Dosen Bucin

Tiga tahun menempuh studi di Mahastama Institute of Technology dengan Indeks Prestasi Semester yang selalu di atas 3,5 tidak akan menjamin seseorang langsung bisa dengan mudah lolos seleksi skripsi. Hal itulah yang aku rasakan sekarang. Walaupun nilai-nilaiku selalu bagus, IP selalu tinggi, aku wajib mengikuti seleksi skripsi, bertaruh dengan teman-teman lain untuk memperebutkan kursi dosen pembimbing. Pada seleksi pertama minggu lalu, aku menerima hasil yang membuat kecewa. Aku tidak lolos dan kembali berjuang untuk mengikuti seleksi terakhir. Dan saat pengumuman seleksi kedua keluar dua hari lalu, namaku menjadi salah satu mahasiswa yang lolos mengambil mata kuliah skripsi. Tapi, aku belum bisa senang dan bangga akan itu, karena aku masih perlu persetujuan dosen pembimbing apakah aku akan ganti judul atau tidak. Kemarin siang saat aku berkumpul dengan teman-teman yang satu dosen pembimbing denganku, ada kabar bahwa harus membawa judul cadangan. Dan disinilah aku berada, di ruangan Pak Kanto, dosen pembimbingku. Aku sedang menunggu keputusan beliau akan judul skripsi. Pak Kanto bisa saja menolak semua judul dan membuatku tidak jadi mengambil mata kuliah skripsi. Kejam? Maka jangan kuliah di sini. Kuliah di MIT artinya sudah siap fisik dan mental. Oh ya, siap otak juga. Aku duduk dalam diam, menatap cemas dan takut pada Pak Kanto. Semoga saja beliau menerima revisi dan menandatangani pengajuan skripsiku. "Jadi, gimana, Pak? Apa judul saya sudah bisa diterima?" tanyaku, karena Pak Kanto tampak belum juga mengutarakan pendapatnya. Ada sepuluh halaman pada jilid pengajuan skripsiku yang sekarang sedang dibaca oleh Pak Kanto. Latar belakang tujuh halaman, rumusan, tujuan dan manfaat satu halaman, dua halaman lagi alur berpikir dalam bentuk diagram. Sebenarnya aku masih semester tujuh, jadi belum ada keharusan untuk mengambil mata kuliah skripsi. Berhubung mata kuliah wajibku tinggal beberapa SKS (Sistem Kredit Semester), aku mencoba mengikuti pengajuan judul skripsi.