Agama Islam

Arti Allahu Akbar Kabiro Takbiran Beserta Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran

Written by Yufi Cantika

Allahu akbar kabiro takbiran – Ada yang berpendapat bahwa bacaan takbir biasanya mulai dikumandangkan ketika akan memasuki shalat Idul Fitri. Namun ada pula yang kemudian menyebut, takbiran dimulai setelah melihat hilal awal Syawal. Dalam takbir yang dibacakan atau dilafalkan, bisa dibilang ada yang panjang dan ada yang pendek, takbir yang panjang biasanya terdapat allahu akbar kabiro. Lalu, apa artinya? Simak ulasan lengkapnya di bawah ini, Grameds.

Waktu Mulai dan Berakhir Takbiran 

nasional.kompas.com

Takbiran Idul Fitri 

Takbiran di saat idul fitri kemudian dimulai sejak maghrib malam pada tanggal 1 syawal hingga selesai shalat ‘id dan hal didasari dari firman Allah dan hadist:

  • Allah berfirman, yang artinya: “…hendaklah kamu mencukupkan bilangannya (puasa) serta hendaklah kamu mengagungkan Allah (bertakbir) atas petunjuk-Nya yang kemudian diberikan kepadamu.” (Qs. Al Baqarah: 185). Ayat ini kemudian menjelaskan bahwasanya ketika orang telah selesai menjalankan ibadah puasa di bulan Ramadhan kemudian disyariatkan dengan mengagungkan Allah dengan melalui takbir.
  • Ibn Abi Syaibah meriwayatkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam saat keluar rumah menuju lapangan dan beliau bertakbir hingga kemudian tiba di lapangan. Beliau juga tetap bertakbir hingga shalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau kemudian menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf 5621).

Hal yang perlu digarisbawahi adalah takbiran idul fitri kemudian dapat dilakukan dimana saja serta kapan saja. Dengan kata lain dapat dilakukan selain di masjid. Sangat dianjurkan untuk dapat memperbanyak takbir ketika menuju lapangan. Hal tersebut merupakan kebiasaan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam serta para sahabat. Berikut beberapa diantara dalilnya:

  • Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar rumah saat menuju lapangan kemudian beliau bertakbir hingga tiba di lapangan. Beliau kemudian tetap bertakbir sampai shalat selesai. Setelah menyelesaikan shalat, beliau kemudian menghentikan takbir. (HR. Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf)
  • Dari Nafi: “Dulu Ibn Umar bertakbir di hari ied (ketika keluar rumah) sampai beliau kemudian tiba di lapangan. Beliau juga tetap melanjutkan takbir hingga saat imam datang.” (HR. Al Faryabi dalam Ahkam al Idain)
  • Dari Muhammad bin Ibrahim (seorang tabi’in), beliau juga mengatakan: “Dulu Abu Qotadah kemudian berangkat menuju lapangan di hari raya kemudian bertakbir. Beliau juga terus bertakbir hingga tiba di lapangan.” (Al Faryabi dalam Ahkam al Idain).

Takbiran Idul Adha 

Takbiran Idul Adha itu sendiri dibagi menjadi dua, yaitu:

Takbiran yang tidak terikat waktu (Takbir Mutlak) 

Takbiran hari raya yang tak terikat waktu ialah takbiran yang kemudian dilakukan kapan saja, dimana saja, dan selama rentang waktu yang dibolehkan. Takbir mutlak biasanya dibaca ketika menuju Idul Adha atau lebih tepatnya dimulai sejak tanggal 1 Dzulhijjah hingga waktu ashar pada tanggal 13 Dzulhijjah. Selama tanggal 1–13 Dzulhijjah, kaum muslimin kemudian disyariatkan memperbanyak ucapan takbir di mana saja, kapan saja serta dalam kondisi apa saja.

Boleh sambil berjalan, saat di kendaraan, bekerja, berdiri, juga duduk, ataupun berbaring. demikian juga takbiran ini dapat dilakukan di rumah, jalan, kantor, sawah, pasar, lapangan, masjid, dan seterusnya. Dalil takbiran yang tidak terikat waktu adalah:

  • Allah berfirman, yang artinya: “…supaya mereka kemudian berdzikir (menyebut) nama Allah pada hari yang telah ia tentukan…” (Qs. Al Hajj: 28).
  • Allah juga berfirman, yang kemudian artinya: “….Dan berdzikirlah kamu (dengan menyebut) Allah dalam beberapa hari yang berbilang…” (Qs. Al Baqarah: 203).

Tafsir:

Adapun yang dimaksud dengan berdzikir di dua ayat di atas ialah dengan melakukan takbiran

Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma kemudian mengatakan: “Yang dimaksud dengan ‘hari yang telah ditentukan’ ialah pada tanggal 1-10 Dzulhijjah, sementara yang maksud ‘beberapa hari yang berbilang’ ialah pada hari tasyrik, tanggal 11, 12, serta 13 Dzulhijjah.” (Al Bukhari secara Mu’allaq, sebelum hadis no.969)

Dari Sa’id bin Jubair dari Ibn Abbas, bahwa maksud “hari yang telah ditentukan” ialah pada tanggal 1-9 Dzulhijjah, sedangkan makna “beberapa hari yang berbilang” adalah hari tasyriq, tanggal 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. (Disebutkan juga oleh Ibn Hajar dalam Fathul Bari 2/458, kata Ibnu Maskawaih: Sanadnya shahih)

  • Hadis dari Abdullah bin Umar, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian bersabda: “Tidak ada amal yang kemudian dilakukan di hari yang lebih agung serta lebih dicintai Allah melebihi amal yang dilakukan pada tanggal 1–10 Dzulhijjah. Oleh karenanya perbanyaklah membaca tahlil, takbir, serta tahmid pada hari itu.” (HR. Ahmad & Sanadnya dishahihkan oleh Syaikh Ahmad Syakir).
  • Imam Al Bukhari kemudian mengatakan: “Dulu Ibn Umar dan Abu Hurairah pergi ke pasar pada tanggal 1–10 Dzulhijjah. Mereka berdua juga mengucapkan takbiran kemudian masyarakat bertakbir yang disebabkan mendengar takbir mereka berdua.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.969).
  • Disebutkan Imam Bukhari: “Umar bin Khattab pernah bertakbir di rumah ketika di Mina dan didengar oleh orang yang kemudian berada di masjid. Akhirnya mereka semua bertakbir serta masyarakat yang di pasar-pun ikut bertakbir. Sehingga Mina guncang dengan takbiran.” (HR. Al Bukhari sebelum hadis no.970) Disebutkan oleh Ibn Hajar bahwa Ad Daruquthni meriwayatkan: “Dulu Abu Ja’far Al Baqir (cucu Ali bin Abi Thalib) bertakbir setiap selesai shalat sunnah di Mina.” (Fathul Bari 3/389).

Takbiran yang terikat waktu 

Takbiran yang terikat waktu adalah takbiran yang dilaksanakan setiap selesai juga melaksanakan shalat wajib. Takbiran ini dimulai saat setelah shalat subuh pada 9 Dzulhijjah hingga setelah shalat Ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Berikut di bawah ini dalil takbiran yang terikat waktu:

  • Dari Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau kemudian bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga setelah dzuhur pada tanggal 13 Dzulhijjah. (Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi serta sanadnya yang dishahihkan Al Albani).
  • Dari Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau kemudian bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga ashar tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau juga bertakbir setelah ashar. (HR Ibn Abi Syaibah & Al Baihaqi. Al Albani kemudian mengatakan: “Shahih dari Ali radhiyallahu ‘anhu“).
  • Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau kemudian bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga tanggal 13 Dzulhijjah. Beliau tidak bertakbir setelah maghrib (malam tanggal 14 Dzulhijjah). (HR Ibn Abi Syaibah serta Al Baihaqi. Al Albani mengatakan: Sanadnya shahih).
  • Dari Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu, bahwa beliau kemudian bertakbir setelah shalat shubuh pada tanggal 9 Dzulhijjah hingga ashar tanggal 13 Dzulhijjah. (HR. Al Hakim dan dishahihkan An Nawawi dalam Al Majmu’).

Takbiran Allahu Akbar Kabiro dan Artinya

Bacaan takbiran biasanya ada yang membacanya dengan allahu akbar kabiro dengan lengkap. Dikutip dari buku Fikih Ibadah Madzhab Syafi’i karya Syaikh Dr. Alauddin Za’tari (2019), membaca takbiran secara lengkap itu memang disunnahkan dan hal ini berdasarkan pendapat dari madzhab Syafi’i.

Bacaan allahu akbar kabiro bisa dikatakan sebagai takbiran versi panjang. Berikut ini bacaan allahu akbar kabiro secara lengkap dan artinya.

اَللَّهُ اَكْبَرْ اَللَّهُ اَكْبَرْ اَللَّهُ اَكْبَرْ, لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ اَكْبَرْ, اَللَّهُ اَكْبَرْ وَلِلَهِ الْحَمْدُ (x3)

اَللَّهُ اَكْبَرْ كَبِيْرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيْرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَاَصِيْلاً

لآ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَلاَنَعْبُدُ اِلاَّ اِيَّاهُ, مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ وَلَوْكَرِهَ الْكَافِرُوْنَ

لآاِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ, صَدَقَ وَعْـدَهُ, وَنَصَرَعَبْدَهُ, وَاَعَزَّ جُنْدَهُ, وَهَزَمَ الْأَحْزَابَ وَحْدَهُ

لآ اِلَهَ اِلاَّ اللَّهُ وَاَللَّهُ اَكْبَرْ اَللَّهُ اَكْبَرْ وَلِلَهِ الْحَمْدُ

Latin: 

Allāhu akbar Allāhu akbar Allāhu akbar Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar, Allāhu akbar walillāhil-hamd. (3 kali)

Allāhu akbar kabīrā walhamdulillāhi katsīrā, wasubhānallāhi bukratawwa ashīllā.

Lā ilāha illallahu walā na’budu illā iyyāh, mukhlishīna lahuddīn, walaw karihal-kāfirun,

Lā ilāha illallāhu wahdah, shadaqa wa’dah, wanashara ‘abdah, wa a’azza jundah, wahazamal-ahzāba wahdah.

Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar walillāhil-hamd

Artinya:

Allah Mahabesar, Allah Maha Besar, Allah Maha Besar. Tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan Allah Mahabesar. (3 kali)

Allah Mahabesar dan segala puji hanya bagi Allah. Allah Maha Besar dengan segala kebesaran,

Segala puji bagi Allah sebanyak-banyaknya, Dan maha suci Allah sepanjang pagi dan sore.

Tiada Tuhan selain Allah dan kami tidak menyembah selain kepada-Nya dengan memurnikan agama Islam meskipun orang kafir.

Tiada Tuhan selain Allah dengan ke-Esaan-Nya. Dia menepati janji, menolong hamba dan memuliakan bala tentara-Nya serta melarikan musuh dengan ke-Esaan-Nya.

Tiada Tuhan selain Allah, Allah Maha Besar. Allah Mahabesar dan segala puji bagi Allah.

Lafadz Takbiran 

Tidak terdapat riwayat lafadz takbiran tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Namun, terdapat beberapa riwayat dari beberapa sahabat yang kemudian mencontohkan lafadz takbiran, antara lain:

Takbir Ibn Mas’ud radhiyallahu ‘anhu

Riwayat dari beliau ada 2 lafadz takbir:

 أ‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، وَاللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ ب‌- اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ الله ُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وللهِ الْحَمْدُ 

Keterangan:

Lafadz: “Allahu Akbar” pada takbir Ibn Mas’ud boleh dibaca dua kali atau tiga kali. Semuanya diriwayatkan Ibn Abi Syaibah dalam Al Mushannaf.

Takbir Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhu:

 اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، وَلِلَّهِ الْحَمْدُ، اللَّهُ أَكْبَرُ وَأَجَلُّ اللَّهُ أَكْبَرُ، عَلَى مَا هَدَانَا 

Keterangan:

Takbir Ibn Abbas diriwayatkan oleh Al Baihaqi serta sanadnya yang dishahihkan oleh Syaikh Al Albani.

Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu:

 اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا 

Keterangan:

Ibn Hajar kemudian mengatakan: Takbir Salman Al Farisi radhiyallahu ‘anhu diriwayatkan oleh Abdur Razzaq dalam Al Mushannaf dengan sanad sahih dari Salman.

Kebiasaan yang Salah Ketika Takbiran 

Terdapat beberapa kebiasaan yang salah saat melakukan takbiran di hari raya, antara lain:

Takbir berjamaah di masjid atau di lapangan 

Karena takbir yang sunnah itu kemudian dilakukan sendiri-sendiri serta tidak dikomando. Sebagaimana disebutkan dalam riwayat Anas bin Malik bahwa para sahabat ketika bersama nabi pada saat bertakbir, terdapat juga yang membaca Allahu akbar, ada yang sedang membaca laa ilaaha illallah, serta satu sama lain tidak saling menyalahkan… (Musnad Imam Syafi’i 909) Riwayat ini juga menunjukkan bahwa takbirnya para sahabat tidak dilakukan dengan seragam. Karena mereka bertakbir sendiri-sendiri serta tidak berjamaah.

Takbir dengan menggunakan pengeras suara 

Perlu dipahami bahwa cara melakukan takbir hari raya kemudian tidak sama dengan cara melaksanakan adzan. Dalam syariat adzan, seseorang dianjurkan untuk melantangkan suaranya dengan sekeras mungkin. Oleh karena itu, para juru adzan di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seperti diantaranya pada Bilal, dan Abdullah bin Umi Maktum ketika hendak adzan mereka naik, mencari tempat yang tinggi. Tujuannya adalah agar adzan didengar oleh banyak orang.

Namun saat melakukan takbir hari raya, tak terdapat satupun riwayat bahwa diantaranya Bilal naik juga mencari tempat yang tinggi dalam rangka melakukan takbiran. Akan tetapi, beliau kemudian melakukan takbiran di bawah dengan suara keras yang hanya didengar oleh beberapa orang di sekelilingnya saja.

Hanya bertakbir setiap selesai shalat berjamaah 

Sebagaimana telah dijelaskan bahwa takbiran itu ada dua. Ada yang terikat waktu serta ada yang sifatnya mutlak atau tidak terikat waktu. Untuk takbiran yang mutlak sebaiknya tak dilaksanakan setiap selesai shalat fardhu saja. Namun, takbiran yang sunnah dilakukan setiap saat, kapan saja serta di mana saja.

Ibnul Mulaqqin kemudian mengatakan: “Takbiran setelah shalat wajib serta yang lainnya, untuk takbiran Idul Fitri, maka tak dianjurkan untuk dilakukan setelah shalat, menurut pendapat yang lebih kuat.”

Tidak bertakbir ketika di tengah perjalanan menuju lapangan 

Sebagaimana riwayat yang telah disebutkan di atas, bahwa takbir yang sunnah kemudian dilakukan ketika di perjalanan menuju ke tempat shalat hari raya. Namun sayang sunnah ini kemudian hampir hilang, mengingat banyaknya orang yang kemudian meninggalkannya.

Demikian pembahasan tentang allahu akbar kabiro takbiran beserta dengan artinya. Semoga semua pembahasan di atas bermanfaat untuk Grameds.

Jika ingin mencari buku tentang Islam dan bulan Ramadhan, maka kamu bisa mendapatkannya di gramedia.com. Untuk mendukung Grameds dalam menambah wawasan, Gramedia selalu menyediakan buku-buku berkualitas dan original agar Grameds memiliki informasi #LebihDenganMembaca.

Penulis: Sofyan

Sumber: Dari berbagai sumber

Rekomendasi Buku-Buku Terkait Allahu Akbar Kabiro Takbiran

Tuntunan Puasa,Tarawih & Shalat Idul Fitri 

 

Ramadhan adalah bulan penuh berkah rahmat dan ampunan Allah SWT. Di dalamnya banyak limpahan karunia dan nikmat yang diberikan-Nya kepada umat Islam antara lain puasa shalat Tarawih dan pengunjungnya Hari Raya Idul Fitri. Dalam karya bertemakan Ramadhan Prof. Hamka menuntun umat agar dalam mengerjakan semua amal saleh selama bulan Ramadhan kaum Muslimin dapat menjalaninya dengan ikhlas hikmat dan selaras dengan tuntunan syariat baik yang fardhu maupun yang sunnah.

Dengan demikian akan dapat dirasakan hikmah dan tujuan mulia dari ibadah Ramadhan serta dapat berdampak kepada pembentukan pribadi Muslim yang kaffah. Selain itu penulis juga berhasil menangkap dengan baik gambaran kondisi sosial budaya dan karakter masyarakat negeri ini selama pelaksanaan ibadah puasa shalat tarawih hingga hari raya Idul Fitri.

Beliau membahas-rinci semuanya ini berdasar perspektif manhaj Islam Al-Qur’an dan as-Sunnah sehingga membuat buku ini semakin berbobot dan berkualitas.

Smart Dakwah (Set – 3 Judul)

 

“Setelah saya baca dan saya pelajari, buku Dakwah Cerdas yang disusun Dra. Hj. Udji Asiyah, M.Si. ini sangat penting untuk dibaca dan dijadikan sebagai salah satu maraji’ (sumber pengambilan/bacaan) bagi para dosen, guru, mahasiswa, penyuluh agama, Aparat Kementerian Agama, mubaligh atau mubaligh, para tokoh agama, terutama dalam menyampaikan pesan-pesan agama di era globalisasi.

Dalam buku ini bahasa tuturnya mengalir dan mudah dipahami. Semoga buku ini menjadi amal jariah, aamiin….” —DR. H. Sudjak, M.A. Mantan Kakanwil Kementerian Agama tahun 2011 –2014, juga Dosen Pascasarjana Institut Agama Islam Al-Khoziny Sidoarjo

Panduan Zakat, Infak & Sedekah

Buku ini disusun sepraktis mungkin agar mudah dipahami, dengan harapan akan tumbuh kesadaran yang tinggi dari para muzakki untuk membayar zakat.

Dengan buku ini, para muzakki atau calon muzakki dapat memahami dengan mudah memahami pengertian dan perbedaan zakat, infak, dan sedekah, memahami dalil-dalil tentang perintah dan anjuran menafkahkan harta-harta, seperti harta yang wajib dikeluarkan zakatnya dan tata cara perhitungannya. Bisa juga memahami caara membayar zakat, juga memahami hikmah berzakat, berinfak, dan bersedekah.

Semoga dengan keistiqomahan para muzakki dalam membayar zakat, cita-cita besar untuk mewujudkan kesejahteraan umat dapat tercapai. inilah buku praktik zakat yang mudah diaplikasikan guna mewujudkan keberkahan zakat, infak dan sedekah.

Dahsyatnya Tahajud Dhuha Sedekah (TDS)

 

Dalam Al-Qur’an, Allah seringkali menggandengkan perintah shalat dengan zakat. Sebab, yang pertama merupakan ibadah yang berkaitan dengan hak Allah, sedang yang satunya berkaitan dengan hak manusia. Kedua ibadah ini memiliki kedudukan yang sangat penting, terutama shalat. Sehingga, untuk menyempurnakan kedua ibadah ini, Allah memberikan kesempatan kepada umat Muhammad dengan ibadah sunah yang sejenis, berupa shalat sunah maupun sedekah.

Shalat Tahajud dan Dhuha, merupakan penyempurna shalat wajib kita. Demikian pula sedekah sunnah, menjadi penyempurna zakat kita. Di dalam ketiga amalan ini, terkandung manfaat hebat dan keutamaan nan dahsyat. Pengabulan doa, melimpahnya rezeki, keberkahan, pengampunan dosa, kedudukan mulia di sisi-Nya, dijauhkannya musibah dan penyakit, doa malaikat, pahala yang berlipat ganda, ketenangan dan ketenteraman, hanyalah sedikit di antaranya. Sementara yang terbesar adalah kebebasan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.

About the author

Yufi Cantika

Saya Yufi Cantika Sukma Ilahiah dan biasa dipanggil dengan nama Yufi. Saya senang menulis karena dengan menulis wawasan saya bertambah. Saya suka dengan tema agama Islam dan juga quotes.

Kontak media sosial Linkedin Yufi Cantika