Yuliani
The Antagonists Secret
Format Buku
Deskripsi
Dari balik jendela, aku duduk sendirian, menatap air yang jatuh dari birunya langit. Kualihkan pandanganku menatap orang-orang yang bergantian duduk di kursi. Sudah dua jam aku duduk di sini, bahkan teh lemon yang kupesan sejak tadi sudah mendingin. Orang-orang mulai menatapku heran. Mungkin mereka bingung, untuk apa seorang wanita hamil menghabiskan banyak waktu dengan duduk sendirian? Namun, aku tak peduli dengan mereka semua.
Kutundukkan pandangan menatap bagian tubuhku yang menonjol. Perutku membuncit, ada kehidupan di dalam sana. Satu nyawa terselip yang akan mengisi populasi dunia. Embusan panjang kulepaskan dari bibir merah mudaku. Usia janin yang meringkuk di sangkar tubuh berkisar lima bulan.
Pikiranku pun berkelana memikirkan kehidupan sang bayi kelak yang akan menyapa dunia. Jujur aku tidak tahu harus bagaimana dan apa yang akan kulakukan di masa depannya. Tak lama kemudian, kuambil sebuah tas bermerek yang cukup mahal bagi kalangan bawah. Kulangkahkan kakiku keluar dari tempat yang bernama kafe. Tinggi semampai, berkulit putih, rambut panjang nan lurus hampir sepinggul membuatku menjadi pusat perhatian. Cantik. Itulah kata yang selalu tersemat dalam diriku. Bukankah aku harus membanggakan fisikku ini? Atau tidak? Kenapa setiap orang selalu menilai fisik seseorang dengan standar mereka sendiri? Bukankah setiap wanita itu cantik?
Di bawah rintiknya hujan, kuhentikan sebuah taksi dan bergegas masuk. Sebuah alamat sudah kuucapkan untuk sang sopir. Cukup memakan waktu 30 menit untuk sampai alamat tersebut. Aku pun turun dan kembali melangkah ke arah sebuah bangunan yang besar dan megah. Bangunan yang menjadi tempat tinggal dari ayah si janin. "Pergi ke mana saja?" Sebuah suara menyapa indera pendengaranku saat kakiku menginjak dinginnya lantai ruang tamu.
Kutolehkan wajahku menatap seorang pria yang tengah memandangku. Dialah orang yang menjadi ayah dari janin ini. Kutatap lamat wajah itu. Tampan. Bahkan sangat tampan. Itulah gambaran dari wajahnya. Namun, ada kecacatan bahwa wajah itu terasa dingin. Wajah yang bisa membekukan penglihatanku dan membuatku muak. Sorot matanya menyipit semakin tajam seolah menunggu kata yang akan keluar dari mulutku.
Baca Selengkapnya
Detail Buku