Gramedia Logo
Product image
Anthony Reid

Sejarah Modern Awal Asia Tenggara

Deskripsi
Ada tiga hal menarik yang saya dapat dari buku “Sejarah Modern Awal Asia Tenggara” karya Anthony Reid ini. Pertama, bahwa penghuni Asia Tenggara adalah para pelaut hebat, bahkan sebelum pelaut China, India dan Eropa memasuki wilayah ini. Kedua adalah adanya produk niaga yang sangat eksotik di wilayah ini; yakni rempah-rempah, khususnya pala dan lada. Ketiga adalah sikap tolerannya orang Asia Tenggara sehingga wilayah ini menyerap berbagai kebudayaan dari berbagai sumber. Ketiga faktor ini menjadi pembentuk Asia Tenggara menjadi seperti sekarang ini. Seandainya orang-orang yang meninggali kawasan Asia Tenggara bukanlah orang-orang yang pandai melaut, maka pala dan rempah-rempah lain di wilayah ini tak akan terekspose ke kebudayaan dunia yang lebih dulu berkembang. Meski dihuni para pelaut, namun jika tidak memiliki porduk eksotik, maka kawasan ini juga tidak akan menjadi ramai. Sedangkan faktor terakhir, yaitu sifat toleran terhadap hal-hal baru mempunyai dua mata pisau. Satu sisi membuat Asia Tenggara menjadi wilayah yang disukai oleh para pedagang, namun di sisi lain menimbulkan kondisi dimana Asia Tenggara menjadi ajang pertarungan budaya-budaya besar. Pelayar-pelayar Hebat Collin Brown dalam bukunya “A Short History of Indonesia” mengatakan bahwa bangsa yang menghuni Nusantara telah melakukan perdagangan ke dunia luar sejak abad pertama. Para pedagang inilah yang mengantarkan beras dan rempah-rempah ke negeri-negeri di barat dan di utara. Mereka juga yang mengambil unsur-unsur kebudayaan dari tempat-tempat (India dan China) yang dikunjunginya, kemudian mencangkokkan dalam budaya di Nusantara. Dua unsur utama kebudayaan yang diambil adalah agama (Hindu dan Budha) dan tata kelola pemerintahan. Apa yang dijelaskan oleh Brown ini sesuai dengan apa yang diungkapkan oleh Reid (hal. 59), bahwa orang-orang Austronesia yang meninggali wilayah Asia Tenggara telah berdagang secara aktif dengan pusat-pusat kebudayaan lain di luar Asia Tenggara. Reid menyatakan bahwa orang-orang Asutronesia membawa sendiri hasil bumi ke pasar internasional, menguasai jalur pelayaran semua rute Asia Timur – Eruasia dan telah berdagang dengan China dalam kurun waktu yang lama, setidaknya sampai dengan Dinasti Sung Selatan (1127-1129). Setidaknya sampai dengan abad 16, peran orang Melayu dan Jawa sangat dominan dalam perniagaan di wilayah Asia Tenggara (hal. 60). Relief di Candi Borobudur yang menggambarkan kapal besar juga menjadi bukti bahwa pada abad kedelapan, Jawa sudah memiliki kapal-kapal niaga yang canggih pada jamannya. Kemampuan berlayar dan berniaga masyarakat Asia Tenggara sudah terbukti dan tak bisa diragukan. Mereka inilah yang mula-mula membangun jalur perniagaan di Asia Tenggara. Perjumpaan Asia Tenggara dengan kebudayaan India membuat pengorganisasian masyarakat atau tata negara di wilayah ini menjadi semakin berkembang. Model-model kerajaan mulai muncul. Champa (Cambodia), Sriwijaya (Sumatra) dan Mataram Kuna (Jawa) kokoh di abad 8. Jalinan hubungan antara Champa dengan Jawa (Majapahit) semakin kuat di abad 14. Abad 15 Kerajaan Ayuthaya di Thailand memegang peran penting. Abad 15 wilayah Asia Tenggara diramaikan dengan masuknya pengaruh Islam dan kedatangan orang-orang Eropa. Kedua kebudayaan ini berjalin bersama dengan budaya China dan India yang lebih dulu memberi warna di Asia Tenggara. Meningkatnya perniagaan di wilayah Asia Tenggara didorong oleh berkembangnya teknologi kapal dan jalur pelayaran yang membuat perjalanan laut menjadi lebih mudah. Meski banyak pelayar-pelayar asing datang, namun kekuatan maritime Asia Tenggara tetap memegang peran penting dalam perniagaan di wilayah ini. Rempah-rempah Asia Tenggara adalah wilayah penting bagi utara dan barat. Sebab di wilayah inilah terdapat rempah-rempah yang tidak diproduksi di wilayah perniagaan yang lain. Meski Reid tidak terlalu memberikan peran penting kepada beras sebagai komoditas utama dari wilayah Asia Tenggara (khususnya Jawa) seperti yang disampaikan oleh Brown, namun Brown dan Reid sama-sama menyatakan bahwa rempah-rempah adalah produk utama yang membuat perniagaan di wilayah Asia Tenggara begitu ramai. Cengkeh, pala dan kayu Cendana dikirim dalam jumlah kecil ke utara dan ke barat sejak jaman Romawi dan jaman Dinasti Han di abad 10 (hal. 56). Harus diakui bahwa salah satu penyebab semangat berlayar orang-orang Eropa ke belahan dunia adalah upaya untuk mencari rempah-rempah. Semangat ini telah membuat jalur-jalur pelayaran baru terbuka. Semangat ini juga telah membuat teknologi kapal menjadi berkembang. Kapal-kapal yang dibuat menjadi lebih cepat dan lebih kuat untuk mengarungi samodra. Dengan masuknya kapal-kapal dari barat dan utara secara langsung, maka perniagaan rempah-rempah tidak lagi dimonopoli oleh orang Melayu dan orang Jawa. Pedagang-pedagang India, Arab dan Eropa mulai mengunjungi langsung tempat produksi rempah-rempah. Para pedagang ini mulai menebar pengaruh dan bersekutu dengan penguasa-penguasa lokal. Perniagaan rempah-rempah ini menimbulkan persaingan antarpedagang yang seringkali menimbulkan peperangan. Wilayah-wilayah seperti Aceh, Malaka, Makassar, Banten dan pesisir Jawa menjadi pelabuhan-pelabuhan yang ramai dengan pengaruh dari berbagai kebudayaan. Selain dari pengaruh agama, pengaruh senjata juga memegang peran besar dalam pembentukan wilayah Asia Tenggara menjadi seperti sekarang ini. Bahkan peperangan antarpedagang ini terjadi jauh di timur. Peperangan antara Belanda dengan Portugis dan Inggris terjadi di perairan Banda di Maluku, di pusat produksi pala. Kedatangan Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis dan Belanda di wilayah ini adalah dalam rangka mencari rempah-rempah. Semangat Belanda untuk memonopoli perdagangan rempah-rempah telah menimbulkan sengketa dengan pelayar-pelayar Eropa lainnya. Semangat monopoli ini juga membuat Belanda melakukan berbagai tindakan licik untuk mendapatkan pengaruh dengan cara menumpangi persengketaan antarkeluarga di kerajaan-kerajaan di Nusantara. Islam berperan semakin penting di wilayah Asia Tenggara. Di abad 15, budaya Islam semakin berpengaruh di wilayah ini. Semakin banyaknya pedagang Islam dari Arab, India dan Champa membuat nilai-nilai Islam menjadi semakin diterima. Banyak pelabuhan-pelabuhan niaga di wilayah Asia Tenggara, khususnya Sumatra, Sulawesi Selatan dan Jawa menjadi Islam. Kekuatan Islam dipakai sebagai upaya penguasa-penguasa lokal untuk membendung ekspansi monopolis pedagang-pedagang Eropa. Islam menjadi kuat di Asia Tenggara karena pedagang-pedagang Eropa berperang satu dengan yang lain dan kekuatan Kesultanan Turki yang besar yang mendukung perkembangan Islam di Asia Tenggara. Islam menjadi besar juga karena sikap Belanda yang tidak membawa agama (Kristen) dalam ekspansinya ke Asia Tenggara. Belanda tidak alergi untuk bekerjasama dengan kesultanan Islam dalam merebut monopoli dari sesama pedagang Eropa.
Detail Buku