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita
Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos
di dalam kalbuku
Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu
Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya
Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu :
Cintaku kepadamu telah mewaktu
Syair ini juga akan mewaktu
Yang jelas usianya akan lebih panjang
dari usiaku dan usiamu
Hai, Ma!
Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku
tetapi hidup yang tidak hidup
karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya
ada malam-malam aku menjalani lorong panjang
tanpa tujuan kemana-mana
hawa dingin masuk kebadanku yang hampa
padahal angin tidak ada
bintang-bintang menjadi kunang-kunang
yang lebih menekankan kehadiran kegelapan
tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa.
Hidup memang fana, Ma
tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada
kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara
dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga
atau aku terlantar di pasar
aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar
mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita
aku marah, aku takut, aku gemetar
namun gagal menyusun bahasa.
Hidup memang fana, Ma
itu gampang aku terima
tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana
membuat hidupku tak ada harganya
kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari
mulut berbusa sekadar karena tertawa
hidup cemar oleh basa basi
dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan
yang tanpa persoalan
atau percintaan tanpa asmara
dan sanggama yang tidak selesai
Hidup memang fana tentu saja, Ma
tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola
mengacaukan isi perutku lalu
mendorong aku menjeri-jerit
sambil tak tahu kenapa
rasanya setelah mati berulang kali.
Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini.
Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini
aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku.
Kelenjar-kelenjarku bekerja
sukmaku bernyanyi, dunia hadir
cicak di tembok berbunyi
tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya
hidup menjadi nyata, fitrahku kembali.
Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari
kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi
kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma?
masing-masing pihak punya cita-cita
masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata
Hai Ma!
apakah kamu ingat
aku peluk kamu di atas perahu
ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu
dengan ciuman-ciuman di lehermu?
Masyaallah… Aku selalu kesengsem pada bau kulitmu
Ingatkah waktu itu aku berkata
kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna
Hehehe waahh.. Aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini
dan apabila aku menulis sajak
aku juga merasa bahwa kemaren dan esok
adalah hari ini.
Bencana dan keberuntungan sama saja.
Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa.
Sudah ya, Ma…
Barangkali karena Bulan
Bulan menyebarkan aroma berahi
dari tubuhnya.
Yang lalu melekat di daun-daun pohon tanjung
yang gemetaran.
Seekor kucing jantan mengerang
dengan suara ajaib.
Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan.
Dan, Ma, aku meraih sukmamu
yang jauh dari jangkauanku.
Aku tulis sajak cintaku ini
Karena tak bisa kubisikkan kepadamu.
Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu,
Dan seluruh Minggu.
Menetas bagaikan air liur langit
Yang menjadi bintang-bintang.
Kristal-kristal harapan dan keinginan
berkilat-kilat hanyut di air kali
membentur batu-batu yang tidur.
Gairah kerja di siang hari
di malam hari menjadi gelora asmara.
Kerna bintang-bintang, pohon tanjung,
angin, dan serangga malam.
Ma, tubuhmu yang lelap tidur
terbaring di atas perahu layar
hanyut di langit
mengarungi angkasa raya.
Nah, itulah puisi-puisi terkenal dari W.S Rendra. Meskipun zaman telah berkembang menjadi semakin modern, tetapi eksistensi dari puisi romantis karya sastrawan senior tetap akan selalu dikenang. Sebagai generasi muda, kita tentu saja tidak boleh melupakan karya sastra tersebut ya…
Rekomendasi Buku & Artikel Terkait
- Cerita Fantasi
- Contoh Literasi Singkat
- Contoh Pembukaan Pidato Islami
- Tokoh Puisi di Indonesia
- Teori dan Sejarah Sastra
- Pengertian Sastra
- Pengertian Syair
- Sastrawan Indonesia
- Ciri-ciri Komik
- Pengertian Apresiasi
- Pengertian Dongeng
- Pengertian Komik
- Pengertian Cerita Nonfiksi
- Pengertian Sajak
- Pengertian Puisi
- Pengertian Pantun
- Contoh Pantun Nasihat
- Kumpulan Contoh Pantun Ngakak
- Pantun Berbalas
- Contoh Pantun Anak
- Contoh Pantun Jenaka
- Ciri-ciri Cerpen
- Kumpulan Contoh Cerita NonFiksi
- Jenis Novel
- Perbedaan Novel vs Cerpen
- Puisi Untuk Guru SD
- Puisi Untuk Orang Tua
- Review
- Rima Puisi
- Seni Rupa Terapan
- Spoiler
- Tata Cara Shalat Jenazah
Penulis: Indah Utami
Baca Juga!