Pramoedya Ananta Toer
Jejak Langkah
Deskripsi
Jejak Langkah adalah novel ketiga dari Tetralogi buru oleh penulis Indonesia, Pramoedya Ananta Toer. Dalam tetralogi ini, dibahas tentang kehidupan tokoh fiksi Tirto Adhi Soerjo, seorang bangsawan Indonesia dan wartawan perintis. Buku ini bercerita tentang kehidupan Minke – narator orang pertama dan protagonis, berdasarkan tokoh Tirto Adhi Soerjo – setelah pindah dari Surabaya ke Batavia, ibu kota Hindia Belanda. Edisi asli dalam bahasa Indonesia diterbitkan pada tahun 1985 dan terjemahan bahasa inggris oleh Max Lane diterbitkan pada tahun 1990.
Sinopsis Buku
Kehadiran roman sejarah ini, bukan saja dimaksudkan untuk mengisi sebuah episode berbangsa yang berada di titik persalinan yang pelik dan menentukan, namun juga mengisi isu kesusastraan yang sangat minim menggarap periode pelik ini. karena itu hadirnya roman ini memberi bacaan alternatif kepada kita untuk melihat jalan dan gelombang sejarah secara lain dan dari sisinya yang berbeda.
Tetralogi ini dibagi dalam format empat buku. pembagian ini bisa juga kita artikan sebagai pembelahan pergerakan yang hadir dalam beberapa periode. Dan roman ketiga ini, Jejak Langkah, adalah fase pengorganisasian perlawanan. Minke memobilisasi segala daya untuk melawan bercokolnya kekuasaan Hindia yang sudah berabad-abad umurnya. namun Minke tak pilih perlawanan bersenjata. Ia memilih jalan jurnalistik dengan membuat sebanyak-banyaknya bacaan Pribumi. Yang paling terkenal tentu saja Medan Prijaji. Dengan koran ini, Minke berseru-berseru kepada rakyat Pribumi tiga hal: meningkatkan boikot, berorganisasi, dan menghapuskan kebudayaan feodalistik. Sekaligus lewat langkah jurnalistik, Minke berseru-seru: 'Didiklah rakyat dengan organisasi dan didiklah penguasa dengan perlawanan.'
“Ilmu pengetahuan, Tuan-tuan, betapapun tingginya, dia tidak berpribadi. Sehebat-hebatnya mesin, dibikin oleh sehebat-hebat manusia –dia pun tidak berpribadi. Tetapi sesederhana-sederhana cerita yang ditulis, dia mewakili pribadi individu atau malahan bisa juga bangsanya.”
“Usia empat puluh adalah sebaik-baik usia. Pada umur itu orang mulai menengok-nengok ke belakang dan bertanya pada diri sendiri: apakah telah kau berikan pada kehidupan ini, hei, kau manusia terpelajar?”
“Tak mungkin orang dapat mencintai negeri dan bangsanya, kalau orang tak mengenal kertas-kertas tentangnya. Kalau dia tak mengenal sejarahnya. Apalagi kalau tak pernah berbuat sesuatu kebajikan untuknya.”
Baca Selengkapnya
Detail Buku