Pijar Psikologi
Sepi
Format Buku
Deskripsi
Pada awal tahun 2022 ini, Pijar Psikologi kembali meluncurkan buku terbarunya yang berjudul Sepi. Buku Sepi pertama kali diterbitkan pada tanggal 12 Januari 2022. Sesuai dengan tujuan dari Pijar Psikologi sebagai organisasi non-profit yang ingin memberikan pencerahan kepada masyarakat Indonesia mengenai kesehatan mental, buku Sepi ini diluncurkan dengan tujuan untuk membantu masyarakat yang kesepian. Buku Sepi merupakan buku yang masuk dalam kategori self help dan self development. Buku ini akan memberikan pencerahan kepada kita bahwa kesepian tidak ditentukan oleh jumlah relasi atau hubungan yang kita miliki. Namun, kesepian dapat dinilai dari seberapa berkualitas emosional hubungan kita dengan orang lain yang menjadi relasi kita.
Kesepian merupakan bagian dari pengalaman personal seseorang yang bersifat menarik. Sebab, setiap orang pasti pernah merasakan kesepian. Kebanyakan orang menganggap kesepian adalah hal yang menyedihkan, tetapi pada kenyataannya, kesepian merupakan bagian dari hidup yang harus diterima seseorang sebagai bagian dari saksi hidup yang nyata. Sepi akan datang menghampiri setiap orang dengan cara yang berbeda-beda. Perkembangan zaman juga akan mempengaruhi datangnya sepi. Bagi kalian yang kerap merasa kesepian atau ingin memahami lebih dalam mengenai apa makna dari kesepian, buku ini dapat membantu kalian dan menjadi panduan untuk memahami kesepian menjadi sesuatu yang lebih menarik.
Sinopsis:
Mengapa manusia merasakan kesepian? Bagaimana cara manusia berdamai dengan kesepian? Kesepian merupakan pengalaman manusia yang amat personal, juga sekaligus menjadi fenomena global. Namun, kesepian juga merupakan fenomena yang menarik, karena setiap orang yang hidup di dunia ini pasti pernah mengalami kesepian.
Kerap kali kita merasa sendiri dan menjadi orang yang paling menderita dalam kesepian. Namun, ternyata kita bersama-sama menjalani penderitaan dalam kesepian itu. Kesepian kerap kali dianggap sebagai hal yang memalukan atau kegagalan. Orang yang sendiri dan dinilai kesepian kerap diberikan julukan yang merendahkan diri mereka.
Contohnya, seperti jones atau jomblo ngenes, perawan tua, dan julukan yang menyedihkan lainnya. Stigma akan kesepian adalah menyedihkan ternyata ada di seluruh dunia. Seperti, di negeri Tiongkok terdapat istilah “sheng nan” yang berarti laki-laki sisa, dan istilah “sheng nu” yang berarti perempuan sisa. Julukan ini diberikan kepada mereka yang memilih untuk menyendiri dan dianggap tidak ‘laku’.
Selain itu, ada juga istilah “guang gun” yang berarti lelaki ranting atau ranting tunggal, yang diberikan kepada lelaki yang tak bisa menambahkan anak atau buah untuk keluarga besarnya. Di negeri Barat juga ada istilah “thornback” yang diberikan kepada perempuan yang belum menikah, yang dianggap sulit didekati atau memiliki duri.
Baru beberapa tahun ke belakang saja banyak orang yang berani untuk mengakui bahwa dirinya bahagia dengan kesendiriannya. Sebelumnya, mengakui bahwa kita nyaman dengan kesendirian bagaikan menyatakan bahwa kita telah gagal sebagai manusia yang kodratnya merupakan makhluk sosial.
Seolah, kita tak tahu caranya untuk bersosialisasi, atau seolah kita terlalu bergantung pada orang lain dan tidak bisa menikmati kehidupan sendiri. Di sisi lain, mereka yang berani menyatakan bahwa mereka nyaman dan bahagia hidup sendiri malah diberi stigma yang melabeli bahwa hidup orang tersebut menyedihkan dan menderita, karena ia tak memiliki kawan dan pasti ia kesepian.
Kita kerap kali terlalu cepat menilai seseorang dari yang kelihatannya saja, padahal kita juga tidak mengetahui apa-apa tentang pribadi, apalagi perasaan orang tersebut. Contoh nyata yang ada di sekitar kita, yaitu media sosial yang dijadikan patokan utama dalam menilai diri setiap orang.
Terdapat banyak sekali orang yang mencari perhatian dan eksistensi. Mereka yang dinilai sebagai sosok yang eksis dan diakui kepopulerannya. Padahal, media sosial hanya mereka gunakan demi mengurangi rasa sepi.
Contoh lain, yaitu sosok artis atau bintang yang sangat populer sering dianggap tak pernah kesepian, karena mereka dikelilingi oleh penggemar yang banyak. Padahal, kenyataannya sebaliknya. Mereka kerap kali merasa kesepian, karena mereka tidak dapat memercayai orang-orang di sekitarnya.
Mereka memiliki kekhawatiran akan dimanfaatkan, karena kepopulerannya saja atau orang-orang mendekat dengan memiliki alasan tertentu yang tidak tulus. Dari situ kita dapat melihat bahwa kita tidak dapat menilai seseorang dari kelihatannya saja, apalagi menilai seseorang kesepian atau tidak.
Sendiri tanpa merasa kesepian merupakan perasaan yang sangat menyenangkan dan membebaskan. Namun, tidak semua orang dapat menikmati perasaan tersebut. Hal ini diakibatkan oleh ketakutan akan kesendirian yang dapat melahirkan kesepian, juga ketakutan pada pendapat orang lain.
Hal ini kemudian membuat beberapa orang rela untuk kembali bergaul dengan orang-orang yang toxic. Kembali menjalin hubungan yang tidak sehat, yang kerap kali menyakiti hati. Semua itu rela melakukan demi tidak dianggap kesepian.
Buku ini ditulis untuk membantu semua orang yang merasa kesepian, agar bisa berkenalan dengan sepi yang dialami. Buku ini juga hadir untuk memberikan pencerahan kepada pembaca untuk memahami makna kesepian, baik dalam lingkup personal atau dalam lingkup yang lebih luas.
Selain itu, buku ini juga berusaha untuk mengajak pembaca mengubah rasa kesepian yang dialami menjadi sebuah ruang untuk menumbuhkan kreativitas dan spiritual, serta mengubah kesepian menjadi kesendirian yang dapat dinikmati.
Begitu banyak karya besar yang diciptakan dalam kesendirian, begitu banyak juga tokoh besar yang lahir dari kesendirian. Lantas, mengapa kita memandang kesendirian sebagai hal yang pasti merujuk pada kesepian?
Kesepian yang selama ini kita pandang menyedihkan, sebenarnya merupakan kesempatan untuk bertumbuh dan berkarya sebagai manusia. Namun, apakah kita dapat menerima kesepian sebagai kesendirian yang bermakna?
Baca Selengkapnya
Detail Buku