Gramedia Logo
Product image
Kris Budiman

Hierofani

Format Buku
Deskripsi
Dengan hanya berjalan kaki, mendaki selama dua puluh menit, mereka akhirnya sampai di sebentang lahan datar yang dikelilingi oleh semak belukar dan pepohonan rindang. Hanya pagar-pagar kayu dan bambu sederhana yang menjadi penanda batasnya. Sebuah pohon beringin tua yang besar dan rimbun, dengan akar-akar yang menjuntai lebat, seolah mengucapkan selamat datang melalui geresek daun-daunnya. Batang pohon itu menganga, growong, bagaikan gerbang yang bakal menyedot siapa pun yang berani mendekatinya ke dunia dongeng. Selama membaca fiksi perjalanan ini, dengan banyak kilas maju mundur, saya merasa seperti Robert Langdon (simbolog fiktif itu). Saya suka genre petualangan dengan misteri, penafsiran tanda-tinanda, mencari benang merah, mengegas logika dan pengetahuan sejarah; dengan ritme yang cepat membuat deg-degan, diiringi subplot yang membuat saya memutar otak. Rasa ingin tahu adalah bahan bakarnya. Tak banyak kelit, tak runyam konflik, namun penuh duga-menduga, pencarian jawab atas teka-teki, dan olah gagasan. Ini penting bagi saya yang kadang tidak tahu pengetahuan sekolah dan pengalaman jalan-jalan itu hendak digunakan untuk apa bagi kehidupan, atau setidaknya melihat benang merah, rencana yang lebih besar. Inikah momen hierofani saya? Jonathan Irene Sartika Dewi Max Dosen Sastra Inggris, Universitas Mulawarman, Samarinda. Profil Penulis: Dalam rentang waktu hampir tiga puluh tahun sebagai seorang penulis, Kris Budiman telah menghasilkan lebih dari dua puluh judul buku. Beberapa di antara publikasinya, baik di dalam ranah sastra, seni visual, ataupun kajian akademis lain, mencakup Relief Kekasih: Puisi dan Sketsa (2011); Sesudah Ekskavasi (2013); Ajang Perseteruan Manusia: Kajian Semiotik atas Opera Jawa Garin Nugroho (2015); Dari Dee ke Leo Kristi (2017); Bentang Tubuh, Batu, dan Hasrat: Sejumlah Esai Seni Rupa (2018); serta Blues Rindu (puisi-puisi Langston Hughes dalam terjemahan, 2020). Dari sekian itu terselip beberapa novel, yaitu Lumbini (2006), Tanah Putih (2019), dan yang paling buncit: Hierofani. Sampai kini, dia masih betah berdomisili di Yogyakarta.
Detail Buku