Armaraher
Iyan (Bukan) Anak Tengah
Format Buku
Deskripsi
Blurb:
Hanya karena kelahirannya tidak diinginkan, Riyan menjadi seorang anak yang tidak mendapatkan kasih sayang utuh dari orang tuanya, hal itu menimbulkan rasa iri dalam diri Riyan terhadap Abang dan Adiknya. Perlakuan tidak adil serta ketidakpedulian orang tuanya Terhadap Riyan membuatnya tumbuh menjadi sosok remaja yang tidak pandai bersosialisasi dan tidak memiliki teman. Riyan sering dikucilkan oleh lingkungan sekitar karena sifatnya yang pendiam, dan membuatnya fidak Namun, ketika Riyan mulai lelah dengan keadaan dan memilih menjauh dari hal-hal menyakitkan, akankah dunia berbalik berpihak kepadanya? memiliki tempat untuk bersandar.
Prologue:
Terik matahari yang menyengat pada siang hari tak menyurutkan langkah kaki kecil bocah berumur tujuh tahun yang baru saja pulang bermain sepeda bersama teman temannya. "Bunda! Danan pulang!" Bocah laki-laki itu berlari masuk ke dalam rumah hingga membuat rambut mangkuknya ikut bergerak. la kemudian menghampiri bundanya yang tengah duduk di single sofa ruang tamu, sengaja menyambut kedatangannya. "Sudah puas mainnya?" Pertanyaan bundanya dijawab dengan antusias oleh Danan. Bocah laki-laki itu kemudian menatap perut bundanya yang terlihat membuncit dengan tatapan berbinar. "Bunda... kalau adik sudah lahir Danan jadi Abang, ya?" la mengusap peluh keringat yang membasahi kening dan rambut dengan tangan kecilnya, lalu tersenyum tidak sabar untuk mendengar jawaban dari Wena sang bunda. Beberapa detik Danan menunggu jawaban, tetapi bunda hanya menatapnya. Wanita berambut sebahu dengan jedai yang menjepit rambutnya menjadi satu serta daster batik yang ia pakai kini menatap putranya, menyelami lebih dalam bagaimana perasaan senang Danan akan kehadiran bayi yang ada di dalam perutnya melalui mata bulat itu. Baju bergambar superhero favoritnya, yaitu Superman selalu dikenakan Danan ketika bermain sepeda bersama teman-temannya, hal itu menjadi sesuatu yang paling Wena suka ketika melihat Danan. Tangan Wena terulur untuk merapikan anak rambut Danan yang basah oleh keringat, bulu matanya yang lentik dan alisnya yang tebal benar-benar mirip seperti milik Wena. "Adik kenapa nggak mau ngobrol sama Danan, Bunda?" Lagi-lagi Danan bertanya, sedangkan pertanyaan yang dilontarkan Danan sebelumnya belum sempat Wena jawab. Danan kembali menatap perut bundanya yang membuncit, mata bulat berwarna hitam legam itu menatap tidak percaya jika di dalam sana ada kehidupan lain, ada adiknya. "Mau ngobrol sama adik?" tanya Wena yang langsung mendapatkan anggukan semangat dari Danan. "Mau, Bunda!" Tangan kanan Danan diraih pelan oleh Wena hingga menyentuh perut buncitnya yang mengeras. Meski awalnya Danan sedikit takut, ketakutan itu perlahan menghilang ketika ia merasakan ada sebuah tendangan kecil dari dalam perut hingga membuat Danan tersenyum sembari menunjukkan sederet giginya yang tidak rapi dan banyak bolongnya. Akhirnya, Danan akan memiliki adik yang akan la sayangi seperti teman-temannya yang lain. Setelah adiknya lahir nanti, Danan tidak perlu lagi memaksa teman-temannya untuk bermain bersama. Danan akan mengajak adiknya bermain di rumah atau ke tempat yang Danan mau dengan sepedanya. Danan sayang Bunda dan adik," sembari tangannya mengelus pelan perut di dalam perut. "Bunda juga sayang Danan." ucap memeluk Wena meski agak terhalang oleh adiknya yang ada Danan tulus "Bunda kenapa diam?" Wena, lalu "Bunda sayang adik?" tanya Danan kemudian. Wena terdiam, hatinya sama sekali tidak ingin menjawab pertanyaan Danan. Perasaan sayang kepada anak yang sedang ia kandung belum tumbuh sedikitpun bahkan sejak hari di mana Wena sudah mulai menerima kehidupannya yang baru. Kehadiran adik yang selalu Danan dambakan ini merupakan sebuah kesulitan bagi Wena. Seharusnya Wena bersyukur Tuhan masih memercayainya untuk dititipkan seorang anak, tetapi sikap Wena sekarang masih tèrlalu jauh dari kata bersyukur. arah dapur. "Kita makan siang, ya. Tadi Bunda sudah masak sayur asem dan telur dadar." Wena malah mengalihkan pembicaraannya hingga membuat raut wajah Danan tampak kecewa karena pertanyaannya tidak dijawab. "Bunda nggak sayang adik?" tanya Danan yang masih tidak bergerak sedikitpun meski Wena sudah berdiri dari duduknya dan mulai merangkul Danan untuk berjalan ke "Besok Danan ke rumah Oma lagi, ya. Bunda harus kerja ujar Wena yang masih enggan menjawab pertanyaan Dana. "Kalau adik lahir, Danan nggak mau ke rumah Oma lagi. Oma marah-marah terus ke Danan." "Nggak boleh begitu, Sayang. Oma marah karena Danan nakal, kan?" Wena berusaha memberikan pengertian kepada Danan bahwa apa yang dilakukan omanya termasuk hal yang baik untuk Danan. "Oma marah karena Danan mau punya adik," jawab Danan. Ternyata Wena salah. Bukan hanya Wena yang merasa kehadiran anak yang ia kandung adalah kesalahan, tetapi orang-orang di sekitarnya juga merasakan hal yang sama. Lalu, harus dengan cara apalagi supaya Wena bisa menerima kehadiran anaknya yang bahkan belum bisa ia lihat nyata di dunia? "Kalau Bunda nggak sayang adik, biar Danan aja yang sayang Adik."
Tahun Terbit: Cetakan Pertama, 2023
Baca Selengkapnya
Detail Buku