Kisah Tanah Jawa
Setan Setan Menggugat
Format Buku
Deskripsi
Grisse, 1809.
Awal tahun malapetaka.
TANGSI
Temaram bias sinar pelita menerpa sebagian dalam tenda. Sipong mendirikan tangsi bersama gerombolannya di tepian hutan, tidak jauh dari Jalan Raya Pos yang baru saja dibangun di perbatasan Toeban-Grisse. Mereka sedang mengintai dari pos yang kosong di patok 210 paal (ukuran jarak yang setara dengan 1 mil), dengan misi untuk menculik anak sulung bupati Grisse. Rencana ini sudah ia susun bersama seorang pembelot, yaitu ajudan sang bupati.
Kabarnya rombongan tersebut akan melintas lepas tengah malam, seusai acara pesta yang dihelat di kediaman adipati Toeban, dengan pengawalan sekitar belasan pasukan keamanan kabupaten (seperti rencananya dengan Si Ajudan Bupati). Namun sebelum penculikan itu terjadi, gerombolan Sipong sudah menawan empat orang pesuruh kabupaten, yang entah datang dari mana dan melintasi pos paal tempat mereka mengintai. Mereka membawa seekor kuda dan sebuah pedati yang berisi penuh dengan kebutuhan bahan pangan. Sipong menatap tajam mengikuti gerak api yang meliuk- liuk. Lalat-lalat yang beterbangan tak menggoyahkan kumisnya yang tebal mentereng. Otot dalam tubuhnya malah kian menegang saat dipijit oleh cantriknya. Sampai-sampai Si Cantik bertabur peluh lelah. Terlebih udara panas. Grisse pada malam itu, begitu lengket di badan. Ia tak berani melepaskan pijatannya dari badan Sipong, bahkan sekadar mengusap keringat yang mengucur dan membasahi tubuhnya itu. Ia takut mengusik konsentrasi Sipong.
Mata Sipong tak goyah, meski pendar cahaya dari sumbu api itu kian membuat pupil matanya yang hitam pekat makin mengecil. Rupanya pikiran Sipong berkelana, di masa-masa silam, awal kebencian hinggap dalam batinnya. Meregang dendam yang hampir muntah di pelupuk mata.
“Jancuk! Bupati itu minta mampus rupanya. Tak sungkan aku kembali jadi jagal yang siap meregang nyawanya!” umpat Sipong kepada Si Ajudan.
“Kalem, Pong! Mungkin Romo sedang kalap, tidaklah mungkin ia mengkhianati perjanjian kita ini. Akan aku urus semuanya agar kita sama-sama dapat bagian yang sudah dijanjikannya.” Tak langsung meredam emosi yang sudah meluap di dada Sipong, ia kemudian menodongkan parangnya hingga menempel persis di leher Si Ajudan.
“Kau pun jangan berani pula macam-macam kepadaku!” Si Ajudan menyimpulkan senyum tipis menanggapi.
“Kalaupun kau sampai tak percaya padaku, tamatlah riwayatmu, Pong!”
“Merakbal!1” Parangnya dihentakan ke meja, sampai kendi dan gelas di atasnya bergoyang kencang. 1 Kurang aja
“Kau tak punya lagi kesempatan, bahkan sedikit akal untuk merencanakan sesuatu. Biarlah saja aku urus semua"
Penderitaan demi penderitaan dialami pribumi akibat penjajahan, bukan hanya dari bangsa asing, tapi juga dari bangsanya sendiri. Para penguasa daerah yang tamak, tega melihat rakyatnya kelaparan, bahkan mengorbankan mereka sebagai tiang pancang Jembatan Geladak Manyar. Nyawa tidak ada artinya.
Sebagai kaki tangan penguasa, Sipong menyaksikan sendiri peristiwa memilukan itu. Membuat nuraninya memberontak. Amarah dan dendam pun merasukinya. Dia bersumpah untuk menebus rasa bersalahnya, membalaskan nasib rakyat yang hidupnya ditindas.
“Aku akan membalaskan dendam mereka. Meski bukan hari ini, esok pasti. Aku akan mempersembahkan kepala penguasa biadab itu pada mereka, para martir yang mengharapkan sebuah hari penebusan!”
Ini adalah kisah mereka yang mungkin belum pernah kita ketahui. Kisah mereka yang menggugat, mencari keadilan hingga mati. Kisah yang terjadi dengan latar sejarah tahun 1809, saat pembangunan Jalan Raya Pos terjadi. Sebuah fiksi sejarah dengan setting di Grisse (nama Gresik pada masa itu), Jawa Timur.
Detail Buku
Penulis : Kisah Tanah Jawa
Penerbit : Kawah Media Pustaka PT
Tahun Terbit : 1 November 2022
Jumlah Halaman : 272 halaman
Berat : 205 gram
Dimensi (P x L) : 19 x 13 cm
ISBN : 9786234930030
Cover : Soft-cover
Text Bahasa : Bahasa Indonesia
Baca Selengkapnya
Detail Buku